Kamis, 19 Maret 2015

Book Review : Pre Wedding in Chaos




Judul : Pre Wedding in Chaos
Genre : Fiksi Romance
Penulis : Elsa Puspita
Penyunting : Pratiwi Utami
Desain Cover : Wirastuti
Pemeriksa Aksara : Septi Ws, Intan Sis
Penata Aksara : Endah Aditya
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit  : 2014
Tebal : 286 halaman
ISBN : 978-602-291-056-5



“Saya mencintai apa adanya kamu, sebagaimana kamu menerima apa adanya saya. Bukan tentang perjanjian abadi selamanya, hanya kesepakatan kecil tentang menjalani hidup bersama hingga detak jantung berakhir, sampai sisa napas terakhir.”


PRE WEDDING IN CHAOS. Dari pertama ngelihat cover ini novel di rak toko buku, yang terlintas dipikiranku adalah elegan, tapi terkesan misterius. Saat baca bab-bab awal, aku tahu aku suka dengan novel ini karena bahasa penulisannya aku banget. Gampang dimengerti, lucu, dan ringan kayak bahasa sehari-hari.

Tokoh utama dalam buku ini adalah Aria Desira dan Saraga Triyasa. Sepasang kekasih yang menjalin hubungan sudah selama sembilan tahun. Hubungan mereka yang tadinya adem ayem menjadi ‘kacau’ saat banyak orang di sekitar mereka—Mami Aria, ibu Raga, Citra adik Aria—mendesak bahkan cenderung memaksa mereka untuk menikah. Untuk Raga, itu memang keinginannya. Tapi untuk Aria, dia tidak memiliki keinginan menikah dengan alasan yang nggak masuk akal. Nggak mau ribet dengan urusan rumah tangga. Karena dua pernikahan yang ada di keluarganya—pernikahan dua kakaknya yaitu Reza dan Mayang—bukanlah tipe pernikahan yang bisa disebut baik-baik saja untuk dijadikan contoh.

Karena nggak tahan dengan ‘kicauan’ orang-orang sekitarnya, akhirnya Aria memutuskanmenerima lamaran Raga. Setelah resmi lamaran, masalah-masalah mulai bermunculan. Mulai dari sikap tak acuh Aria terhadap persiapan pernikahannya dengan Raga, yang membuat Raga harus mati-matian menahan emosinya. Sampai munculnya statement gila Aria yang ajaib banget. Dia menyatakan pada Raga bahwa setelah menikah nanti dia tidak mau memiliki anak dengan alasan dia alergi anak kecil. Menurutnya anak kecil itu adalah jelmaan iblis, berisik dan susah diatur. Haloooo… bagaimana bisa seorang wanita menyatakan bahwa dia nggak mau memiliki anak? Oke, aku memang juga nggak suka sama anak kecil, menurut aku mereka memang berisik dan susah diatur. Tapi, aku sadar kodrat. Tetap ingin hamil dan melahirkan anak setelah menikah nanti.

Agak-agak nggak ngerti juga, sih, sama jalan pikiran Aria yang ajaib itu. Awalnya nggak mau menikah dengan alasan yang nggak masuk akal, kemudian nggak mau punya anak dengan alasan yang sama nggak masuk akalnya. Padahal Raga itu adalah tipe idaman calon suami dan calon menantu. Ganteng, karir mapan, cinta sama pasangan, setia. Kurang apa, coba?

Karena visi mereka dalam pernikahan sangat bertentangan, baik Aria mau pun Raga akhirnya memutuskan untuk putus, yang artinya juga pernikahan mereka batal. Menyakiti diri emreka sendiri serta keluarga masing-masing. Bagian ini, nih, yang bikin nyesek banget. Hubungan yang sudah mereka jalin dengan baik selama sembilan tahun harus berakhir begitu saja. Padahal mereka saling mencintai. Tapi harus berpisah karena statement ajaib Aria yang bikin orang pengen banget ngegeplak kepalanya pakai palu Thor itu. Sembilan puluh Sembilan persen penyebab putusnya mereka adalah sikap egois Aria. Dan satu persennya adalah kesalahan Raga yang nggak bisa memberi pengertian pada Aria bahwa hamil dan memiliki anak tidak semengerikan yang dia bayangkan.

Karena nggak snaggup bertemu Raga dalam waktu dekat, maka Aria memutuskan untuk bekerja di Korea. Enam tahun kemudian dia kembali dan nggak sengaja ketemu Raga saat dia menjemput Angel—anak Citra—di TK tempatnya bersekolah. Raga sudah menikah dengan seorang guru TK di sana dan sudah memiliki seorang ank laki-laki. Di sini juga yang bikin aku makin nyesek. Sayang dengan hubungan sembilan tahun mereka yang sia-sia, dan pernikahan yang sudah di depan mata.

Sampai bab-bab akhir pun aku masih menebak bahwa Aria dan Raga akan bersatu lagi sekian tahun kemudian setelah perpisahan mereka. Tapi aku salah besar. Endingnya benar-benar nggak ketebak. Keren, sekaligus bikin aku nangis semalaman gara-gara meratapi kebodohan Aria (huaaa…. ).

Dari novel ini aku menyimpulkan :
  1. Bahwa sikap egois kita, pada akhirnya akan menghancurkan kita.
  2. Dalam pernikahan, ternyata takdir lebih memegang peran ketimbang jodoh.
  3. Bahwa dalam pernikahan, saling menerima kekurangan pasangan masing-masing adalah harga mati.
  4. Sekecil apa pun kesalahan yang kita buat, konsekuensi sudah menanti di belakang.
Berikut adalah kumpulan quotes favoritku dari novel ini :
  1. Apa yang disatukan Tuhan, hendaknya tidak dipisahkan manusia. (hal 26)
  2. Hanya Nabi yang sanggup bersikap adil kepada istri-istrinya. Hanya alasan-alasan Nabi yang masuk akal dan bisa diterima. Jadi, kalau ada lelaki yang membawa-bawa sunah Nabi untuk poligami, Aria ingin sekali mengebirinya hidup-hidup. (hal 78)
  3. Kita kadang nggak bisa bedain perasaan cinta atau cuma rasa terbiasa sama kehadiran pasangan kita. Yang mana pun, akhirnya, ya, itu yang bikin kita bertahan. (hal 98)
  4. Bagaiman mungkin bisa membangun rumah tangga kalau pandangan ke depan saja tidak sama? (hal 195)
  5. Nyatuin dua kepala itu nggak gampang, makanya kompromi harus selalu di barisan terdepan dalam hal apa pun. (hal 209)
  6. Kalau menurut gue, sih, hidup ini tuh, kayak permainan. Ada tahapan-tahapan yang harus kita lewatin buat naik level. Kalau lagi main game dan lo stuck di level itu-itu aja, apa lo nggak bosen, terus akhirnya berhenti main? (hal 219)
  7. Saat sebuah hubunagn berakhir, saat itulah kita dibuat ingat bagaimana semua itu bermula. (hal 255)
  8. Semua hal yang tadinya manis, seketika berubah pekat. Cita rasa khas kenangan. (hal 268)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar