Sabtu, 22 November 2014

COMPLICATED Part 4



Acara makan malam di rumah keluarga Ontowiryo semalam berjalan ‘hangat’. Seenggaknya untuk keluarga Ontowiryo sendiri dan juga keluargaku. Kalau bagiku sama sekali enggak. Mereka seperti berkomplot untuk selalu mendekatkanku dengan Arsa. Seperti saat Tante Syarika memintaku dan Arsa untuk mengambil pesanan kue di toko Bakery langganannya. Kemudian saat Mama memaksaku untuk berkeliling rumah keluarga Ontowiryo dengan ditemani Arsa. Kalau tidak ingat sopan santun, sudah pasti aku kabur dari sana. Menyebalkan!
“Malam, Rhea.”
Aku sedikit berjengit mendengar Mas Asta menyapaku. Malam ini dia terlihat ganteng banget dengan setelan baju kerja yang masih rapi pada jam segini. Wajahnya terlihat segar dengan bulu-bulu halus yang mulai tumbuh disekitar rahang dan pipinya. Membuatnya terlihat semakin maskulin.
“Malam, Mas.” Aku membalas sapaan Mas Asta dengan nada riang. Jelas. Rasa sebalku mengingat acara makan malam semalam langsung lenyap begitu melihat senyum Mas Asta.
“Ke atas bareng?”
“Boleh.” Aku meraup map yang berisi berkas-berkas untuk rapat, laptop dan notebook. Kemudian mengikuti langkah Mas Asta menuju ruang rapat di lantai tiga.
Sesampainya di ruang rapat aku langsung meletakkan fotokopian data yang diantar Mas Asta kemarin ke setiap meja yang sudah berisi beberapa panitia acara yang sudah mulai berdatangan. Bersamaan dengan itu Bu Siska dan beberapa orang lagi masuk ke dalam ruangan. Aku mengambil duduk di samping Bu Siska dengan laptop terbuka dihadapanku dan notebook warna hijauku. Siap mencatat apa pun yang diinstruksikan Bu Siska.
“Selamat malam semua. Malam ini kita akan membahas tentang perubahan susunan acara yang sebelumnya sempat disinggung di rapat kemarin. Susunan acara baru, sudah saya siapkan di meja saudara-saudara. Jadi, untuk acara pembukaan nanti saya inginnya─”
───

Ini si Ares mana, sih? Katanya mau jemput. Tapi belum juga nongol. Kalau saja nyari taksi di jam sebelas malam kayak begini gampang, sudah pasti aku pulang naik taksi, deh. Dan sejak sepuluh menit lalu aku harus memasang senyum lebar setiap kali panitia-panitia acara festival menyapaku saat mereka mau pulang. Walaupun sebenarnya aku lagi dongkol setengah mati.
“Belum pulang, Rhe?” Bu Siska menyapaku. Dia berjalan berdampingan dengan Mas Asta.
“Belum, Bu. Nunggu jemputan.” Jawabku masih harus dengan senyum lebar.
“Mau bareng? Kita kan, searah.” Mas Asta menawari.
“Nah. Tadinya saya mau menawari. Tapi tau sendiri rumah saya di Pakuwon sini.” Sahut Bu Siska yang terlihat hanya basa-basi. “Asta. Nitip Rhea, ya. Saya pulang dulu. Kalian hati-hati.” Kata Bu Siska kemudian berjalan pergi tanpa menunggu jawaban dariku atau pun Mas Asta.
“Ayo, Rhe.” Mas Asta mempersilahkanku. Dia membukakan pintu untukku, menahannya, membiarkanku lewat terlebih dulu, baru dia menyusul di belakangku. Cowok banget, kan? Gimana nggak suka, coba.
“Kenapa untuk acara pembukaan festival nggak jadi pakai tari-tarian Bali, Mas?” Aku bertanya pada Mas Asta.
“Katanya Siska kemarin, tarian Jawa lebih masuk ke tema. Selama ini kan, kita taunya pusat batik ada di Jawa. Ya walaupun hampir setiap daerah di Indonesia memiliki batik khas masing-masing, sih. Aku juga nggak ngerti sama pendapat Siska itu. Ya namanya Bos, mana bisa kita membantah kemauannya, Rhe.”
“Iya, sih.” Aku setuju dengan apa yang dibilang Mas Asta barusan. Bu Siska itu orangnya keras. Apa yang dia inginkan, ya harus dilakukan. Pendapat orang lain nggak akan diterimanya begitu saja.
“Mas Asta sudah lama kenal sama Bu Siska?” Aku bertanya lagi.
Mas Asta menekan tombol lock pada kunci mobilnya sebelum menjawab. “Lumayan. Dia itu sahabatku sejak kuliah. Ya sekitar dua belas tahun lah.” Mas Asta berkata kemudian berhenti di depan Fortuner hitamnya. Aku mengikutinya.
“Wow. Udah lama, ya? Emang sejak dulu Bu Siska gitu, ya orangnya?”
“Gitu gimana?” Mas Asta bertanya sambil membuka pintu penumpang untukku.
“Keras, disiplin.”
“Oh. Kalau soal itu rasanya dari zamannya dia bocah kali, ya.”
Aku tertawa pelan mendengar candaan Mas Asta. “Mas kenapa nggak pacaran sama Bu Siska aja?” Sedetik kemudian aku menyesal menanyakan hal itu. Duh! Kenapa bisa keceplosan begitu, sih?”
Bukannya tersinggung, Mas Asta malah tertawa. “Ya nggak mungkinlah. Kami itu sahabat, Rhe. Nggak akan bagus jadinya kalau persahabatan dicampur aduk sama roman picisan. Lagipula, aku sudah tau baik buruknya dia, begitu pun sebaliknya. Rasanya aneh kalau sampai kami pacaran”
Tanpa kusadari aku menarik napas lega saat mendengar jawaban Mas Asta. Peluang terbuka lebar. Karena yang kudengar dari anak-anak kantor, Mas Asta itu masih single.
“Kamu sendiri, apa salah satu dari dua cowok yang ada di rumah kamu kemarin itu adalah pacar kamu?”
Aku terdiam sesaat. Dua cowok di rumahku kemarin? Siapa? Oh… pasti maksudnya Arsa sama Ares.
“Oh. Itu yang tinggi anak temennya Mama. Kalau yang agak pendekan Ares, kakakku. Aku nggak ada pacar, kok.” Jawabku.
“Masa, sih? Cewek secantik dan semenarik kamu nggak ada pacar? Nggak percaya, deh.”
Tanpa bisa dicegah, mendengar perkataan Mas Asta tersebut, wajah dan hatiku menghangat.
“Seriusan, Mas. Aku orangnya nggak gampang suka sama orang. Kalau kata sahabatku, sih, terlalu pilih-pilih. Menurutku, kalau buat pasangan itu ya memang harus memilih. Masa asal comot aja, gitu.”
“Cowok seperti apa yang kamu suka?” Mas Asta bertanya lagi. Wajahnya berubah serius. Menyadari itu, dadaku jadi berdebar.
“Ya kayak cewek kebanyakanlah.”
“Tinggi, ganteng, baik, pengertian, cinta mati sama kamu, karir bagus?” Sahut Mas Asta.
“Kurang lebih.” Jawabku dengan tersenyum.
“Aku masuk kriteria, dong.” Mas Asta berkata dengan senyum jahilnya. Aku tahu perkataannya itu hanya bercanda. Tapi tetap saja jantungku kebat-kebit nggak jelas. Maka dari itu, aku hanya menanggapinya dengan tawa.
Tapi, mendadak tawa Mas Asta menghilang. Dia menatapku serius. Tanpa sepatah kata pun. Aku membalas tatapannya. Saat itu juga aku merasa aktifitas di sekitar kami seperti terhenti. Hanya ada aku dan dia. Mas Asta mengangkat tangannya. Membelai pipiku dengan lembut. Aku tidak menanggapi, juga tidak menolaknya. Hanya terpaku menanatap Mas Asta.
Seperti tersengat, Mas Asta menarik jemarinya dari pipiku. “Sorry.” Kata Mas Asta, salah tingkah. Mendadak suasana berubah canggung.
“Masuk mobil, gih. Udah malem.” Kata Mas Asta. Aku jadi ikut salah tingkah akibat ulah Mas Asta barusan. Sesaat sebelum aku masuk ke mobilnya, seseorang memanggilku.
“Rhea?”
Aku dan Mas Asta menoleh serentak. Arsa berjalan menghampiri kami dengan langkah tegasnya. Senyum lebar tersungging di wajahnya. Duh! Ini cowok nggak tahu banget kalau aku udah lama nungu-nunggu momen cuma berdua Mas Asta seperti ini.
“Ngapain di sini?” Tanyaku. Tanpa kusadari nada suaraku berubah jadi ketus.
“Jemput kamu.” Jawab Arsa kalem dengan wajah tanpa dosa. “Tadi Ares telepon minta tolong aku buat jemput kamu. Dia lupa kalau ada janji sama Kania.”
Oh. Jadi, adegan tadi pagi Mama memaksa untuk pinjam mobilku itu─yang katanya mau dipakai ke rumah keluarga Ontowiryo buat membicarakan masalah reuni SMA mereka─karena ini tho? Dan Ares, yang tadi pagi menawarkan diri untuk menjemputku mendadak ada janji dengan Kania? Ah, klasik. Aku yakin, pasti ini rencana mereka. Mungkin kerjasama juga sama Tante Syarika. Dasar! Licik banget.
“Dan dia minta kamu buat jemput aku, tanpa ngasih tau aku dulu, gitu?” Tanyaku masih dengan nada ketus. Kemudian aku melihat tatapan Arsa teralih ke Mas Asta. Mendadak senyum menghilang dari wajahnya.
“Mas Asta, ini Arsa. Dan Arsa, ini Mas Asta.” Aku memperkenalkan dua cowok itu. Mereka saling tatap sesaat, kemudian berjabat tangan. Jabatan tangannya sama-sama tegas. Tanpa senyum. Tanpa sepatah kata. Dan melihat hal itu perasaanku mendadak jadi nggak enak.
“Emm… Mas Asta, sorry, aku pulang bareng Arsa ya.” Kataku dengan menyesal. Menyesal banget karena nggak jadi pulang bareng Mas Asta. Padahal─kalau aku nggak salah mengartikan sentuhan Mas Asta tadi─dia kelihatan mulai tertarik padaku.
It’s okay, Rhe.” Jawab Mas Asta, tapi mukanya nggak ikhlas. “Lain kali kita ngobrol lagi.” Lanjutnya.
“Oke. Sampai ketemu lagi.” Kataku kemudian berbalik dan berjalan mengikuti Arsa menuju mobilnya.
───
“Kamu suka sama cowok tadi?” Arsa berkata tanpa menatapku. Ini suara pertama yang muncul di mobil sejak kami meninggalkan kantorku tadi. Padahal sekarang ini sudah hampir sampai di rumahku.
“Iya.” Jawabku. Dari ekor mata, aku melihat wajah Arsa mengeras. Tapi hanya sesaat.
“Sudahi perasaan kamu itu daripada nantinya terluka.” Lanjut Arsa dengan nada dingin.
Seketika aku menoleh untuk menatapnya. “Maksudnya apa, tuh?”
Arsa membelokkan stir ke kompleks rumahku sebelum menjawab. “Aku bakal kasih tau kamu alasannya. Tapi nggak sekarang.”
Oh, okay. Jadi si mister sok cool ini lagi sok-sokan jadi orang misterius juga, tho? Badanku sedikit tersentak ke depan saat Arsa menghentikan mobilnya mendadak. Tapi mataku tidak teralih darinya.
“Lagi pula, kita dijodohin. Orangtua kamu sudah bilang soal itu, kan? Jadi jangan coba-coba buat dekat sama cowok lain.” Arsa berkata masih dengan nada dingin, tapi tegas.
Aku tertawa sinis. “Jangan berkata seolah-olah kita akan benar-benar menikah, Arsa. Karena aku, menolak perjodohan ini.” Jawabku dengan tegas. Aku melepas seat belt dengan kasar. Kemudian meraih handle pintu. Terkunci.
“Buka!” Kataku dengan suara sedikit tinggi. Entah kenapa, sejak mendengar perkataan Arsa mengenai perasaanku terhadap Mas Asta tadi, aku tiba-tiba jadi emosi.
“Kita memang akan menikah, Rhea. Kamu nggak bisa mengelak dari perjodohan ini.” Arsa berkata dengan nada dingin dan tajam.
Aku hampir nggak percaya dia mengatakan itu. Karena kesan yang kutangkap saat pertama kali kami bertemu kemarin adalah sikapnya yang hangat. Aku jadi ragu kalau saat kami kecil dulu bersahabat baik.
Aku tersenyum sinis. Kemudian berkata dengan nggak kalah sinisnya. “Oh, ya? Kita lihat saja nanti. Sekarang buka kuncinya. Aku mau istirahat.”
Arsa mengatupkan rahangnya kuat. Menatapku tajam tanpa berkata apa pun. Dia memejamkan mata sesaat, lalu membuka kunci pintu mobil. Aku segera turun dari mobil Arsa tanpa sepatah kata pun.

───

COMPLICATED PART 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar