Minggu, 28 Juni 2015

Ada Masa Dimana Aku Sangat Menggilai Bola



Ada masa dimana aku sangat menggilai bola. Bahkan ada yang bilang aku rasis dan anarkis. Tim favoritku dulu, kalau dalam negri PERSIB Bandung, kalau luar Manchester United. Katanya sepakbola adalah pemersatu dunia. Tapi kok pendapatku lain, ya. Sepakbola seperti lebih ke pemecah dunia. Karena hanya dengan saling mendukung kesebelasan masing-masing negara bisa membuat para suporter antar kesebelasan bermusuhan. Jangankan yang beda negara, yang satu negara saja bisa berkelahi dan saling bunuh hanya karena bola.

Seperti yang terjadi padaku sendiri. Ada masa dimana aku saling melempar cacian, makian dan sumpah serapah dengan the Jack Mania (supporter Persija) serta Aremania (supporter Arema) yang notabene adalah musuh bebuyutan PERSIB Bandung dan Persebaya Surabaya. Semua tahu klub ini saling bermusuhan sejak dulu. Mereka menyebutnya duel el clásico-nya Indonesia. Layaknya Manchester United dan Chelsea, Barcelona dan Real Madrid.




Bahkan aku sampai bertengkar dengan teman sendiri hanya karena dia menghina PERSIB dan aku nggak terima. Kemudian aku membalasnya dengan hinaan juga. Parahnya, gara-gara bola tercipta dua kubu dalam keluargaku. Kubu pertama terdiri dari aku dan adik laki-lakiku─aku pendukung PERSIB Bandung sedangkan adikku pendukung PERSEBAYA Surabaya (kedua tim ini disebut sebagai sekutu). Kubu kedua terdiri dari Abang dan Bapakku─Abang pendukung Arema Malang dan Bapak pendukung Arema sekaligus PERSIJA.

Setiap kali pertandingan mempertemukan keempat tim itu, maka suasana di rumahku akan sangat panas. Saling mengejek dan menghina masing-masing tim. Kalau sudah begitu, maka Ibu yang akan jadi penengah.

Ahh… kadang aku merindukan masa childish seperti itu.
Sekarang? Aku masih menyukai bola, tapi tidak segila dulu. Masih menonton pertandingan bola, tapi tidak sesering dulu. Kalau dulu emosiku langsung tersulut setiap kali mendengar ada yang menghina tim favoritku, sekarang aku hanya akan tersenyum. Kalau dulu aku rela bangun tengah malam dan begadang demi menonton pertandingan tim favorit, sekarang lebih sayang kesehatan karena banyak hal yang lebih penting yang harus kulakukan untuk kelangsungan hidupku di muka bumi ini.

Ada masa dimana aku pernah menjadi sangat kekanak-kanakan. Ada masa dimana aku pernah menjadi anarkis dan rasis hanya karena fanatik terhadap suatu hal. Ada masa di mana aku bermusuhan dengan teman dan keluarga sendiri hanya karena bola. Seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya usia, dan seiring bertambahnya aku menjadi dewasa, hal-hal konyol yang kulakukan dulu menghilang dengan sendirinya karena ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar maki-makian. Aku berubah jadi orang yang sangat mencintai perdamaian. Bahkan sekarang aku cenderung lebih memilih untuk diam atau mengalah setiap kali terjadi perselisihan. Karena aku menjaga satu hal, perdamaian.




Jadi, kalau sampai usia segitu tuanya masih suka tawuran karena bola, berarti orang itu belumlah menjadi dewasa. Ingat, bahwa tingkat kedewasaan seseorang itu tidak ditentukan dari usia mereka. Orang berusia tiga puluh tahun bisa jadi lebih childish dari anak usia lima belas tahun.
Intropeksi diri, merenungi kesalahan, mengakui kesalahan, kemudian mengubah kesalahan menjadi kebaikan.



 ^_^


Anis

3 komentar:

  1. pemersatu atau pemecah, menurut saya tergantung orangnya mbak, kalau masih terbelakang memang senengnya jotos2an, tapi kalau udah cerdas dan dewasa tentu tahu batas2,.... :)

    BalasHapus
  2. Iyak, sih. Kalau cerdas nggak menjamin. Karen seringnya mereka juga ikut tawuran. Kalau dewasa, aku setuju.

    BalasHapus
  3. Iya sik. Cuma kalau orang cerdas aku nggak setuju, banyak orang berpendidikan yg pasti cerdas masih suka tawuran. Tapi kalau dewasa, aku setuju.

    BalasHapus