Sabtu, 26 April 2014

Letter to My Best Friends



*Tadinya tulisan ini mau aku ikutin ke lomba nulis “Surat untuk Sahabat”. Tapi, berhubung aku ingin tulisan ini kalian baca, dan berhubung syarat lomba itu adalah tulisan belum pernah di publikasikan di media cetak atau media elektronik mana pun, jadinya, aku nggak jadi ikutin lomba. Biar kalian semua bisa baca ini. (hwaaa…. mellow banget, ya, diriku)*
Hai, gals? Masih bolehkah aku memanggil kalian sahabat?
Pertama, aku mau cerita sedikit tentang kita. Dulu, sewaktu kita masih anak-anak, kita terdiri dari dua perkumpulan. Anak selatan sama anak utara. Nggak pernah main bareng, bahkan cenderung suka berantem dan bermusuhan. Apalagi aku, kayaknya sok bossy banget gitu (kalau ingat suka malu sendiri). Agak-agak provokator juga kayaknya (mohon dimaklumi, namanya juga bocah… hhhh).
Dari anak-anak beranjak remaja, masih belum akur juga. Sampai menjelang habis masa remaja. Ketemu di perkumpulan karangtaruna. Sering ketemu, berkegiatan bareng, ngobrol bareng. Sampai akhirnya ngerasa saling cocok, saling nyaman, dan dengan sendirinya seperti terikrar persahabatan di antara kita.
Kalau aku pikir-pikir, karena sifat kita yang mirip, yang bisa membuat kita nyambung buat sahabatan. Gokil, gila, kocak, konyol, rame, agak-agak pemberontak juga. Nggak lupa, kan, kayak gimana kebandelan kita menentang dan melawan ‘Ibu Ketua’?
Dari remaja akhirnya beranjak dewasa. Lulus SMA, perpisahan, kesibukan masing-masing yang semakin meningkat (ada yang kerja di luar kota, ada yang lanjutin kuliah di luar kota). Seiring berjalannya waktu, frekuensi pertemuan yang semakin sedikit, komunikasi yang suka mandek. Aku kok ngerasa…. kita semakin merenggang, ya!? Emm.. aku juga ngerasa kayak nggak setulus dulu gitu.
Bahkan, terkadang muncul konflik-konflik kecil karena salah paham atau perbedaan pendapat. Kalau dulu pas remaja hidup kita cuma dipenuhi dengan candaan, kekonyolan, kok sekarang malah saling melempar kata-kata pedas.
Aku yang terlalu sensitif dan mudah tersinggung. Reni dan Umex dengan kata-kata cablaknya yang kadang tanpa mereka sadari itu membuat yang lain tersinggung. Yuyun sama Dwex yang cenderung masa bodoh dan paling santai. Vina yang konyol tapi juga paling bisa diajak ngomong serius. Dan Mende, yang konyolnya nggak ketulungan.
Kadang aku berpikir, mungkin dengan intensitas pertemuan kita yang semakin sedikit, lama-lama rasa nyaman yang kita miliki dulu terasa jadi hambar. Nggak ada warna, nggak ada cerita baru. Dan dengan sendirinya hubungan kita jadi merenggang. Ada kalanya kita tiba di titik jenuh. Dan ingin sesuatu yang baru. Karena itu, kita saling sibuk mencari teman baru yang selalu ada untuk kita disetiap waktu.
Kalau dipikir-pikir, cerita kita tuh, mirip sama isi cerita di lagu Sindentosca yang Kepompong. Kalau nggak salah ingat, liriknya kayak begini.

Dulu kita sahabat, teman begitu hangat
Mengalahkan sinar mentari 
Dulu kita sahabat, berteman bagai ulat
Berharap jadi kupu-kupu 

Kini kita berjalan berjauh-jauhan
Kau jauhi diriku karena sesuatu
Mungkin ku terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku sayang

 Persahabatan bagai kepompong
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong
Hal yang tak mudah berubah jadi indah
Persahabatan bagai kepompong
Maklumi teman hadapi perbedaan
Persahabatan bagi kepompong


Hmmm… hmm.. Mau ngomong serius, nih. Agak menye-menye (alias melankolis parah, biar kagak ada yang pusing-pusing nyari di kamus (lagi). Apakah. Arti. Menye-menye? Karena sampek lebaran tokek pun, kagak bakal nemu kata menye-menye dalam kamus). Baiklah. Bakalan ngomong yang agak sensitif, nih. Aku aja sambil nangis nulisnya (perezz).
Gals, aku sayang kalian, aku butuh kalian. Yang aku pengen sederhana, kok. Kita tetep sahabatan kayak dulu, dengan tulus, tetap menjaga komunikasi walaupun kita tinggal berjauhan, mau merepotkan dan mau di repotkan. Intinya, aku berharap kita bisa tetap sahabatan kayak dulu. Sampek tua nanti
So, bisa, kan, kita sahabat kayak dulu lagi? Yang tulus

Sahabatmu,

    Anis

Selasa, 01 April 2014

Letter to My Ex



Hai, Iin?
Masih inget kan, aku pernah kasih nama panggilan itu ke kamu? Kamu nggak lupa juga, kan, kenapa aku kasih kamu panggilan itu?
Aku selalu ingat, saat kamu panggil aku Tom karena penampilanku yang tomboy. Dan karena itu, aku kasih kamu julukan Iin. Iin, waktu itu adalah nama tokoh dalam sinetron remaja. Nama sebenarnya Indra. Tapi karena dia anak Mami (persis kayak kamu), sahabat-sahabatnya kasih dia nama Iin. Dan karena itulah aku juga kasih kamu panggilan itu.
Satu hal yang paling aku selalu sesalkan setelah perpisahan kita. Aku nggak benar-bernah pernah bilang secara gamblang kalau aku sayang sama kamu. Selama di SMA, kita hanya menjalani hubungan itu. Mengalir apa adanya. Ikut bagaimana waktu memberi kita cerita. Sehingga aku pun hanya pasrah, saat akhirnya kita lulus, dan artinya kebersamaan kita pun berakhir.
Awalnya aku pikir perasaanku padamu hanya cinta monyet seperti yang banyak orang bilang. Cinta disaat SMA. Aku yang selalu menerima segala perhatianmu, dan kamu yang selalu dengan tersenyum memberikan perhatianmu padaku. Tapi setelah perpisahan itu, aku baru benar-benar paham dengan perasaan yang kupunya.
Menangis saat merindukanmu, dada terasa sesak saat ingin mendengar suramu tapi nggak bisa. Hati terasa kosong saat ingin merasakan kembali hangat genggaman tanganmu, usapan lembut di puncak kepalaku. Aku sadar, kalau aku masih mencintaimu.
Aku tahu, masa lalu itu tempatnya di belakang. Aku ingin meyakini itu. Hanya saja, hatiku belum rela untuk menempatkanmu sebagai masa lalu. Cinta pertamaku. Cinta monyetku. Kisah masa SMA-ku.
Saat ini yang ada adalah, aku yang selalu merindukanmu, aku yang berharap bisa bertemu denganmu, aku yang masih menyimpan setiap penggal kisah kita, aku yang masih belum bisa move on darimu, aku yang nggak berani membuka hati untuk yang lain karena aku masih mengharapkanmu. Dan kamu, yang aku tahu kamu sudah memiliki cerita dengan yang lain.
Yang paling kau inginkan sekarang hanya satu. Tuhan mempertemukan kita melalui takdir yang sudah direncanakan-Nya. Bukan aku atau kamu yang sengaja meminta bertemu. Agar aku tahu, perasaan macam apa yang kumiliki untukmu sampai detik ini. Agar aku bisa mengikhlaskan kisah kita yang tidak pernah jelas itu. Agar kau bisa melanjutkan hidupku.
Aku tunggu, sampai saat itu tiba. Sampai saat Tuhan menuliskan cerita takdir-Nya untuk kita lagi. Aku merindukanmu, Iin.