Minggu, 23 November 2014

Short story : SENYUM TERAKHIR BUAT ADI



Samantha memandang nanar ke jendela yang kacanya mengembun. Saat ini hujan tengah turun di luar sana. Sesekali petir menyambar dengan suara menggelegar. Membuat hati Samantha semakin teriris.
Hujan menyimpan cerita tentang Samantha. Tentang kisahnya bersama Adi. Tentang pelukan singkat dibawah hujan saat mereka sama-sama berteduh di teras lab Fisika sewaktu pulang sekolah. Dulu. Kini, tinggal hujan yang menyimpan cerita. Cerita yang sangat ingin Samantha ulang keberadaannya.
“Sekian lama gue memendam perasaan ini untuk Adi. Gue ingin nyatain perasaan gue, tapi gue cewek, La.” Samantha berkata dengan lirih.
Lala, sahabatnya, memandang miris antara kasihan dan sebal. Ini bukan kali pertama dia mendengar sahabatnya berkata begitu. Dia terlalu bosan dengan kata-kata yang diulang Samantha.
“Tauuk, ahh! Pusing gue denger ocehan lo terus.” Jawab Lala dengan malas. Mereka diam sejenak. Saling memandang. “Sekarang gue tanya, berapa lama lo suka sama dia?” Tanya Lala kemudian.
“Empat tahun.” Jawab Samantha.
“Terus, mau sampai kapan lo mencintai dia tanpa berani emngungkapkan?” Lala bertanya algi.
“Ya sampai Adi tau.” Samantha menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari jendela.
“Terus, lo pikir Adi bakal tau gitu kalau lo nggak ngomong?” Lala mengajukan pertanyaan retoris.
“Ya ahrusnya dia sadar dong, kalo gue suka sama dia.”
“Sam, cowok itu nggak sepeka cewek. Kalau kita nggak ngomong ke dia tentang apa yang kita rasa, mereka nggak akan pernah tau. Ngerti lo?” Lala berkata dengan nada meninggi. Dia sudah sangat kesal dengan Samantha yang menurutnya etrlalu bodoh. Membuang waktu ebrtahun-tahun demi emncintai ornag yang tidak pernah mencintainya.
 “Lalu, apa maksudnya kasih eprhatian-perhatian ek gue dulu itu? Apa maksudnya juga nerima perhatian-perhatian dari gue dulu? Harusnya itu cukup menjelaskan, La.” Samantha mendebat perkataan Lala.
“Yang tahu jawaban pastinya Cuma Adi. Kalau lo nggak tanya ke dia, maka lo nggak akan pernah tau jawabannya. Tapi, menurut gue. Dari kisah lo ini aja seharusnya lo udah tau lho, Sam. Bahwa lo mengartikan lebih eprhatian Adi. Tapi Adi sebaliknya. Siapa tau dia Cuma nganggep perhatian yang lo kasih itu adalah perhatian ke temen. Buktinya dia nggak eprnah memperjelas hubungan kalian, kan?” Lala menjelaskan panjang lebar. Samantha akhirnya menoleh untuk emnatapnya. PAndangannya sayu.
“Jadi, menurut lo Cuma gue yang berharap? Sedangkan Adi enggak.” Samantha bertanya dengan emmelas.
“Iya.” Tegas Lala mengatakan itu. Dia hanya ingin sahabatnya itu sadar, bahwa percuma menunggu sesuatu ayng nggak jelas kepastiannya. Agar hidupnya nggak sia-sia.
“Come on, Sam. Lo itu cantik, cowok manapun yang lo mau bisa lo dapetin. Buat apa, sih, buang-buang waktu Cuma buat nunggu Adi yang nggak pasti datang. Siapa tau aja dia udah lupa sam lo.”
“Tapi gue nggak lupa sama dia, La.” Samantha berkata sambil mengembalikan tatapannya ke jendela.
Lala menarik napas berat. Menyerah dengan usahanya utnuk membuat Samantha berhenti mengharapkan Adi. Dia merasa usahanya selama ini akan sia-sia, kalau tidak diimbangi dengan keinginan Samantha untuk melepaskan perasaannya terhadap Adi. Percuma.
Sudah banyak cowok yang Lala kenalkan ke Samantha, tapi nggak ada satu pun aygn berhasil membuat Samantha berpaling dari Adi. Kemudian Lala mengambil langkah lebih ekstrim dengan cara yang sebenarnya bisa saja membuat Samantha amrah. Menasehatinya hampir setiap hari. Memanas-manasi Samantha dengan mengatakan semua hal jelek tentang Adi. Tapi tetapa saja, nggak ada yang berhasil membuat Samantha sadar.
───
Lala masih sibuk dengan laptopnya saat Samantha menghampirinya di akntin. Mengerjakan tugas entah apa.
“Eh, Sam. Udah makan?” Lala bertanya tanpa menatap Samantha. Tatapan sibuk antara laptop dan buku yang ada di depannya.
“Udah.” Jawab Samantha singkat. Hening beberapa detik. Sampai Lala mendengar hembusan napas Samantha ayng etrdengar begitu berat. Lala mengalihkan tatapannya dari alptot ke Samantha. Mengamati sahabatnya itu dengan seksama.
 “Lo sakit, Sam?” Tanya Lala begitu menyadari wajah pucat Samantha. Kemudian dia memegang kening Samantha.
“Ya Tuhan, jidat lo panas lho, Sam? Kenapa lo masuk kuliah kalo lagi sakit.” Lala berkata dengan khawatir. “Gue anter pulang aja, ya?”
 “Gue nggak pa-pa. Cuma agak demam aja. Kayaknya sih mau flu. Nggak usah lebay gitu, deh.” Samantha berusaha menngelak. Padahal hanya dengan melihat wajah pucatnya saja, semua orang juga akan tahu kalau Samantha itu sedang nggak baik-baik saja.
“Elo demam lho, Sam. Nggak pa-pa gimana? Gue anter pulang aja, deh.” Lala masih membujuk Samantha.
“Tapi gue ada kelas, La.” Samantha masih ebrsikeras emnolak.
“Entar gue BBM temen sekelas lo buat titip absen.” Kata Lala sambil membereskan buku dan laptopnya kemudian emmasukkan ke ransel hitamnya.
“Tapi, La─”
“Nggak ada protes!” Lala berkata tegas kemudian emmaksa Samantha utnuk berdiri mengikuti langkahnya.
Dan akhirnya dengan paksa Samantha dibawa pulang oleh lala. Ternyata Samantha beneran sakit. Sesampainya dirumah, dia tidak sadarkan diri.
Dokter keluar dari kamar Samantha. Dari raut mukanya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan mengenai keadaan Samantha.
“Sam sakit apa, Tan?” Lala bertanya khawatir begitu melihat dokter dan Mama Samantha keluar dari akmar.
“Darahnya drop lagi, La. Mungkin karena akhir-akhir ini dia ikut sibuk mempersiapkan pernikahan Abangnya, jadi dia kecapekan. Tante titip Sam sebentar, ya. Mau ngobrol sama dokter dulu.” Jawab Mama Samantha.
“Oh. Iya, Tan.” Lala menjawab dengan sopan. Tapi, dia menangkap suatu ektidakberesan dari sikap Mama Samantha yang terlihat cemas. Kalau hanaya kurang darah, masa iya Mama Samantha sebegitu khawatirnya?
Maka, Lala berjalan mengendap mengikuti Mama Samantha dan dokter. Lala berdiri di balik tembok pembatas ruang keluarga dan ruang tamu. Samar-samar didengarnya perbincangan Mama Samantha dengan dokter. Suara emreka tidak terlalu ejlas. Yang sempat etrtangkpa telinga Lala hanya kalimat, ‘Samantha nggak boleh terlalu banyak pikiran, Bu. Itu bisa berakibat fatal pada kondisinya. Dan akan semakin memperpendek masa hidupnya.’ Mendengar itu tiba-tiba Lala merasakan tubuhnya membeku. Dadanya berdegup kencang.
Kemudian dilihatnya dokter meninggalkan Mama Samantha yang kini etrduduk lemas di sofa. Dia membungkam kedua tangannya. Samar-samar terdengar isak tangis. Lala berjalan mendekati Mama Samantha.
“Tante, kenapa?” Tanya Lala pelan. Mama Samantha kaget. Segera dia hapus air matanya.
“Nggak pa-pa.” Jawab Mama Samantha dengan suara serak.
“Samantha nggak pa-pa kan, Tan?” Tanya Lala curiga.
“Nggak pa-pa. Samantha baik-baik saja.” Jawab Mama Samantha berusaha menutupi kesedihannya.
“Terus kenapa kenapa tadi Lala denger dokter bialng kalau terlalu abnyak pikiran itu akan semakin memperpendek umur Samantha? Tante bohong, kan? Lala kenal Tante bukan baru kemaren, Tan. Tante udah Lala anggep kayak Mama Lala sendiri. Lala tau kalau Tante bohong. Samantha kenapa Tante?” Lala terus memburu. Akhirnya Mama Samantha menyerah. Sudah saatnya dia mengatakan ini pada Lala, sahabatn terdekat Samantha.
“Samantha leukimia stadium lanjut.” Jawab Mama Samantha dengan tangis tertahan.
Lala tidak menjawab. Hanya menatap Mama Samantha dnegan melongo dan mata etrbelalak. Dia merasa kepalanya seperti dijatuhi beban yang begitu berat.
“Dan kata dokter, kali ini Samantha tidak akan bisa bertahan.” Mama Samantha melanjutkan dengan suara parau. Dia kembali terisak. Begitu pun dengan Lala. Matanya terasa panas. Air matanya mulai mengalir. Lala terduduk lemas dilantai dapur. Sedangkan Mama Samantha berdiri lemah bersandar didinding dapur.
Setelah tangis mereka mereda, mereka kembali ke kamar Samantha. Samantha sudah sadar dari pingsannya. Hanya saja wajahnya masih terlihat pucat.
Lala menghampiri sahabatnya yang sedang tersenyum kepadanya itu. Dipeluknya Samantha erat-erat. Seperti tidak mau melepaskan.
“Lo kenapa sih, La?” Tanya Samantha bingung. Lala membuka mulut siap mengeluarkan kata. Hanya saja dia tidak mampu. Dia malah terisak.
“La, gue nggak bisa napas.” Teriak Samantha. Kemudian Lala melepaskan pelukannya. Ditatapnya Samantha.
“Kenapa lo nggak mau cerita ke kita soal sakit lo?” Lala berkata dengan setengah berteriak. Suara terdengar serak.
Emosinya bercampur aduk. Antara sedih, takut, dan kecewa karena Samantha merahasiakan sakitnya dari dia.
Ternyata dibalik keceriaan Samantha selama ini, dia menyimpan penyakit mematikan yang setiap saat siap merenggut nyawanya. Samantha menatap Lala dan Mamanya bergantian. Matanya berkaca-kaca.
“Gue nggak mau lo care sama gue hanya karena gue sakit. Gue takut lo ninggalin gue. Gue takut, La.” Samantha terisak.
“Gimana lo bisa berfikir kaya gitu sih, Sam? Gue sahabatan sama lo tulus. Gue pengen selalu ada buat lo saat lo senang atau pun susah. Harusnya lo berbagi sama gue. Itu gunanya sahabat, Sam.” Jelas Lala masih dengan suara seraknya.
“Maafin gue. Gue sayang sama lo.” Samantha memeluk Lala. Mereka tenggelam dalam tangis. Antara sedih dan terharu.
───
“La?” Panggil Samantha saat mereka duduk berdua di taman kampus.
“Kenapa?” Jawab Lala dengan mulut sibuk mengunyah kripik Singkong kesukaannya.
“Lo mau nggak bantuin gue?” Tanya Samantha.
“Apa sih yang nggak buat loe?” Jawab Lala sambil nyengir.
“Bantu gue cari Adi dong.” Pinta Samantha.
“Siapa?” Tanya Lala kaget. “Kok Adi sih?”
Please, La. Gue pengen ketemu Adi sebelum gue pergi.” Pinta Samantha memelas.
“Lo ngomong apaan, sih? Nggak ada yang bakal pergi! Gue nggak suka lo ngomong gitu.” Lala sedikit emosi mendengar perkataan Samantha yang terdengar pesimis.
“Cepat atau pun lambat, gue bakal pergi duluin lo dan keluarga gue. Gue nggak mau mati dengan membawa rasa penasaran gue tentang perasaaan Adi ke gue. Please, La, gue mohon. Anggep aja ini permintaan terakhir gue.” Samantha memohon.
“Ini bukan permintaan terakhir lo. Lo masih akan banyak permintaan ke gue. Inget itu. Gue bakal marah kalo lo pergi duluan.” Lala menguatkan hati. Menahan agar air matanya tidak jatuh.
“Ya udah, gue cariin Adi buat lo. Lo kasih gue alamatnya.” Akhirnya Lala menerima permintaan Samantha.
Thanks, ya.” Samantha tersenyum. ”Tapi jangan bilang kalo gue sakit. Gue nggak mau Adi jawab bohong karena kasihan. Gue pengen yang sejujurnya dari dia.”
“Iyaa, bos. Tapi ada syaratnya.”
“Apa?” Tanya Samantha penasaran.
“Lo nggak boleh ngomong kayak tadi lagi. Lo pasti sembuh. Lo harus bertahan.” Jawab Lala.
“Iya. Gue akan bertahan buat Adi. Buat lo, buat Mama, Papa sama Abang gue.” Jawab Samantha pasti. Lala tersenyum kemudian memeluk Samantha.
Rasanya sulit bagi Lala bila harus kehilangan momen seperti ini, saat bersama dengan Samantha. Tertawa, bercanda, ngobrol soal cowok, gosip artis-artis Korea kesukaan mereka, nonton drama Korea bareng sampai nangis-nangis, berburu pakaian dan aksesoris ala Korean style. Karena Samantha adalah sahabat terbaik Lala. Begitu pun sebaliknya.
───
Lala mendatangi alamat rumah Adi yang diberikan Samantha. Tapi keluarga Adi sudah pindah sejak Tiga tahun lalu. Dan kata pemilik rumah yang baru, Adi dan keluarganya pindah ke Jakarta. Dan terakhir balik ke Bandung adalah leabaran tahun lalu. Tepat saat Adi datang ke rumah Samantha. Lala kembali ke rumah Samantha.
“Adi pindah ke Jakarta? Kok dia nggak pernah ngomong ke gue? Bahkan saat lebaran kemaren dia udah di Jakarta? Kebangeten. Apa sih maunya tuh anak? Selalu bikin gue bingung sama sikap-sikapnya.” Samantha emosi.
“Sabar, sabar. Inget loe lagi sakit.” Lala menenangkan. Samantha terlihat sedang berpikir.
“Gimana kalo kita datengin satu persatu teman sekelas gue dulu?” Saran Samantha.
“Gila loe? Satu kelas kan banyak, Sam. Ya seengaknya siapa teman terdekat Adi pas SMA dulu.”
“Bener juga, kenapa gue nggak kepikiran ya?” Samantha terlihat semangat. Dia ambil handphone nya. Dicarinya nomor HP orang yang dimaksud. Kemudian berhenti.
“Gue kan udah lama lost contac sama mereka. Bahkan nggak ada yang satu kampus sama gue.” Samantha yang tadi terlihat semangat, berubah jadi sedih.
“Terus gimana dong?” Tanya Lala.
“Album kenangan.” Samantha loncat dari ranjangnya menuju sebuah rak buku. Dicarinya album kenangan yang dimaksud.
“Ketemu?” Tanya Lala.
“Dapet.” Jawab Samantha girang. Dibolak-baliknya halaman demi halaman album tersebut. Dia dapatkan nama Arya teman dekat Adi. Dia dan Lala langsung melesat ke alamat Arya. Sesampainya disana, mereka bertemu dengan Arya langsung.
“Gilaa, loe sekarang beda banget sama loe yang dulu ya? Dulu loe tuh item, awut-awutan, nggak pernah dandan. Sekarang jadi kinclong gini.” Puji Arya jujur.
“Sialan loe. Jadi gue dulu nggak kinclong?” Jawab Samantha. Mereka tertawa sejenak mengingat masa lalu.
“Ada apa loe nyariin gue? Loe kangen sama gue? Loe sih, dulu nolak gue..” Canda Arya.
“Apaan sih? Tujuan gue kesini, mau nanya soal Adi.” Samantha mengutarakan maksudnya.
“Kok malah nyari Adi. Setelah dulu loe dimainin sama dia gitu, sekarang masih nyariin?” Tanya Arya.
“Maksud loe?” Samantha tidak mengerti.
“Adi dulu pernah bilang ke gue, dia suka godain loe gitu Dia seneng liat ekspresi salting loe. Lucu katanya. Dia juga tau kalo loe suka sama dia.” Jelas Arya.
“Dia cuma mainin gue? Dia juga tau kalo gue suka sama dia?” Tanya Samantha tidak percaya.
“Iya.”
“Kenapa dia masih bisa mainin gue? Jahat banget dia.” Samantha merasa tidak percaya dengan apa yang baru dia dengar.
“Iya. Lagian gimana bisa loe suka sama dia sih? Dia kan brengsek.”
“Apa gue bilang? Lupain cowok yang namanya Adi itu. Loe sih bandel kalo dibilangin.” Sahut Lala merasa kesal mendengar pengakuan Arya.
“Gue bisa minta alamat Adi yang di Jakarta nggak?” Tanya Samantha akhirnya.
“Tetep masih mau nyari dia?” Tanya Lala tidak percaya.
“La, please!” Samantha memohon. Lala menyerah. Dia tidak tega bila ingat sakit sahabatnya ini.
“Ngapain ke Jakarta? Adi kan sekarang kuliah sambil kerja di Bandung. Cuma gue sendiri nggak pernah ketemu dia. Terakhir sekitar bulan Juli tahun lalu kayaknya.” Jelas Arya.
Setelah mendapatkan alamat kantor Adi dari Arya, niatnya mereka akan langsung ke kantor Adi. Tapi kondisi Samantha melemah. Walaupun dia memaksa, Lala tetap membawanya pulang. Hidung Samantha mimisan. Dia tidak sadarkan diri. Lala panik, kemudian membawanya ke Rumah Sakit. Dokter bilang, Samantha tidak boleh terlalu stres atau terlalu lelah.
Samantha koma. Kondisinya semakin memburuk. Dua hari dia tidak sadarkan diri. Melihat kondisi sahabatnya seperti ini, Lala memutuskan untuk datang ke kantor Adi sseorang diri. Dia berhasil menemui Adi. Tapi Ady tidak mau menemui Samantha dengan alasan yang tidak bisa dia katakan. Sekalipun Lala mengatakan kalau Samantha sedang sakit. Bahkan Lala sempat memaki adi karena saking kesalnya. Adi hanya menitipkan surat untuk Samantha.
Lala bergegas ke Rumah Sakit saat mendengar Samantha sadar. Tidak lupa dibawanya surat dari Adi.
“Sam, loe baik-baik aja kan?” Lala memeluk sahabatnya itu.
“Iya, gue baik-baik aja kok. Gimana, La? Loe dah nemuin Adi?” Tanya Samantha. Suaranya lemah, wajahnya pucat. Kecantikannya seperti sirna begitu saja.
Lala tidak menjawab. Dia menghembuskan napas berat. Rasanya berat dia menceritakan soal Adi ke Samantha.
“Sam, loe janji ya harus kuat?” Pinta Lala.
“Gue janji. Apapun yang loe ceritain soal Adi, gue bakal terima.” Samantha berjanji.
“Adi cuman nitipin ini ke gue.” Kata Samantha sambil mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyerahkan ke Samantha. Samantha mulai membaca.

Dear Samantha,
Gue minta maaf kalau selama ini bikin hidup loe penuh pertanyaan soal perhatian gue ke loe dulu. Mungkin perhatian gue bikin loe salah paham. Bikin hati loe nggak tenang. Selama ini gue Cuma anggep loe sebagai adik gue. Nggak lebih. Gue juga minta maaf, karena gue, loe nggak bisa buka hati buat cowok lain. Terima kasih, karena loe mau tulus sayang sama gue. Tapi maaf, gue nggak bisa bales perasaan itu. Ada sesuatu hal yang bikin gue nggak mungkin bisa milih loe. Loe berhak buat bahagia, Sam. Lupain gue. Cari cowok yang bisa bahagiain loe. Sekali lagi gue minta maaf. Semoga loe bahagia, Samantha.
Ady

Air mata Samantha mengalir. Dia terisak. Hal yang paling dia takutkan selama ini terjadi juga. Pengakuan Adi mengenai perasaannya ke Samantha. Hatinya hancur.
“Adi sama sekali nggak suka sama gue, La.” Kata Samantha disela tangisnya.
“Tenang, Sam. Gue kan udah bilang, loe harus kuat. Mungkin Adi belum jodoh loe aja.” Lala menenangkan Samantha. Samantha semakin terisak. Dia kembali pingsan.
“Sam, Samantha...” Teriak Lala panik.
Keluarga Samantha yang tadi menunggu diluar, berhamburan masuk ke dalam. Dokter dan perawat berlarian mendengar teriakan Lala.
Denyut nadi Samantha melemah, detak jantungnya juga melemah. Tensi darah turun drastis. Wajahnya begitu pucat. Dokter berusaha keras untuk menyelamatkan Samantha.
Melihat Dokter keluar dari ruangan Samantha, Mama Samantha langsung menghampiri.
“Gimana keadaan anak saya, Dokter?” Tanya Mama Samantha. Dokter tidak langsung menjawab. Semua tegang. Tanpa ada yang berbicara.
“Banyak berdo'a, Nyonya.” Hanya itu yang dikatakan dokter. Lalu meninggalkan keluarga dan sahabat-sahabat Samantha yang masih tercengang dengan jawaban Dokter. Tubuh Mama Samantha limbung, jatuh pingsan. Dengan sigap Rendy, kakak Samantha menangkap tubuh Mamanya.  

 Satu jam kemudian,,
Semua keluarga Samantha, Lala, Marfin, Raisa dan Rafael berkumpul diruangan Samantha. Mama Samantha duduk disebelah ranjang anaknya itu.Matanya hanya memandangi Samantha.Dibelakangnya berdiri Papa Samantha dan Randy serta Margareth calon istri Randy.Raisa,Marfin dan Rafael berdiri mematung disamping kiri ranjang tempat Samantha terbaring.Sedangkan Lala mondar mandir terlihat sibuk menelpon seseorang.
Wajah Samantha pucat. Matanya terpejam erat. Tangannya memeluk erat buku kecil didadanya. Seperti tidak mau melepaskan buku itu.
Suasana ruangan itu sepi. Tanpa suara apapun. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung. Terdengar suara pintu diketuk. Perawat datang dari balik pintu.
“Maaf, permisi. Ini ada yang mencari nona Samantha.” Kata perawat. Muncul seorang pria dengan tubuh jangkung.
“ADI??” Teriak Lala. Semua mata saling berpandang bingung.
“Selamat siang semua.” Sapa Adi sopan.
“Siang.” Jawab beberapa orang.
“Akhirnya loe dateng juga.” Ucap Lala penuh syukur. Ternyata yang sedari tadi dihubungi Lala adalah Adi.
“Nak Adi?” Sapa Mama Samantha. Keluarga Samantha sudah lumayan mengenal Adi karena dulu dia sering main ke rumah.
“Iya Tante.” Adi menyalami keluarga Samantha dan sahabat-sahabatnya.
“Silahkan.” Mama Samantha berdiri dari duduknya. Mempersilahkan Adi duduk dikursi yang tadinya dia duduki.
“Terima kasih Tante.”

Perlahan Adi duduk. Dipandanginya wajah pucat Samantha dengan selang oksigen terpasang dihidungnya. Setahun setelah pertemuan terakhir mereka. Wajah Samantha banyak berubah. Yang dulunya ceria, penuh tawa, kini pucat pasi. Matanya yang bulat penuh cahaya, kini tertutup rapat. Ocehan yang biasanya Adi dengar pun, kini serasa hilang ditelan bumi. Adi tidak mampu berkata. Walau dalam suratnya dia bilang hanya menganggap Samantha sebagai adiknya, namun hatinya berkata lain. Dia teramat sayang pada gadis itu, sebagai pria dan wanita. Bahkan sejak SMA dulu. Hanya karena merasa dirinya terlalu kotor untuk gadis sepolos dan sebaik Samantha, dia memilih pergi meninggalkan Samantha. Hingga dia harus bertunangan dengan gadis pilihan orang tuanya  yang tidak pernah dia cintai sedikit pun.
“Sam?” Suara Adi bergetar. Digenggamnya tangan Samantha yang dingin.
“Maafin gue. Maafin gue udah bohongin loe. Maafin gue udah ninggalin loe dan tunangan sama cewek lain.” Mata Adi berkaca-kaca. Terlihat jelas penyesalan diwajahnya.
“Gue cinta loe, Sam. Gue mohon loe bangun. Gue janji bakal bahagiain loe. Kita lewatin hari-hari kayak dulu lagi. Gue mau ajak loe ke danau kita dulu. Gue..” Adi tidak kuat meneruskan kata-katanya. Dia terisak. Tidak terkecuali semua yang ada diruangan itu. Mata Samantha terbuka. Dia sadar dari pingsannya.
“Sam?” Kata Raisa lirih.
“Samantha sadar.” Tambah Rafael.
Semua mendekat. Adi menghapus air matanya. Ditatapnya Samantha dengan segenap cinta. Samantha balas menatap. Dia tersenyum. Dipandanginya satu persatu orang yang ada diruangan itu. Mama, Rendy, Margareth tunangan Rendy, Raisa, Lala, Marfin dan Rafael. Terakhir Adi. Dengan lemah Samantha menyerahkan buku kecil yang sedari tadi dipeluknya ke pada Adi. Adi menerimanya.
“Apa ini, Sam?” Tanya Adi dengan suara parau. Samantha tidak menjawab. Dia tatap wajah Adi. Dia tersenyum. Membalas genggaman Adi.
“Terima kasih, Adi. Karena mencintaiku. Aku juga cinta kamu.” Suara Samantha terdengar berat. Matanya tertutup perlahan. Genggaman tangannya melemah hingga akhirnya terlepas dari tangan Ady.
“SAM??” Teriak Mama Samantha.
“SAMANTHAA?” Teriak sahabat-sahabat Samantha. Adi hanya terpaku tanpa suara memandang wajah Samantha. Yang kini matanya tertutup rapat.
Dokter keluar dari ruangan Samantha. Ditujunya keluarga dan sahabat Samantha yang terduduk lemas.
“Maaf, Nyonya. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan tempat terindah untuk Samantha di sisiNya.” Kata Dokter. Semua tercengang. Tidak bisa mereka percaya kalau Samantha telah pergi .
Mama Samantha pingsan. Semua terisak. Adi tidak bersuara. Pandangannya kosong. Menerawang jauh entah kemana. Air matanya mengalir tanpa permisi.
———
Tanah merah mulai menutupi tubuh Samantha yang terbujur kaku. Diiringi hujan rintik yang mulai membasahi bumi. Langit seakan ikut bersedih atas kepergian Samantha. Sore itu memulai babak baru dikehidupan Samantha selanjutnya. Satu persatu kerabat yang mengantar pemakaman Samantha meninggalkan tempat. Hanya tinggal Adi dan Lala.
“Gue nggak nyangka, La. Senyuman itu adalah senyuman terakhir Samantha. Gue nggak akan lagi bisa ngeliat senyumnya, tawanya, candanya. Nggak akan bisa. Gue nyesel udah sia-siain dia dulu.” Kata Adi sedih. Air matanya keluar begitu saja.
“Udahlah, Di. Semuanya udah terjadi. Loe jadiin aja pelajaran buat loe.” Lala menenangkan. Padahal sebenarnya dia sendiri juga terpukul dengan kepergian Samantha.
“Andai saja dulu gue lebih berani buat nyatain perasaan gue ke Sam.” Sesal Adi.
“Udahlah! Setidaknya loe tu udah tau kalo Sam cinta sama loe. Dan Sam juga tau kalo loe cinta sama dia. Gue yakin dia pergi dengan tenang. Relain dia, Di.
Dengan berat Adi meninggalkan pusara Samantha. Dia mencoba ikhlas melepaskan Samantha. Merelakan gadis yang dia cintai pergi untuk selamanya.
Adi duduk merenung didekat jendela kamarnya. Memandang jauh keluar jendela. Perlahan dibukanya buku yang diberikan Samantha siang tadi. Dia buka halaman pertama. Tertulis ' All Abuot Adi '. Yang ditulis tangan oleh Samantha. Halaman kedua dia buka. Dilihatnya potret dirinya yang sedang tersenyum. Dibawah foto tertulis ' Ady saat tersenyum '. Halaman ketiga dia buka. Ada lagi potret dia saat bermain voli dan tertulis dibawahnya ' Ady begitu keren saat main voli '.
Air mata Adi kembali menetes. Dia begitu menyesal telah mencampakan Samantha. Dibukanya lagi halaman perhalaman. Sampai pada sebuah halaman, dimana halaman sebelah kiri ada potret Samantha yang sedang tersenyum dan sebelah kanan ada potret Ady yang juga tersenyum. Adi tersenyum. Dia buka halaman selanjutya. Sampai ke halaman terakhir. Ada tulis tangan Samantha.

Dear Adi,
Adi, apa kamu tau kalau selama Lima tahun ini aku cinta sama kamu? Apa kamu tau aku berharap kamu nembak aku? Selama ini juga, aku bertanya-tanya. Sebenernya apa yang kamu rasakan terhadapku? Apakah sama dengan apa yang aku rasakan ataukah sebaliknya?
Aku tau aku jauh dari tipe cewek yang kamu suka. Tapi aku tulus cinta sama kamu. Sejelek apapun kelakuan kamu dulu, aku bisa terima. Apa cewek lain bisa kayak gitu? Kenapa kamu selalu perhatian sama aku? Kamu tau nggak kalau itu bikin aku tersiksa? Perhatian kamu ke aku itu bikin aku bingung, Di. Apa sih maksud kamu? Cuma kasih aku harapan kosong?
 Tapi, dengan begitu aku tau gimana cinta yang sesungguhnya. Tanpa harus memiliki. Terima kasih Adi. Terima kasih untuk semua waktumu dulu. Terima kasih telah membuat hari-hariku dulu menjadi begitu indah. Terima kasih telah mengajarkanku bagaimana cinta itu yang sesungguhnya. Terima kasih telah mengajarkanku untuk tulus mencintaimu dan setia mencintaimu. Terima kasih telah membuatku menangis karena merindukanmu. Terima kasih, Adi.
Samantha

Adi kembali terisak. Dia pandangi potret wajah Samantha. Dia ambil kotak dari bawah ranjangnya. Dia keluarkan satu persatu barang dalam kotak itu. Cincin, jepit rambut, kalung dengan liontin bintang, beberapa novel, potret Samantha yang Adi ambil dengan diam-diam, surat dan sebuah diary kecil. Semua barang itu untuk Samantha. Tapi Adi tidak punya keberanian untuk memberikannya pada Samantha.
Adi memasukkan buku dari Samantha ke kotak itu. Beberapa potret Samantha yang terpajang di meja kamar Adi juga dimasukkan ke kotak. Ditinggalkannya kotak itu di gudang. Ditumpuk diatas barang lain.

Samantha mengajarkanku menghargai hidup. Menghargai apa yang kita punya saat ini. Mencintai apa yang kita punya saat ini. Selalu ceria dan tertawa seperti apapun keadaan kiita saat ini. Dia juga mengajarkanku bagaimana mencintai yang sesungguhnya. Terima kasih Samantha untuk semua waktu kamu. Terima kasih untuk cinta kamu. Selamat jalan Samantha. Semoga kamu menemukan kebahagiaan disisi-Nya. ( Ady )


- END -

3 komentar:

  1. Panjang ceritanya ya mbak :)

    -www.fkrimaulana.blogspot.com-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa, sih? Padahal itu panjang halamannya kayak cerpen pada umumnya lho. Sekitar 12 halaman A4.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus