Rabu, 18 Februari 2015

Sisi Lemah Laki-laki yang Tidak Diakui



Kali ini aku akan membicarakan soal sisi lain dari laki-laki yang terkenal dengan sikapnya yang tegas, keras, arogan dan egois. Sisi lemah laki-laki yang hampir nggak pernah diakui dan nggak ada yang mau mengakui. Yaitu, menangis.
Aku tidak ingin menghakimi atau pun menyalahkan mereka yang tidak mau mengakui. Namanya juga laki-laki. Mereka lebih sayang sama ego, kan? (sorry, ini fakta) Aku akan menggunakan contoh saja agar kalian para lelaki sedikit mau mengakui apa yang akan kusampaikan.
Yang kujadikan contoh kali ini adalah dua laki-laki paling tempramental, egois, arogan, kasar sekaligus paling tegas dan kuat yang pernah aku kenal. Dua orang ini adalah dua orang laki-laki yang berwajah mirip, bersifat dan berkelakuan mirip.
Ya, aku selalu menganggap bahwa mereka kuat. Mereka selalu berdiri sendiri. Tidak pernah meminta bantuan atau pun mengeluh. Mereka berjiwa pemimpin. Dan mereka membuktikannya dengan seringnya mereka terpilih sebagai pimpinan dari komunitas apa pun yang mereka ikuti. Namun, mereka tetap manusia. Memiliki sisi manusiawi yang selalu disangkal laki-laki mana pun. Sisi yang diharamkan dan pantang dilakukan apalagi diakui seperti yang sudah kubilang tadi. Mereka adalah Chris, kakakku. Dan Nathan, sepupuku.
Percaya nggak percaya, sudah beberapa kali aku melihat kakakku menangis. Pertama, waktu itu lebaran. Aku lupa kapan kejadiannya. Yang jelas sudah lama sekali. Mungkin waktu aku SMP kalau nggak SMA. Aku dan keluargaku seperti biasanya, bersilaturahmi ke rumah orang-orang yang dituakan di keluarga besar kami. Di sana, tanpa sengaja kami bertemu mantan pacar kakakku. Orang yang pernah dicintainya dulu itu, menghianatinya dengan menghadirkan orang ketiga. Saat itu kakakku yang menyudahi hubungan mereka. Namun wanita itu tidak menginginkan perpisahan. Harga diri kakakku terluka. Karenanya dia tidak menghiraukan sama sekali saat wanita itu pergi dari rumahku dengan berurai air mata.
Setelah sekian tahun berpisah dan akhirnya Tuhan mempertemukan mereka kembali─entah karena alasan apa─kakakku memilih untuk menghindarinya. Tidak mau menyapa atau berjabat tangan sebagai formalitas Idul Fitri. Yang kulihat setelah perempuan itu pergi, kakakku menangis tanpa suara. Dia tidak pernah mengaku saat kutanya alasan dia menangis. Itulah kali pertama aku melihat kakakku menangis.
Kedua kalinya aku melihat kakaku menangis adalah saat dia berpamitan padaku, adik dan Ibu sebelum dia pergi ke luar kota untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama.
Ketiga kalinya, saat dia berada di titik tersulit dalam hidupnya. Dia kembali menangis. Entah karena merasa tidak sanggup lagi atau bagaimana aku juga nggak tahu. Sejak saat itu, sampai detik ini aku tidak pernah lagi melihatnya menangis.
Kemudian Nathan. Seumur hidup dan sepanjang aku kenal dengannya, aku nggak pernah mendapati dia terlihat lemah. Dia adalah adik sepupuku yang berusia diatasku setahun. Kami pernah bersekolah di SMA yang sama. Saat kelas XI dan XII berada di kelas yang sama, aku jadi sangat tahu orang seperti apa Nathan itu. Bagaimana sifat dan karakternya, yang ternyata nggak berbeda jauh dengan kakakku tadi.
Pertama dan terakhir kalinya aku melihat Nathan menangis adalah saat pemakaman Eyang Kakung Nathan yang adalah adik kandung kakekku. Aku tahu dia berusaha untuk tegar. Aku tahu dia berusaha keras menahan air matanya. Tapi, dia tetap hanya manusia biasa. Egonya dikalahkan. Dia menangis. Dia menitikkan air mata dihadapanku. Dia terisak.
Dari situlah aku baru benar-benar sadar bahwa laki-laki itu juga manusia biasa seperti halnya wanita. Memiliki hati, yang walaupun jarang untuk digunakan. Tapi, sekalinya digunakan selalu disaat yang tepat. Bukan disaat yang nggak penting-penting banget kayak yang dilakukan wanita pada umumnya. Dan sepengamatanku selama ini, yang sanggup membuat laki-laki menangis adalah… wanita dan keuarga. Iya, wanita. Aku tahu kalian para lelaki akan protes. Tapi itu fakta, dari apa yang aku amati dan lihat selama ini.
Jadi, tidak perlu lagi kalian para laki-laki mati-matian menyangkal. Tidak perlu lagi kalian gengsi mengakui bahwa kalian juga bisa memangis. Percuma! Fakta sudah menjawabnya (hweheee…. Peace man!)
Lagi pula, menangis tidak berarti lemah, kok. Percayalah, justru dengan tangis, segala rasa yang sulit diungkapkan dengan kata akan terlihat jelas. Menangis juga meringankan beban. Intinya, menangis bukanlah hal yang memalukan. Selama kalian tidak melakukannya dengan berlebihan─sambil meraung-raung dan teriak-teriak─dan pada situasi dan kondisi yang tepat.



8 komentar:

  1. iyap, menangis itu mungkin bisa dikatakan sebagai bahasa universal.
    wajar kalau kakaknya nangis waktu mau pamitan, saya mungkin juga begitu kalau ada di posisi yang sama.. :")

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah... syukurlah ada yang sependapat. Soalnya, walaupun itu menyangkut keluarga, masih ada gitu yang nyangkal kalau dia nangis. Padahal faktanya dia memang nangis.

      Hapus
  2. Begitulah laki-laki, hatinya kadang bisa jadi lemah :)

    BalasHapus
  3. Yang selalu kutangisi adalah perpisahan. Dan aku tidak pernah menyembunyikannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah.... itu. Saya benci perpisahan. Kalau kebersamaan aja indah, kenapa harus berpisah coba?

      Hapus
  4. ya bener lelaki itu jarang banget nangis, sekalinya nangis tepat pada waktunya, dan gue ngerasa terenyuh saat laki nangis soalnya itu saat dia meluapkan emosinya yang terdalam.

    seumur hidup gue, gue baru 1 kali ngelihat bapak gue nangis,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah... Itulah kayaknya kita harus mengikuti sikap mereka yang ini.

      Hapus