Sabtu, 14 Juni 2014

Surat Untuk Ayah



Untuk Ayah,

Ayah, mungkin Ayah begitu kesal dengan sikap membangkangku selama ini. Yang nggak pernah mendengarkan kata-kata Ayah. Bahkan sering kali menjawab setiap perkataan Ayah.
Bukan! Bukan karena aku tidak sayang Ayah atau membenci Ayah. Aku menyayangi Ayah seperti halnya rasa sayangku pada anggota keluarga yang lain. Aku hanya ingin protes atas sikap Ayah yang sepertinya berbeda terhadapku. Yang mulai kurasakan sejak Adik sakit dan hampir kehilangan nyawanya, sepuluh tahun lalu.
Aku tahu, mungkin Ayah merasa sedih karena hampir kehilangan Adik. Dan memberi segala sesuatu lebih untuk Adik sebagai rasa syukur, mungkin. Sehingga lupa kalau ada aku dan Kakak.
Tidak tahan dengan sikap Ayah, Kakak lebih memilih untuk pergi dari rumah. Sedangkan aku, saat itu aku hanya anak tiga belas tahun. Tidak punya keberanian untuk pergi dari rumah seperti Kakak yang berusia sembilan tahun diatasku. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menerima perlakuan Ayah, menangis sediri di kamar, sehingga rasa kecewaku semakin lama berubah menjadi rasa benci. Tapi itu dulu.
Terkadang, aku ingin sekali kembali ke masa kecil dulu. Masa dimana Ayah selalu memanjakanku. Sering mengajakku pergi hanya berdua. Apa saja Ayah lakukan untuk membuatku berhenti menangis. Bagaimana Ayah menenangkanku dengan penuh kasih sayang. Aku kangen masa itu, Yah.
Aku juga ingat banget. Aku lupa tepatnya kapan. Yang aku ingat, saat itu puasa mendekati lebaran. Seperti halnya anak-anak lain. Aku meminta Ayah membelikanku baju baru untuk lebaran. Saat itu kita belum punya motor. Siang hari saat matahari terik, bulan Ramadhan, Ayah rela mengayuh sepeda menempuh jarak lima kilo hanya untuk membelikanku baju ke pasar.
Ayah tidak tahu ukuran bajuku. Baju yang Ayah beli untukku kebesaran. Karena itu Ayah kembali ke pasar untuk menukar baju. Kembali mengayuh sepeda sejauh lima kilo.
Aku sedih bila ingat saat itu, Yah. Ayah yang begitu rela melakukan apa pun demi membahagiakanku. Aku tahu Ayah sayang padaku, seperti halnya aku yang juga sayang pada Ayah. Sungguh, aku ingin Ayah seperti dulu lagi.
Aku juga ingat. Dulu aku suka sekali digendong sama Ayah. Karena ingin digendong dan nggak berani ngomong sama Ayah, aku pura-pura tertidur di ruang tamu. Karena itu Ayah menggendongku dan memindahkanku ke kamar.
Boneka yang Ayah berikan padaku dulu, sampai sekarang aku masih menyimpannya. Karena itu satu-satunya boneka yang Ayah berikan padaku dulu. Bahkan saat keponakan minta boneka itu, aku nggak kasih. Karena itu pemberian Ayah. Ahh, indah sekali masa kecilku dulu.
Beranjak dewasa, mengikuti perkataan Ibu, sepertinya dengan aku meninggalkan rumah hubunganku dengan Ayah akan membaik. Karena dengan jarangnya bertemu, kemungkinan perdebatan kita yang berujung pertengkaran akan berkurang.
Maka, selesai SMA aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Andai Ayah tahu apa alasanku pergi. Itu karena aku merasa nggak betah tinggal dirumahku sendiri. Sikap Ayah yang masih sama terhadapku,. Dan kehadiran orang baru di rumah kita, istri dari Kakak. Aku merasa semua perhatian teralih padanya. Bahkan saat dia berbuat salah sekali pun dan aku menegurnya, kalian, Ayah, Ibu, Kakak, semua malah menyalahkanku. Aku benar-benar muak saat itu. Aku merasa kehilangan keluargaku.
Empat tahun lalu saat aku pergi dari rumah, aku merasa sikap Ayah masih sama. Tapi setelah aku pergi, benar yang dibilang Ibu. Sikap Ayah sedikit lebih baik terhadapku. Tapi, nggak tahu kenapa, sayangku ke Ayah sekarang nggak seperti sayangku ke Ayah dulu. Aku seperti belum bisa sepenuhnya sayang pada Ayah.
Aku tahu itu salah, Yah. Tapi hatiku belum bisa menerima sepenuhnya perlakuan Ayah dulu. Aku masih sangat ingat saat Ayah dengan penuh emosi menampar pipiku. Saat Ayah mengataiku gila hanya karena aku mendebat Ayah. Saat Ayah menuduhku mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang. Aku masih merasakan sakit, Yah.
Aku sangat sayang Ayah, dulu. Sekarang, aku sudah memaafkan Ayah. Dan berusaha untuk menerima Ayah kembali sepenuhnya. Semoga, aku bisa melakukannya. Karena itu, Yah, bantu aku untuk mewujudkan itu. Kembalilah seperti Ayahku yang dulu. Yang sayang padaku. Yang tidak peprnah membedakan anak-anaknya. Yang rela melakukan apa pun untuk kebahagaiaanku.
Bantu aku, untuk kembali bangga menjadi anakmu.

                                                                                                Putrimu,
                                                                                              Anis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar