Selasa, 17 Maret 2015

Let’s End and Move On

image: google


Ini bukan tentang cerita menye-menye remaja labil atau orang yang ingin dikasihani. Hanya ingin sharing saja. Siapa tahu diluaran sana ada orang yang melakukan hal bodoh seperti apa yang kulakuan. Jadi, mari kita mulai ceritanya.

Kalian pernah nggak, sih, ngerasain jatuh cinta yang sampai sebegitu dalamnya? Mungkin bisa disebut cinta mati (agak-agak lebay, sih, istilahnya). Aku pernah merasakannya. Merasakan sayang dan cinta sampai sebegitu dalamnya. Seperti apa pun dia menyakitiku, aku masih mencintainya. Seperti apa pun dia nggak perduli padaku, aku masih mencintainya. Selama apa pun kami lost contact dan nggak pernah berhubungan atau bertemu sama sekali, aku masih tetap mencintainya dan masih tetap menginginkannya.
Dia teman SMA-ku. Nggak perlulah aku sebut namanya. Karena aku nggak punya cukup nyali untuk membuka rahasia sebesar ini. Iya. Menurut orang yang gengsinya terlalu tinggi sepertiku, hal ini merupakan rahasia besar. Aku, kan, perempuan. Masa menyatakan perasaan terlebih dulu? Oh, sebenarnya di zaman sekarang ini sudah bukan hal tabu lagi, sih. Wajar malah. Tapi, ya itu tadi. Gengsiku yang kelewat tinggi ditambah nyali yang cuma sebesar biji kedelai. Padahal aku ini tipe orang yang berani menghadapi apa pun. Menghadapi tantangan apa pun. Tapi siapa sangka kalau menyatakan perasaan itu ternyata lebih sulit dari sekedar menghadapi interview kerja pertama kali. Lebih menakutkan daripada amukan bos dan customer yang rewel.
Oh, astaga. Andaikan nyaliku segede mereka para ABG-ABG zaman sekarang. Mungkin aku nggak akan berharap selama delapan tahun ini. Iya, delapan tahun. Lama, kan? Terserah mau mengataiku bodoh, bego, nggak pinter atau apa pun. Aku akan menerimanya karena kenyataannya memang begitu. Ada sih, keinginan untuk mengungkapkannya. Setelah melalui pemikiran panjang serta semedi bertahun-tahun akhirnya aku bisa mikir, nahwa sudah seharusnya aku mengungkapkan perasaanku padanya. Oke, nanti pada saatnya aku akan mengungkapkan [pada saat bertemu dengannya maksudku, itu pun kalau Tuhan masih menginginkan kami bertemu].
Karena menurutku, kalau aku tidak mengatakan apa yang kurasakan padanya dari delapan tahun lalu sampai sekarang, maka selamnya aku nggak akan bisa membuka hati untuk laki-laki lain. Dan selamanya juga aku akan hidup dalam penantian yang nggak kunjung berakhir.
Kenapa aku bisa jatuh cinta padanya dengan sebegitu dalam?
Entahlah. Aku rasa jatuh cinta itu nggak membutuhkan alasan. Dia itu (cowok yang ketiban apes menjadi objek cintaku) adalah cowok super duper sempurna. Ganteng, populer di sekolah, tajir. Tipenya para manusia yang bergender perempuanlah pokoknya. Awalnya aku nggak pernah tertarik padanya. Bahkan membayangkan jatuh cinta padanya pun nggak pernah terlintas dipikiranku. Hanya saja, nggak tahu kenapa, saat suatu hari aku melihatnya berjalan dari arah berlawanan denganku, aku merasa ada yang lain. Dia tersenyum, ke arahku. Saat itu juga aku merasa seperti ada sinar di antara tubuhnya dan gerakannya menjadi slow motion kayak adegan-adegan di film itu. Kemudian yang kusadari selanjutnya adalah dadaku jumpalitan nggak jelas, dan dada serasa sesak. Lalu mataku, terkunci padanya. Saat itu aku sadar, bahwa aku jatuh cinta padanya.
Dia membawa banyak cerita dalam dunia remajaku. Tawa, canda, jokes-jokes konyol yang dia lontarkan walaupun seringnya garing tapi selalu bisa membuatku tertawa. Kemudian tatapan lembutnya, senyum hangatnya, genggamannya yang erat dan kuat, sentuhan sekilas tangannya di kepalaku. Hal-hal kecil seperti itulah yang akhirnya membuatku jatuh cinta sebegitu dalam padanya.
Yahh, walaupun dulu seringnya bikin sakit hati karena mencintai dia, tapi dia membawa banyak kebahagiaan dalam masa remajaku. Sekarang ini jadi sering mikir, ‘Kok bisa, sih, aku jatuh cinta sebegitu dalamnya dalam waktu delapan tahun cuma pada satu laki-laki?’, ‘Kok bisa sih, sebegitu banyaknya laki-laki yang mendekatiku nggak ada yang bisa menarik hatiku?’, ‘Kok bisa, sih, aku masih mengharapkannya walaupun kami sudah nggak berhubungan lagi selama enam tahun?’.
Sekarang lebih bisa nerima, sih, dengan perasaan tak terbalasku ini. Walaupun belum sepenuhnya menerima. Toh aku menderita juga karena kebodohanku yang nggak pernah mengungkapkan perasaan kepadanya. Padahal dunia ini indah banget. Indah banget dan penuh cinta. Penuh orang yang mencintaiku. Jadi, kenapa nggak aku lupakan saja tentang kisah masa lalu itu dan mulai menerima yang baru.
Jadi, buat kalian yang bernasib sama sepertiku, mari sama-sama kita melangkah maju. Kita tinggalkan dia di tempatnya─yaitu masa lalu. Boleh dikenang, boleh diceritakan, tapi nggak perlu diulang. Hidup adalah untuk bergerak maju, bukan jalan mundur. So, let’s end and move on.


Regards,
^_^

Anis

5 komentar:

  1. Mantan emang selayaknya dilupain sebagai layaknya sebuah layangan yang putus :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyap. Tapi ini aku nggak lagi bahas mantan, lho.

      Hapus
  2. Senasib, Mbak. Hehehe
    Susah euy!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh...
      Seringnya yang mengalami hal ini memang cewek, sik.

      Hapus
    2. Waduh...
      Seringnya yang mengalami hal ini memang cewek, sik.

      Hapus