Jumat, 27 Juni 2014

COMPLICATED Part 1

Ini cerita tentang seorang cewek berusia dua puluh tiga tahun yang jatuh cinta pada seorang cowok ‘aneh’. Bahkan dia tetap jatuh cinta walaupun tahu tentang ‘keanehan’ cowok itu. Dia juga berharap bisa mengubah ‘keanehan’ cowok itu dengan cintanya. Klasik. Tapi itulah yang sedang diusahakannya. Disamping ktu, dia harus menghadapi kehebohan keluarganya yang sibuk menjodohkan dia dengan anak tetangga lama mereka. Siapakah cewek itu? Silahkan cari tahu di IMPOSSIBLE… Selamat berjedag-jedug ria

Anies





Percayalah, nggak ada yang lebih menyebalkan dari bos yang memaksamu lembur di hari Jumat. Padahal besoknya sudah weekend. Waktunya melepas penat dari pekerjaan. Waktunya istirahat. Waktunya refreshing. Tapi ini, sudah jam delapan malam aku belum juga di kasih pulang. Empat jam lepas dari jam pulang kantor.
Yang harus menyelesaikan laporan inilah, itulah. Eh, malah ditambah lagi dengan kerjaan yang seharusnya bukan aku yang mengerjakan. Iya, tahu yang namanya loyalitas. Tapi nggak begitu juga, kali. Aku kan manusia. Juga butuh istirahat.
Masih ingat banget saat Bu Siska, atasanku menghampiri mejaku siang tadi. “Rhea, bagaimana soal sponsor? Apa semua bisa hadir saat acara pembukaan?” Seperti biasa. Bu siska berkata dengan nada datar dan tampangnya yang juga datar. Kadang aku mikir, itu orang pas Tuhan membagikan ekspresi dulu nggak dateng kali, ya?
Aku diam sesaat sambil membolak-balik tumpukan kertas dalam map warna biru di depanku. “Tinggal PT. Diandra Sejahtera saja yang belum konfirmasi, Bu. Kalau yang lainnya sudah pasti akan datang.”
“Undangan untuk technical meeting, apa sudah di kirim ke semua pemilik stand yang akan ikut bazar?”
“Sudah, Bu. Dan sejauh ini, mereka yang sudah menerima undangannya sudah konfirmasi ke Farah.”
“Bagus. Kamu sekarang lagi ngerjain apa?”
“Lagi ngerjain ID card untuk para penjaga stand di bazar.” Aku melirik tumpukan ID card yang harus aku stempel dengan stempel perusahaan.
“Kalau begitu, kamu ketik pidato saya untuk pembukaan, dan juga daftar susunan acara. Besok pagi harus kamu kasih ke saya.” Bu Siksa berkata sambil meletakkan empat lembar kertas A4 di mejaku. Kertas yang sebagian hurufnya sudah di ketik rapi. Tapi, banyak sekali tambahan coretan disana-sini dengan menggunakan bolpoin merah. Aku asumsikan kalau itu koreksi dari Bu Siksa. Kata apa yang harus di hapus dan apa yang harus ditambahkan. Kemudian Bu Siska meninggalkan mejaku dan kembali ke ruangannya.
Aku menatap lembar yang lebih mirip kertas coretan pas ujian SMA itu dengan tatapan nanar. Bu Siska tega banget, sih? Ini ID card dua ratus tujuh puluh lima lembar yang harus aku stempel satu per satu, sehabis itu dimasukkan ke plastik keplek, lalu dikasih tali. Masih ditambah dengan tugas harus mengetik ulang lembaran pidato Bu Siska tadi? Dan ini sudah pukul tiga sore. Bu Siska lupa, ya, kalau sejam lagi sudah jam pulang kantor?
Emm, aku belum cerita tentang tempatku bekerja, ya? Oke, jadi begini. Aku kerja di Harsono Boutique. Yaitu nama salah satu butik terbesar dan cukup terkenal di kota Surabaya. Kami memproduksi pakaian sendiri. Dengan kata lain, selain menjalankan butik, kami juga memiliki pabrik tekstil. Ya walau pun pabriknya nggak besar-besar banget, sih. Bu Siska adalah owner sekaligus kepala desainer di Harsono Clothing. Kami punya tim penjahit. Ada juga tim pembuat pola. Tim pembuat batik. Dan sebagainya.
Pakaian yang kami hasilkan, selain dijual di Harsono Boutiqe yang ada di lantai satu, juga didistribusikan ke berbagai cabang Harsono Boutique yang ada di Surabaya dan beberapa kota besar di Indonesia. Baru-baru ini, produk unggulan kami adalah batik. Celana berbahan batik, baju, sepatu, tas, topi, dres, dan segala seusatu yang berbahan batik. Poin plusnya adalah, batik tulis yang dihasilkan oleh perusahaan kami sendiri.
Dan profesiku? Aku adalah desainer junior. Tapi melihat dari apa yang kukerjakan selama bekerja di sini setahun terakhir ini, kayaknya aku lebih tepat disebut sebagai asisten Bu Siska.
Sebenarnya dulu aku melamar ke Harsono Boutique ini sebagai desainer junior dibawah Bu Siska dan lima desainer senior lainnya. Teman seangkatanku ada tiga orang. Aku, bekerja di bawah Bu Siksa. Dengan kata lain, dia adalah pembimbingku dan bertanggungjawab untuk menjadikanku desainer profesional. Sedangkan dua lainnya, Alamanda bekerja di bawah bimbingan Mbak Kayana, dan Maisya bekerja dibawah bimbingan Mbak Bertha. Nasib mereka berdua nggak jauh beda dariku. Persis kayak asisten desainer-desainer senior itu.
Karena pekerjaanku yang dobel-dobel itu, jadi, tahu sendiri kan, sibuknya aku seperti apa? Dan saat ini Harsono Boutique sedang mempersiapkan Festival Batik yang akan diselenggarakan dua Minggu lagi. Semua orang kantor nggak ada yang nggak sibuk. Sampai tugas Vico yang harusnya menyelesaikan ID card untuk panitia dan pesera bazar akhirnya diserahkan padaku. Karena saat ini Vico sedang sibuk mengurusi spanduk iklan yang harus di pasang besok.

Kantorku saat ini lebih mirip dengan tempat penampungan korban bencana alam. Hampir setiap hari lembur. Dan maksud hatiku, hari ini aku tidak ingin lembur karena tubuhku rasanya sudah sangat lelah.
“Selamat sore, Rhea?”
Aku mendongak saat mendengar suara berat memanggil namaku. Dan aku mendapati senyum hangat Mas Asta yang diam-diam kukagumi. Tanpa bisa kucegah dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Eh, Mas. Mau ketemu Bu Siska?”
“Iya. Lagi sibuk, nggak?”
“Kenapa, Mas?” Mau ngajak aku dinner romantis?
“Mau minta susunan acara selama lima hari festival dan juga susunan panitia. Punya saya ketinggalan.”
“Oh. Ada.” Aku membuka laci mejaku dan mencari map kuning yang aku gunakan untuk menyimpan dokumen festival. Lalu mengambil tiga lembar kertas yang dimaksud Mas Asta.
“Ini, Mas.” Aku menyerahklan kertas tersebut ke Mas Asta yang ternyata memperhatikanku sedari tadi. Aku jadi salah tingkah.
“Oke. Thanks ya, Rhea.” Mas Asta mengatakan itu sambil berlalu dari hadapanku. Berjalan menuju ruangan Bu Siska dengan langkah tergesa. Meninggalkan bau parfum maskulin yang akhir-akhir ini mulai kuhafal.
Mas Asta itu EO yang dipakai Bu Siska untuk menangani festival batik yang akan kami selenggarakan. Dan sudah selama hampir tiga bulan ini aku sering bertemu dengannya dalam berbagai meeting. Pembawaannya yang lembut, berkharisma, cool, maskulin, dewasa, membuat hatiku menghangat setiap kali bertemu dengannya.
Serta penampilannya yang selalu rapi. Kemeja berdasi dengan jas body fit yang membuatnya terlihat kereeen banget. Tapi, aku paling suka kalau melihat penampilannya sewaktu meeting sampai tengah malam. Dia menanggalkan dasi dan jasnya. Sehingga hanya meninggalkan kemeja body fit-nya yang lengan panjangnya digulung sampai ke siku. Uhmm... bikin perut yang tadinya kenyang tetiba jadi keroncongan. (eh? nggak nyambung yakk... :) )
Jatuh cinta? Entahlah. Yang jelas aku benar-benar terpesona pada sikapnya yang begitu cowok. Saat itu aku sedang berjalan sempoyongan karena membawa satu kardus penuh dengan proposal festival. Dan dengan coolnya dia mengambil dus itu dari tanganku untuk dia bawakan ke ruangan Bu Siska. Gimana nggak suka, coba?
───
Sekali lagi aku melihat pergelangan tanganku. Jam delapan lewat empat puluh lima menit. Taksi yang ku pesan belum juga datang. Padahal aku minta dijemput pukul delapan tepat. Dua kali aku telepon ke operator taksi biru itu, jawabannya tetap sama. ‘Kami akan menghubungi taksi yang sudah kami kirim untuk segera menuju tempat Ibu. Mohon bersabar menunggu. Dan kami minta maaf atas ketidaknyamanan Anda.’
Enak banget itu operator ngomongnya. Kakiku kram gara-gara kelamaan berdiri dipinggir jalan. Sebenarnya Bu Siksa masih rapat dengan pihak EO, sih. Ya Mas Asta tadi sama teman-temannya. Tapi, kalau aku menunggu di dalam, yang ada akan di suruh ini itu, lagi. Mau pulang jam dua belas? Terima kasih, deh.
“Lagi nunggu jemputan, Rhe?”
Hampir saja aku teriak karena saking kagetnya. Entah muncul darimana, Mas Asta sekarang sudah berdiri di sampingku. Dan wajah muramku langsung berubah cerah.
“Eh, Mas. Iya, taksinya nggak dateng-dateng.”
“Rumah kamu di mana?”
“Rungkut, Mas.”
“Kebetulan. Bareng aja, yuk. Kita searah kayaknya.”
Mau banget. “Emang rumah Mas Asta di mana?”
“Dharmahusada.”
Mataku melotot refleks saat mendengar jawaban Mas Asta. Itu mah jauh banget. Bukan searah sama sekali.
“Itu nggak searah, lho, Mas.”
“Searah. Udah, yuk.” Mas Asta mendorong pelan bahuku untuk mengikuti langkahnya menuju mobil.
“Tapi taksinya.” Kataku sambil menunjuk-nunjuk jalan raya.
“Batalin aja. Nggak dateng-dateng juga, kan?”
Dan karena dipaksa─sebenarnya tanpa dipaksa pun aku juga mau─akhirnya aku menurut juga masuk ke mobil Mas Asta. Selama empat puluh menit aku mengamati Mas Asta dari dekat, sedikit banyak aku jadi tahu tentang dia. Bagaimana gesturenya setiap kali bicara. Bagaimana caranya mengedipkan mata. Bagaimana senyum hangatnya yang membuat waktu serasa membeku. Duh, genap satu jam saja aku berada satu mobil dengan Mas Asta, aku yakin bakalan mati karena kekurangan oksigen.
Dan empat puluh menit kemudian dia memarkirkan mobilnya di depan rumahku.
Thanks lho, Mas. Maaf banget udah ngerepotin.” Aku berkata sambil membuka seat belt kemudian membuka pintu mobil.
“Nggak masalah. Sampai bertemu lagi.” Mas Asta menjawab dengan senyum hangatnya.
“Oke. Hati-hati.” Kemudian aku turun dari mobil dan menutup pintunya.
Kalau untukku, Dharmahusada dan Rungkut itu tidak searah. Yang seharusnya Mas Asta hanya perlu menempuh Hr. Muhammad─Dharmahusada hanya dengan dua puluh lima menit, sekarang menjadi hampir sejam gara-gara mengantarku ke Rungkut terlebih dulu. Apa ini bisa kuartikan sebagai ‘lampu hijau’?
Emm, terlalu ge-er ya, aku? Bukannya gimana-gimana. Tapi, kalau nggak ada apa-apa mana mungkin sih, rela buang-buang waktu cuma buat ngantar pulang orang lain? Ah, ya sudahlah.
───

BACA JUGA

COMPLICATED PART 2





Tidak ada komentar:

Posting Komentar