Minggu, 01 Maret 2015

Cerita dari Masa Kecil



Wajah kami mirip. Darah yang mengalir di tubuh kami juga sama. Tapi, sifat dan kepribadian kami sangatlah bertolak belakang. Dia adalah adikku. Laki-laki yang lahir satu tahun setelahku. Sifatku yang cenderung nggak mau mengalah dan nggak mau kalah, sedangkan dia seringnya mengalah untukku. Aku yang cerewet dan banyak sekali maunya, kalau dia cenderung pendiam. Aku yang berani dan pemberontak, sedangkan dia akan lebih memilih diam dan menerima apa yang terjadi. Aku kalau diserang akan balik menyerang dengan lebih beringas, kalau dia akan lebih memilih diam dan membalik badan. Aku yang tegas dan nggak bisa ditindas, kalau dia nggak bisa tegas dan gampang sekali untuk diintimidasi. Dulu aku sering mengatainya, ‘Badan doang gede, nyali sekecil biji kedelai’.

Dulu, saat kami masih kecil, kami lebih terlihat seperti dua anak laki-laki kembar. Wajah kami mirip, potongan rambut pendek cepak, berkulit kecoklatan terbakar matahari, baju dan sepatu selalu bermodel sama hanya beda warna. Selalu main bersama. Iya, aku yang perempuan ini dulu mainnya sama anak laki-laki. Sebenarnya, aku punya dua teman perempuan. Dan kami (aku serta dua teman perempuanku itu) seringnya main sama anak laki-laki karena memang anak seumuran kami semuanya adalah laki-laki. Walaupun sebenarnya kami bisa saja main hanya bertiga, tapi, entah kenapa kami leih suka main bersama anak laki-laki.

Banyak jenis permainan yang sering kami mainkan dulu (kebanyakan permainan anak laki-laki, sih). Main perang-perangan (mulai dari Power Ranger, Satria Baja Hitam, Ultramen, Wiro Sableng, Kera Sakti), main kelereng, main petak umpet pas malam-malam (sengaja sembunyi di tempat gelap biar nggak kelihatan yang jaga, eh, malah ngelihat sesosok makhluk astral berbaju putih), main gobak sodor, lompat tali. Berlomba-lomba nyari jangkrik di sawah─saking semangatnya sampai bongkar-bongkar jalanan pematang sawah yang mengakibatkan kami dikejar-kejar sama pemilik sawah. Nyolong tebu di sawah yang katanya dijaga sama orang gila (yang ini jangan ditiru), kemudian ketahuan penjaga sawah yang ngejar kami sambil bawa celurit. Nyari ikan disungai, berburu burung pakai ketapel, nyari capung. Bikin layangan terus diterbangin bareng-bareng di sawah (kalau yang ini aku melakukannya sampai kelas X SMA─iya, malu-maluin memang, makanya jangan ditiru).

Dulu, aku dan adikku itu nggak terpisahkan. Kemana-mana harus selalu berdua. Ingat banget saat dia sakit usus buntu dulu, aku nangis berhari-hari karena ditinggal di rumah cuma berdua Eyang Putri. Sedangkan orangtua dan kakakku menjaga adik di rumah sakit. Yang aku takutkan saat itu cuma satu, bahwa aku nggak akan pernah melihat adikku lagi. Setelah operasi, adik nangis nyariin aku, tapinya aku takut buat bertemu dia (karena hal terakhir yang aku lihat sebelum dia masuk rumah sakit adalah sekujur badannya membiru dan kejang-kejang).

Kami juga sering masak berdua. Gara-gara nonton acara masak di TV, kemudian kami mempraktekkannya dan membuat dapur Ibu beserta segala isinya jadi berantakan. Satu hal konyol yang paling memalukan yang pernah kami lakukan dulu adalah, lari keliling halaman tanpa pakaian sama sekali─waktu itu kami masih dibawah sepuluh tahun. Lalu main kejar-kejaran, terus ujung-ujungnya aku ngumpet dikamar. Saling mendorong pintu kamar (aku yang berusaha menahan agar pintu nggak terbuka, dan adik yang berusaha untuk membuka pintu) sampai temboknya retak dan pintu hampir roboh─lagi-lagi kami dimarahi Bapak. Kemudian aku pernah sangat menyesal karena memukul tulang pinggul adikku pakai gayung sampai dia nangis sesenggukan (hanya gara-gara ribut kecil).

Pas SMA dulu, kami sering pergi ke mana-mana berdua naik sepeda (ke warnet, beli sesuatu ke warung saat di suruh Ibu, main ke rumah teman). Konyolnya, bukannya adik laki-lakiku itu yang membonceng, tapi malah aku yang membonceng dia. Karena badannya yang tinggi besar, boncengan sepedaku sampai rusak dan nggak bisa dipakai lagi. Lalu kami dimarahi sama Bapak. Kalau dimarahi begitu, paling kami cuma diam, saling tatap kemudian meringis menahan senyum. Itulah dunia masa kecil kami.

SEKARANG? Kami sudah hampir nggak pernah melakukan itu lagi. Nggak ada boncengan sepeda berdua ke warnet, nggak ada kejar-kejaran sampai ngumpet di kamar, nggak ada acara masak berdua, nggak ada nerbangin layang-layang di sawah. Ada kalanya, aku sangat merindukan hal-hal konyol belasan tahun lalu itu. Candaan-candaan konyol kami. Aku yang sok jagoan menantang sekelompok anak laki-laki yang mengintimidasi adikku. Nggak ada lagi adik kecilku yang sembunyi di belakang lemari kelasku saat SD, demi menungguku pulang sekolah. Nggak ada lagi cerita rebutan makanan. Nggak ada lagi main tikus-tikusan. Ahh… nggak nyangka waktu cepet banget berlalu.

Terlebih sekarang kami tinggal di kota yang berbeda. Aku di Surabaya, adikku di Ponorogo. Hampir nggak pernah ngobrol, sekali pun melalui telepon. Pergi berdua paling empat bulan sekali saat kebetulan aku pulang ke Ponorogo. Apalagi sekarang dia sudah menikah. Semakin nggak bisa ngelakuin hal-hal konyol lagi berdua. Sekarang aku baru percaya dengan kutipan novel Menikahlah Denganku-nya Annisa Adrie, “Setipis apa pun, pernikahan akan melahirkan sekat antara seseorang yang menikah dengan kehidupan di luar rumah tangganya. Seseorang yang menikah akan memiliki garis teritori yang tegas dalam hidupnya.”

Kalau dipikir-pikir─setelah kami sama-sama dewasa─sepertinya aku yang lebih pantas disebut adik dan adikku lebih pantas disebut sebagai kakak. Karena fisik adikku yang jauh lebih besar dan lebih dewasa daripada aku, kemudian seringnya dia yang mengayomi dan menjagaku, lalu fakta bahwa dia menikah lebih dulu daripada aku.

Sekarang jadi bisa mikir, sih, dulu saat kami kecil sering sekali bertengkar, setelah sama-sama dewasa dan sibuk dengan urusan masing-masing, kami menginginkan kebersamaan itu hadir lagi. Ya, begitulah manusia. Selalu menginginkan kembali yang telah terjadi, untuk kembali hadir di kehidupan masa kini. Padahal faktanya hal itu sangat mustahil.

Itulah kisah masa kecilku dengan adik laki-laki sekaligus sahabatku. Yang seringnya tanpa melibatkan kakak kami yang berusia sepuluh tahun di atas kami. Suatu saat, aku masih ingin merealisasikan keinginan untuk traveling keliling Jawa berdua. Semoga.

13 komentar:

  1. Sama...
    Saya juga kok. Dulu sering banget berantem sama kakak. Tapi setelah dia kuliah di luar kota, mendadak jadi kangen. Kangen berantem, kangen rebutan remot TV, sampe kangen dibikin nangis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah! Begitulah. Kalau deket, berantem. kalau jauh, kangen.

      Hapus
  2. jaman kecil dulu suka main hujan-hujanan kalo jaman sekarang mah malu, udah gede sih hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terakhir aku main hujan-hujanan sama adik laki-lakiku pas SMA. :))

      Hapus
  3. masa kecil emang indah ya kalau ngingat2 kelakuan kita sama saudara sendiri :")
    dulu saya sering main sama kakak saya, setelah remaja jadi diam2 aja..

    BalasHapus
  4. Wah lengkap kali pngalaman dengan adik yg hampir seumuran. Sya malah dengan adik jaraknya sembilan tahun. Jadi aku udah gede dia msih bayi. Hmmm bertengkarnya jadi jarang hahaha tapi sering ngebuat dia nangis hhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda itu persis kayak kakak saya. Nggak care banget sama adik. hahaa...

      Hapus
  5. duh jadi terharu, seneng ya punya saudara yang bisa jadi teman main. aku juga punya kakak perempuan tapi lebih sering gak akurnya karena saling berebut perhatian dari mamah, huft,, jadi ngiri deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaa... itulah nggak enaknya kalau satu gender. Suka ribut cari perhatian.

      Hapus
  6. Cerita masa kecil begitu memberi banyak kenangan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali. Seringnya pengen mengulang masa itu, tapi msutahil.

      Hapus