Sabtu, 21 Februari 2015

Inspirasiku Datang dari Pelosok Desa

Tempat yang inspiratif buatku yang pertama adalah sebuah kecamatan di ujung Timur Ponorogo (kota kelahiranku)─perbatasan dengan kota Trenggalek─yaitu kecamatan Sawoo. Disana, pertama kalinya aku melihat anak sekolah dengan semangat belajar yang sangat tinggi. Kecamatan Sawoo itu terletak di kaki gunung Bayangkaki dan sebagian besar wilayahnya memang pegunungan. Pertama kali ke sana adalah di saat aku membolos les dan lebih memilih ikut temanku untuk main ke kecamatan tersebut (saat SMA).

Aku salut sekaligus terharu melihat perjuangan mereka setiap hari untuk pergi ke sekolah. Sekolah, mulai dari SD sampai SMA terletak di pusat kecamatan. Jadi, mereka yang tinggal di daerah pegunungan harus berjalan kaki berkilo-kilo untuk bisa mencapai sekolahan. Aku pernah menanyai seorang teman SMA-ku yang tinggal di desa Tumpuk Sawoo (desa yang berada di dataran paling tinggi di kecamatan Sawoo). Untuk mereka yang berasal dari keluarga nggak mampu, mereka akan memilih berjalan kaki setiap hari untuk pergi ke sekolah. Sedangkan mereka yang berasal dari keluarga mampu, mereka akan memilih menyewa kamar kos yang dekat dengan sekolah mereka.

Aku suka sekali melihat suasana setiap kali jam berangkat dan pulang sekolah di kecamatan tersebut. Kesan keakraban dan kekeluargaan terlihat jelas di sana. Anak-anak berseragam mulai dari SD (dengan seragam putih─merah), SMP (dengan seragam putih─biru) dan SMA (dengan seragam putih─abu-abu) berjalan beriringan menapaki jalan yang semakin lama semakin menanjak. Mungkin, kalau hal itu terjadi padaku, aku nggak akan sanggup bila harus jalan kaki berkilo-kilo demi mencapai sekolah, SETIAP HARI.

Sejak saat itu, semangat juang anak-anak gunung itu untuk bersekolah menjadikanku banyak berfikir. Kalau mereka saja yang harus naik turun gunung demi ke sekolah mau melakukannya demi belajar, kenapa aku yang bisa mencapai sekolah dengan naik kendaraan nggak memiliki semangat sebesar mereka. Karena itulah, saat itu aku berusaha belajar dengan sungguh-sungguh, nggak malas-malas pergi ke sekolah lagi, nggak pernah bolos sekolah [tapi sesekali bolos pelajaran… :)) ]. Walaupun pada akhirnya prestasi akademikku tetap nggak bagus-bagus amat, sih.

Kemudian, tempat yang menginspirasi lainnya adalah sebuah desa masih di kota Ponorogo, yaitu desa Gontor. Di sana berdiri sebuah pondok pesantren modern Darussalam Gontor yang sudah cukup terkenal di Indonesia dan kawasan Asia. Setiap kali sore hari melewati desa itu, kita akan melihat ratusan bahkan mungkin ribuan anak berjalan dengan memakai mukena ( untuk yang perempuan) dan sarung plus kopyah (untuk laki-laki), dengan Al-Qur’an dalam pelukan mereka. Kelompok santri laki-laki biasanya akan berjalan berkelompok di depan dengan jarak yang cukup jauh dengan sekelompok santri perempuan yang berjalan berkelompok di belakang mereka.

Setiap kali melihat hal itu, yang langsung aku lakukan adalah melihat baju yang kukenakan saat itu. Jujur, aku malu dengan mereka. Baju yang kupakai jauh dari kata menutup aurat (bukan berarti aku pakai baju serba mini, lho). Mereka yang perempuan, yang kelihatan hanya wajah mereka. Sedangkan aku, hanya memakai celana selutut dan kaos oblong lengan pendek.

Terharu, malu, iri dan berbagai perasaan lainnya muncul setiap kali melihat pemandangan desa santri itu di sore hari. Aku terinspirasi dari sana untuk lebih mendalami agamaku. Pernah juga masuk pesantren, tapi nggak sampai lulus aku sudah keluar karena nggak bisa dengan peraturannya yang begitu ketat. Di pesantren itu, dari pagi sampai malam kegiatannya penuh banget. Bangun subuh, untuk melaksanakan shalat berjamaah. Pagi sampai siang sekolah formal, nanti istirahat siang dipakai untuk makan dan shalat dzuhur. Kemudian sore harinya untuk laki-laki merawat hewan ternak dan kebun sayur. Sedangkan untuk perempuan bersih-bersih dan menyiapkan makan malam. Kemudian sehabis shalat ashar ada kuliah dari ustadz lalu ngaji sampai menjelang magrib. Sehabis jamaah shalat magrib belajar ngaji bersama ustadz, kemudian sehabis isya ada pelajaran pendalaman agama. Sabtu malam, latihan qiro’ah Al-qur’an. Minggunya ada saja kegiatan. Mulai dari sema’an Al-Qur’an, pramuka, olahraga atau kegiatan-kegiatan lainnya yang akan menjadikan hari liburmu nggak pernah sia-sia.

Sebenarnya itu semua juga sangat berguna untukku. Hanya, tetap saja peraturan itu terlalu mengikat dan terlalu ketat bagiku. Tapi, setidaknya aku memiliki perbekalan ilmu agama yang cukup baik. Aku jadi belajar banyak tentang agamaku. Tentang apa yang boleh dan nggak boleh dilakukan. Dan itu cukup untuk kujadikan pegangan dalam hidup selama ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar