Kamis, 04 Februari 2016

Yang Pernah dan Masih Jadi Sahabat




Ada beberapa orang yang memiliki teman kecil yang akhirnya bersahabat dengannya sampai berpuluh tahun. Ada juga seseorang yang baru menemukan sahabat ketika dia sudah dewasa dan dengan orang yang baru dikenalnya kurang dari setahun. Dan aku adalah orang kedua.
 
Dulu aku pernah memiliki seseorang yang kusebut dan memang kuanggap sahabat. Dia teman masa kecilku. Kami kenal dari saat kami masih sama-sama bayi. Main bersama. Sekolah bersama. Dia menganggap rumahku sepertu rumahnya. Makan disana, mandi di sana, main di sana. Begitupun sebaliknya.
Tapi, ternyata bertepuk sebelah tangan itu nggak cuma terjadi pada hubungan percintaan dengan pasangan. Ternyata dalam persahabatan pun kita bisa mengalaminya. Dan hal itu terjadi padaku. Aku pikir teman kecilku itu juga menganggapku sebagai sahabat. Bahkan dia mengatakan kalau aku dan dia adalah sahabat untuk selamanya. Dia mengatakan itu ketika kami masih SMP. Tapi ternyata hanya aku yang menganggapnya sahabat. Dia nggak menganggapnya begitu.
Dulu, banyak kesalahannya yang aku maafkan begitu pun sebaliknya. Sikap keras kepalaku, sikap ngeyelku, sikap emosionalku, dia menerimanya. Sikapnya yang terlalu cuek padaku, nggak datang menjenguk ketika aku sakit padahal rumah kami cuma beda dua rumah. Hal itu aku alami ketika dia menemukan teman bermain baru yang mungkin lebih membuat dia nyaman. Disitulah aku merasa bahwa aku bertepuk sebelah tangan. Hanya aku yang menginginkan persahabatan. Dia enggak.
Semakin beranjak dewasa dia semakin melupakan janji persahabatan diantara kami. Kami berada di SMA yang berbeda. Teman-teman yang berbeda. Jenis pergaulan yang berbeda. Juga orangtua dia yang sepertinya membatasi pergaulannya setelah keluarganya medapat kesuksesan dalam usaha yang mereka jalankan. Sejak saat itu, aku tahu bahwa kami bukan lagi sahabat. Kami hanya teman. Kami memiliki kehidupan yang nggak sejalan. Perbedaan diantara kami semakin besar.
Tapi, ketika sekarang aku sudah dewasa dan memikirkan hal itu, aku jadi berpikir kalau mugnkin saja saat itu aku juga bersalah. Mungkin dia juga memiliki pemikiran yang sama sepertiku. Mungkin dia menganggap aku yang menjauh. Mungkin dia menganggap aku yang nggak perduli padanya. Mungkin juga dia mulai muak dengan segala sikapku. Aku jadi sadar, bahwa dulu ketika kamu bertengkar selalu dia yang meminta maaf duluan. Entah dia yang salah atau pun aku yang salah.
Kemudian, sahabat yang lain, aku juga nggak menemukannya ketika aku di SMA. Aku ini tipe orang yang sangat pemilih. Dalam hal apapun. Termasuk sahabat. Aku nggak akan bisa bersahabat dengan orang yang nggak tulus padaku, nggak bisa menerima keadaanku, nggak bisa mengerti aku dan nggak bisa membuatku nyaman ketika bersama dia.
Lalu, setelah bekerja selama dua tahun, orang itu datang. Mungkin perasaan senasib yang membuat kami dekat waktu itu. Kami sama-sama merantau. Kami sama-sama berasal dari latar keluarga yang hampir mirip. Kami berasal dari kota bersebelahan yang bahasa dan adat istiadat yang sama sehingga membuat kami nyambung ketika membicarakan apapun.
Dia orang yang cukup mengerti aku. Sangat mengerti malah. Dia orang pertama yang membuatku nyaman ketika membicarakan masalah keluargaku juga pasangan. Terkadang aku berpikir, ‘kenapa dia bisa begitu betah bersahabat denganku?’, ‘kenapa dia bisa begitu memahami sikap keras kepalaku?’, ‘kenapa dia begitu sabar ketika sikap sensitifku kambuh dan sering berkata atau bersikap kasar padanya yang nggak bersalah apa-apa?’, ‘kenapa dia begitu perhatian padaku?’. Rela mampir ke rumahku sebelum dan sepulang dari kantor buat mengantar makan ketika aku sakit. Mengantar ke dokter. Memberi nasehat padaku ketika aku salah. Mendengar segala keluh kesahku. Ikut menangis bersamaku ketika aku menangis. Ikut tertawa ketika aku tertawa. Padanya, segala masalah yang kupendam bisa mengalir begitu saja untuk kuutarakan.
Ketika sikap sensitifku kambuh dan membuatku jadi bersikap sedikit kasar, dia menerimanya. Ketika aku meminta maaf karena kesalahanku itu dia hanya menjawab dengan tersenyum ‘Santai aja. Aku ngerti siapa kamu, kok.’. Dan seringnya aku nggak bisa menerima sikap menyebalkan dia. Bukankah aku ini egois? Tapi dia masih menerimaku dan berada disampingku sampai sekarang. Empat tahun persahabatan kami.
Tapi, ketika aku merasa sudah menemukan sahabat yang benar-benar sahabat, aku harus berpisah dengannya. Bukan karena kami nggak bersahabat lagi. Bukan. Dia harus mengikuti suaminya yang bekerja di luar pulau. Dan itu membuatku sedih. Nggak akan ada lagi yang menghiburku ketika aku sedih. Nggak ada yang mendengar keluh-kesahku lagi. Ahh… atau aku saja yang terlalu berlebihan? Di zaman secanggih ini bahkan kita bisa melakukan video call. Dan itu nggak akan menjadi penghalang untuk hubungan jarak jauh sekali pun dia berada di Timbuktu atau kutub.
Tapi tetap saja rasanya berbeda. Ketika sahabat itu ada di hadapan kita secara nyata dengan enggak. Yang aku takutkan adalah, apakah persahabatan kami akan tetap sama ketika kami terpisah jarak? Nggak pernah bertemu lagi. Nggak pernah jalan bareng. Telepon pun akan semakin jarang karena kesibukan kami maisng-masing. Pada akhirnya, apakah kami akan tetap menjadi dua orang yang menyebut mereka sahabat?
Tapi, bukankah ini yang disebut hidup? Nggak ada yang abadi. Yang datang pada akhirnya pasti akan pergi. Yang sama pada akhirnya akan menjadi berbeda. Tinggal bagaimana cara kita menghadapinya ketika hal itu datang. Aku berharap, semoga aku ataupun dia nggak pernah melupakan persahabatan kamai. Dan suatu saat nanti bisa berkumpul kembali. Untuk mengenang masa sedih dan bahagia saat masih bersama. Semoga.


*Kalau sampai orang yang kusebut sahabat itu baca ini, pasti dia bakal muncul di hadapanku dengan wajah cengar-cengir dan bilang ‘yang kamu maksud itu aku, yaaa?’. Kemudian segala kenarsisannya akan muncul…. :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar