Jumat, 27 Juni 2014

COMPLICATED Part 1

Ini cerita tentang seorang cewek berusia dua puluh tiga tahun yang jatuh cinta pada seorang cowok ‘aneh’. Bahkan dia tetap jatuh cinta walaupun tahu tentang ‘keanehan’ cowok itu. Dia juga berharap bisa mengubah ‘keanehan’ cowok itu dengan cintanya. Klasik. Tapi itulah yang sedang diusahakannya. Disamping ktu, dia harus menghadapi kehebohan keluarganya yang sibuk menjodohkan dia dengan anak tetangga lama mereka. Siapakah cewek itu? Silahkan cari tahu di IMPOSSIBLE… Selamat berjedag-jedug ria

Anies





Percayalah, nggak ada yang lebih menyebalkan dari bos yang memaksamu lembur di hari Jumat. Padahal besoknya sudah weekend. Waktunya melepas penat dari pekerjaan. Waktunya istirahat. Waktunya refreshing. Tapi ini, sudah jam delapan malam aku belum juga di kasih pulang. Empat jam lepas dari jam pulang kantor.
Yang harus menyelesaikan laporan inilah, itulah. Eh, malah ditambah lagi dengan kerjaan yang seharusnya bukan aku yang mengerjakan. Iya, tahu yang namanya loyalitas. Tapi nggak begitu juga, kali. Aku kan manusia. Juga butuh istirahat.
Masih ingat banget saat Bu Siska, atasanku menghampiri mejaku siang tadi. “Rhea, bagaimana soal sponsor? Apa semua bisa hadir saat acara pembukaan?” Seperti biasa. Bu siska berkata dengan nada datar dan tampangnya yang juga datar. Kadang aku mikir, itu orang pas Tuhan membagikan ekspresi dulu nggak dateng kali, ya?
Aku diam sesaat sambil membolak-balik tumpukan kertas dalam map warna biru di depanku. “Tinggal PT. Diandra Sejahtera saja yang belum konfirmasi, Bu. Kalau yang lainnya sudah pasti akan datang.”
“Undangan untuk technical meeting, apa sudah di kirim ke semua pemilik stand yang akan ikut bazar?”
“Sudah, Bu. Dan sejauh ini, mereka yang sudah menerima undangannya sudah konfirmasi ke Farah.”
“Bagus. Kamu sekarang lagi ngerjain apa?”
“Lagi ngerjain ID card untuk para penjaga stand di bazar.” Aku melirik tumpukan ID card yang harus aku stempel dengan stempel perusahaan.
“Kalau begitu, kamu ketik pidato saya untuk pembukaan, dan juga daftar susunan acara. Besok pagi harus kamu kasih ke saya.” Bu Siksa berkata sambil meletakkan empat lembar kertas A4 di mejaku. Kertas yang sebagian hurufnya sudah di ketik rapi. Tapi, banyak sekali tambahan coretan disana-sini dengan menggunakan bolpoin merah. Aku asumsikan kalau itu koreksi dari Bu Siksa. Kata apa yang harus di hapus dan apa yang harus ditambahkan. Kemudian Bu Siska meninggalkan mejaku dan kembali ke ruangannya.
Aku menatap lembar yang lebih mirip kertas coretan pas ujian SMA itu dengan tatapan nanar. Bu Siska tega banget, sih? Ini ID card dua ratus tujuh puluh lima lembar yang harus aku stempel satu per satu, sehabis itu dimasukkan ke plastik keplek, lalu dikasih tali. Masih ditambah dengan tugas harus mengetik ulang lembaran pidato Bu Siska tadi? Dan ini sudah pukul tiga sore. Bu Siska lupa, ya, kalau sejam lagi sudah jam pulang kantor?
Emm, aku belum cerita tentang tempatku bekerja, ya? Oke, jadi begini. Aku kerja di Harsono Boutique. Yaitu nama salah satu butik terbesar dan cukup terkenal di kota Surabaya. Kami memproduksi pakaian sendiri. Dengan kata lain, selain menjalankan butik, kami juga memiliki pabrik tekstil. Ya walau pun pabriknya nggak besar-besar banget, sih. Bu Siska adalah owner sekaligus kepala desainer di Harsono Clothing. Kami punya tim penjahit. Ada juga tim pembuat pola. Tim pembuat batik. Dan sebagainya.
Pakaian yang kami hasilkan, selain dijual di Harsono Boutiqe yang ada di lantai satu, juga didistribusikan ke berbagai cabang Harsono Boutique yang ada di Surabaya dan beberapa kota besar di Indonesia. Baru-baru ini, produk unggulan kami adalah batik. Celana berbahan batik, baju, sepatu, tas, topi, dres, dan segala seusatu yang berbahan batik. Poin plusnya adalah, batik tulis yang dihasilkan oleh perusahaan kami sendiri.
Dan profesiku? Aku adalah desainer junior. Tapi melihat dari apa yang kukerjakan selama bekerja di sini setahun terakhir ini, kayaknya aku lebih tepat disebut sebagai asisten Bu Siska.
Sebenarnya dulu aku melamar ke Harsono Boutique ini sebagai desainer junior dibawah Bu Siska dan lima desainer senior lainnya. Teman seangkatanku ada tiga orang. Aku, bekerja di bawah Bu Siksa. Dengan kata lain, dia adalah pembimbingku dan bertanggungjawab untuk menjadikanku desainer profesional. Sedangkan dua lainnya, Alamanda bekerja di bawah bimbingan Mbak Kayana, dan Maisya bekerja dibawah bimbingan Mbak Bertha. Nasib mereka berdua nggak jauh beda dariku. Persis kayak asisten desainer-desainer senior itu.
Karena pekerjaanku yang dobel-dobel itu, jadi, tahu sendiri kan, sibuknya aku seperti apa? Dan saat ini Harsono Boutique sedang mempersiapkan Festival Batik yang akan diselenggarakan dua Minggu lagi. Semua orang kantor nggak ada yang nggak sibuk. Sampai tugas Vico yang harusnya menyelesaikan ID card untuk panitia dan pesera bazar akhirnya diserahkan padaku. Karena saat ini Vico sedang sibuk mengurusi spanduk iklan yang harus di pasang besok.

Kantorku saat ini lebih mirip dengan tempat penampungan korban bencana alam. Hampir setiap hari lembur. Dan maksud hatiku, hari ini aku tidak ingin lembur karena tubuhku rasanya sudah sangat lelah.
“Selamat sore, Rhea?”
Aku mendongak saat mendengar suara berat memanggil namaku. Dan aku mendapati senyum hangat Mas Asta yang diam-diam kukagumi. Tanpa bisa kucegah dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Eh, Mas. Mau ketemu Bu Siska?”
“Iya. Lagi sibuk, nggak?”
“Kenapa, Mas?” Mau ngajak aku dinner romantis?
“Mau minta susunan acara selama lima hari festival dan juga susunan panitia. Punya saya ketinggalan.”
“Oh. Ada.” Aku membuka laci mejaku dan mencari map kuning yang aku gunakan untuk menyimpan dokumen festival. Lalu mengambil tiga lembar kertas yang dimaksud Mas Asta.
“Ini, Mas.” Aku menyerahklan kertas tersebut ke Mas Asta yang ternyata memperhatikanku sedari tadi. Aku jadi salah tingkah.
“Oke. Thanks ya, Rhea.” Mas Asta mengatakan itu sambil berlalu dari hadapanku. Berjalan menuju ruangan Bu Siska dengan langkah tergesa. Meninggalkan bau parfum maskulin yang akhir-akhir ini mulai kuhafal.
Mas Asta itu EO yang dipakai Bu Siska untuk menangani festival batik yang akan kami selenggarakan. Dan sudah selama hampir tiga bulan ini aku sering bertemu dengannya dalam berbagai meeting. Pembawaannya yang lembut, berkharisma, cool, maskulin, dewasa, membuat hatiku menghangat setiap kali bertemu dengannya.
Serta penampilannya yang selalu rapi. Kemeja berdasi dengan jas body fit yang membuatnya terlihat kereeen banget. Tapi, aku paling suka kalau melihat penampilannya sewaktu meeting sampai tengah malam. Dia menanggalkan dasi dan jasnya. Sehingga hanya meninggalkan kemeja body fit-nya yang lengan panjangnya digulung sampai ke siku. Uhmm... bikin perut yang tadinya kenyang tetiba jadi keroncongan. (eh? nggak nyambung yakk... :) )
Jatuh cinta? Entahlah. Yang jelas aku benar-benar terpesona pada sikapnya yang begitu cowok. Saat itu aku sedang berjalan sempoyongan karena membawa satu kardus penuh dengan proposal festival. Dan dengan coolnya dia mengambil dus itu dari tanganku untuk dia bawakan ke ruangan Bu Siska. Gimana nggak suka, coba?
───
Sekali lagi aku melihat pergelangan tanganku. Jam delapan lewat empat puluh lima menit. Taksi yang ku pesan belum juga datang. Padahal aku minta dijemput pukul delapan tepat. Dua kali aku telepon ke operator taksi biru itu, jawabannya tetap sama. ‘Kami akan menghubungi taksi yang sudah kami kirim untuk segera menuju tempat Ibu. Mohon bersabar menunggu. Dan kami minta maaf atas ketidaknyamanan Anda.’
Enak banget itu operator ngomongnya. Kakiku kram gara-gara kelamaan berdiri dipinggir jalan. Sebenarnya Bu Siksa masih rapat dengan pihak EO, sih. Ya Mas Asta tadi sama teman-temannya. Tapi, kalau aku menunggu di dalam, yang ada akan di suruh ini itu, lagi. Mau pulang jam dua belas? Terima kasih, deh.
“Lagi nunggu jemputan, Rhe?”
Hampir saja aku teriak karena saking kagetnya. Entah muncul darimana, Mas Asta sekarang sudah berdiri di sampingku. Dan wajah muramku langsung berubah cerah.
“Eh, Mas. Iya, taksinya nggak dateng-dateng.”
“Rumah kamu di mana?”
“Rungkut, Mas.”
“Kebetulan. Bareng aja, yuk. Kita searah kayaknya.”
Mau banget. “Emang rumah Mas Asta di mana?”
“Dharmahusada.”
Mataku melotot refleks saat mendengar jawaban Mas Asta. Itu mah jauh banget. Bukan searah sama sekali.
“Itu nggak searah, lho, Mas.”
“Searah. Udah, yuk.” Mas Asta mendorong pelan bahuku untuk mengikuti langkahnya menuju mobil.
“Tapi taksinya.” Kataku sambil menunjuk-nunjuk jalan raya.
“Batalin aja. Nggak dateng-dateng juga, kan?”
Dan karena dipaksa─sebenarnya tanpa dipaksa pun aku juga mau─akhirnya aku menurut juga masuk ke mobil Mas Asta. Selama empat puluh menit aku mengamati Mas Asta dari dekat, sedikit banyak aku jadi tahu tentang dia. Bagaimana gesturenya setiap kali bicara. Bagaimana caranya mengedipkan mata. Bagaimana senyum hangatnya yang membuat waktu serasa membeku. Duh, genap satu jam saja aku berada satu mobil dengan Mas Asta, aku yakin bakalan mati karena kekurangan oksigen.
Dan empat puluh menit kemudian dia memarkirkan mobilnya di depan rumahku.
Thanks lho, Mas. Maaf banget udah ngerepotin.” Aku berkata sambil membuka seat belt kemudian membuka pintu mobil.
“Nggak masalah. Sampai bertemu lagi.” Mas Asta menjawab dengan senyum hangatnya.
“Oke. Hati-hati.” Kemudian aku turun dari mobil dan menutup pintunya.
Kalau untukku, Dharmahusada dan Rungkut itu tidak searah. Yang seharusnya Mas Asta hanya perlu menempuh Hr. Muhammad─Dharmahusada hanya dengan dua puluh lima menit, sekarang menjadi hampir sejam gara-gara mengantarku ke Rungkut terlebih dulu. Apa ini bisa kuartikan sebagai ‘lampu hijau’?
Emm, terlalu ge-er ya, aku? Bukannya gimana-gimana. Tapi, kalau nggak ada apa-apa mana mungkin sih, rela buang-buang waktu cuma buat ngantar pulang orang lain? Ah, ya sudahlah.
───

BACA JUGA

COMPLICATED PART 2





Selasa, 24 Juni 2014

FF : Tentang Cinta Pertama



Bila ada award untuk kategori orang terbodoh didunia, mungkin gelar itu tepat untukku. Aku, rela menghabiskan masa remajaku hanya untuk menunggu cinta seseorang yang tidak pernah mengharapkanku. Dia adalah teman SMA ku dulu.
Awal pertemuanku dengannya. Saat itu kami duduk di kelas X di sebuah SMANegeri di kota kecil Ponorogo. Sekitar Enam tahun lalu. Hampir setiap sore aku melihat dia bersama dua temannya membelokkan stir sepeda motor ke sebuah clubbing dekat toko buku milik keluargaku. Setiap kali bertemu, dia hanya menatapku. Antara khawatir kalau aku menyebarkan hal ini pada teman-teman satu sekolahku dan heran karena setiap sore melihatku di toko buku tersebut. Mungkin dia tidak tahu kalau toko itu milik keluargaku. Dan mulai saat itu, aku jadi lebih sering memperhatikan dia di Sekolah. Memperhatikan setiap gerak-geriknya, memperhatikan setiap kali dia selalu membonceng kekasihnya saat pulang sekolah.
Sampai pada saat kenaikan ke kelas XI. Aku heran, kenapa dari sekian banyak kelas aku harus berada dikelas yang sama dengannya. Dan dari situlah aku tahu bahwa namanya, Arya. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan getaran itu. Saat itu sekolah kami mengadakan peringatan Isra’ Mi’raj yang mewajibkan setiap siswa untuk memakai pakaian Muslim. Aku ingat, saat itu dia mengenakan baju koko berwarna putih dengan garis hitam dan celana kain berwarna hitam. Dia tersenyum padaku. Aku terpaku menatapnya. Ya, aku akui, aku terpesona.
Hari berganti dengan hari. Aku semakin dekat dengannya. Semakin mengenal siapa dia. Dia memperlakukanku lebih. Selalu tersenyum padaku, sering menggangguku, memanggil namaku dengan lantang, memberiku perhatian lebih hingga membuat semua orang salah paham dengan perlakuannya itu. Untuk beberapa saat aku terpesona dan menikmati semua itu.
Sampai akhirnya aku sadar. Dia melakukan itu semua, hanya menjadikanku sebagai alat untuk memutuskan hubungan dengan kekasih-kekasihnya. Aku kecewa, aku terluka. Dan disaat dia mendapatkan kekasih lagi, dia melupakan aku. Bahkan menyapaku saat kebetulan kami berpapasan pun tidak. Jangankan menyapa, menatapku pun tidak. Disitulah aku baru sadar bahwa perasaanku ini sudah berubah menjadi cinta. Saat itu yang bisa kulakukan hanyalah pasrah. Terus menyukainya, menerima setiap perlakuan manisnya yang tiba-tiba menghilang saat dia ada kekasih, dan kembali lagi saat dia putus hubungan dengan kekasihnya. Begitulah seterusnya.
Entah takdir atau apa namanya. Saat kelas XII, aku kembali satu kelas dengannya. Kembali harus melihat wajahnya setiap hari. Padahal mati-matian aku mencoba menghapus perasaanku padanya. Namun sia-sia. Setiap kali ingat saat dia mengusap kepalaku, menggenggam erat tanganku, bagaimana caranya memanggilku, saat dia tertawa, saat dia tersenyum manis padaku. Sungguh, aku menyukai semua itu.
Pada saat akhir semester Dua mendekati ujian. Dewi, kekasih Arya selingkuh dengan sahabat Arya sendiri hingga hamil. Setahuku dari sekian banyak wanita yang pernah singgah dihidupnya, Dewi lah orang yang dicintainya dengan tulus. Dan Dewi juga lah yang menyakitinya. Mungkin inilah karma dari perbuatannya yang suka mempermainkan perasaan wanita. Aku senang sekaligus kasihan pada Arya. Senang karena akhirnya dia berpisah dengan Dewi, sedih karena melihat luka dimatanya. Senyum seperti hilang begitu saja dari wajah Arya. Bahkan kebiasaan buruknya kambuh lagi sejak kejadian itu. Arya mengencani tiga orang sekaligus. Namun tetap memperlakukanku dengan manis. Aku semakin bingung dengan sikapnya. Dan karena sikapnya itu, aku sering menerima sindiran atau perlakuan tidak menyenangkan dari wanita-wanita yang cemburu padaku. Yang kebetulan mereka adalah salah satu korban Arya.
Setelah kelulusan, aku hilang kontak dengannya. Sama sekali tidak pernah berhubungan lagi. Aku tidak melanjutkan sekolah dan memilih bekerja di Surabaya. Dan ternyata Arya melanjutkan sekolah di sana juga. Aku selalu berharap tanpa sengaja bertemu dengannya. Namun, sampai Tiga tahun aku tidak juga bertemu dengannya. Ya, mungkin dia memang bukan jodohku.
Yang aku ingin tahu hanya satu, seperti apa perasaannya dulu padaku. Kenapa dia memberiku perhatian? Hampir Lima tahun aku mencintainya. Aku sadar perasaan ini hanya milikku. Cintaku takkan pernah terbalas. Yang bisa kulakukan sekarang hanya melihat senyumnya yang telah kuabadikan dalam sketsaku.

Terima kasih Arya, untuk semua masa indah yang pernah kamu berikan dulu. Juga rasa sakit yang kamu ajarkan padaku. Terima kasih telah mengajarkan aku tentang apa itu ketulusan. Tentang apa itu menunggu. Kini, kulepas semua anganku tentangmu. Semoga kamu bahagia. Selamat tinggal, Arya.

Senin, 23 Juni 2014

Book Review: Dear Friend with Love




Judul : Dear Friend with Love
Genre : Fiksi Romance
Penulis : Nurilla Iryani
Penyunting : Herlina P. Dewi
Desain Cover : Teguh Santosa
Layout Isi : DeeJe
Proofreader : Tikah Kumala
Penerbit : Siletto Book
Terbit  : 2012
Tebal : 146 halaman
ISBN : 978-602-7572-07-2


Dear Friend with Love adalah novel Nurilla Iryani sebelum The Marriage Roller Coaster. Menceritakan tentang cinta terpendam Karin terhadap sahabat delapan tahunnya, Rama. Perasaan yang sudah sejak lama dia rasakan. Tapi nggak ada nyali buat menyatakan. Eh? Nggak juga sih, kayaknya lebih ke harga dirinya sebagai cewek yang nggak mengizinkan untuk menyatakan.
Padahal Karin itu sudah sangat perfect banget, lho. Cowok mana pun nggak akan bisa nolak, deh. Termasuk si Rama itu. Badannya oke, cantik, mandiri, sukses sebagai bisnis woman. Karin punya butik yang laris manis. Cuma satu kekurangannya, nggak punya pacar.
Selama bertahun-tahun Karin harus rela menerima kepahitan, setiap kali Rama mengenalkan cewek-ceweknya ke Karin. Sebenarnya, Karin nggak terlalu khawatir karena selama ini cewek-cewk itu cuma numpang lewat doang. Tapi, Karin merasa benar-benar terancam saat Rama menceritakan cewek teranyarnya dengan mata berbinar. Namanya Cicit. Eh? Astrida Irsyad maksudnya. Seorang model terkenal yang super duper cantik, tapi menurut Karin berbadan tipis. Hahaa… Si Karin kalau ngomong emang suka ngasal.
Agak heran juga sama si Rama. Masa ngasih panggilan sayang ke pacar Cicit, sih. Si Astrida juga, mau aja gitu dipanggil Cicit. Kalau kata si Karin, Cicit itu kayak nama curut.
Karin benar-benar kehilangan harapan untuk bisa mendapatkan Rama, setelah Rama mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan Cicit. Selama Karin mencintai Rama, disaat Rama ingin menikah dengan Cicit itulah puncak sakit hati Karin.
Dan, disaat Karin sudah putus asa dengan cinta terpendamnya terhadap Rama, muncullah Adam. Teman kecil Karin saat dia tinggal di Amerika. Cinta monyet Karin. Sekarang berubah jadi cowok perfect. Mereka dijodohkan oleh orangtua mereka. Iya. Dijodohkan. Orangtua Karin merasa anaknya itu sudah cukup umur untuk menikah, tapi nggak punya pacar juga. Makanya mereka menjodohkan Karin dengan Adam. Ya iyalah, orang masih nunggu Rama.
Rama sibuk dengan persiapan pernikahannya dengan Cicit, sedangkan Karin sibuk dengan perjodohannya dengan Adam. Emm, lebih tepatnya Adam yang PDKT, sih. Dan Karin nggak menolak saat Adam menembaknya. Ughh.. siapa juga sih, yang dengan bodohnya akan menolak cowok kayak Adam? Udah ganteng, keren, badan atletis, mapan, baik. Kurang apa, coba?
Yang bikin aku geregetan adalah, si Rama menunjukkan sikap jealous-nya saat Karin mengatakan bahwa dia pacaran dengan Adam. Apa maksudnya coba? Apa kabar dia dengan Cicit? Ehh…eh.. kok jadi aku yang emosi. Satu lagi, aku sebel banget sama sikap PD Rama yang luar biasa gedenya itu. Bikin aku pengen ngejitak kepalanya pakai pisau.
Semakin mendekati hari pernikahannya, Rama malah merasa semakin nggak yakin melakukannya. Dia merasa ada yang salah dengan keputusannya. Dia baru menyadari bahwa ternyata ternyata dia mencintai Karin. Dia nggak rela Karin bersama cowok lain. Parahnya, Cicitlah yang pertama kali menyadari hal itu. Maka dia membatalkan pernikahannya dengan Rama. Cicit jugalah yang menyadarkan Rama kalau ternyata cewek yang diinginkan Rama adalah Karin.
Akhirnya Rama menyatakan perasaannya pada Karin. Dia meminta Karin untuk meninggalkan Adam si cowok perfect. Gila aja! Awalnya Karin merasa bahagia karena ternyata perasaannya selama delapn tahun ini terbalas. Maka, dia menurut saja saat Rama meminta dia mengakhiri hubungannya dengan Adam.
Hari dimana Adam akan berangkat ke Arab Saudi untuk kembali bekerja di perusahaan minyak dan gas, Rama mengantar Karin ke rumah Adam untuk mutusin Adam. Di situlah Karin mencoba memahami perasaannya sendiri. Siapa yang lebih dia inginkan dan dia butuhkan. Dia ngobrol banyak sama Adam. Tentang perasaannya, tentang hubungannya ke depan dengan Adam. Adam coba memberikan Karin pengertian, dan akhirnya berhasil meyakinkan Karin. Kemudian, Karin memilih Adam untuk menjadi masa depannya dan membiarkan Rama tetap sebagai sahabatnya.

Aku selalu suka dengan gaya bahasa yang digunakan Mbak Nurilla ini. Bahasanya tuh ringan, mudah di pahami. Ya kayak ngomong sehari-hari begitulah. Sama satu hal yang aku suka dari buku ini, bahasanya lucu. Kalimat-kalimatnya sering bikin aku senyum bahkan sampai tertawa saat membacanya. Suka deh pokoknya.
Dan, ini dia quotes-quotes favoritku dari buku Dear Friend with Love:
1.      Salah satu hal klasik dalam relationship adalah… Woman always has problem with guy time. (hal: 23)
2.      Emang kalau jomblo kenapa, Ram? Kadang orang milih buat jomblo karena bisa bahagia dengan dirinya sendiri. Jadi nggak perlu mencari kebahagiaan dari orang laim. (hal: 66)
3.      Gue akuin juga kalau ketidakwarasan Karin bikin gue tetap waras menjalani hari-hari di ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini. (hal: 85)
4.      Remember this guys: Kalau lo sedang ada masalah dengan cewek lo, jangan ajak dia ke tempat ramai. Cewek Nggak akan segan-segan nangis di tempat umum dan membuat lo tampak seperti seorang ibu tiri Cinderella yang jahat. (hal: 95)
5.      Bukankah yang ingin dicapai semua orang adalah kebahagiaan? Kalau kamu udah berhasil dapet, kenapa kamu lepas cuma karena kamu nggak yakin? (hal: 144)

Kalau ini kalimat kocak yang bikin aku tertawa (cuma sebagian sih, soalnya banyaaak banget kalimat kocak yang bikin ketawa. Takut nggak muat kalo aku tulis semua.. J):
1.      Tapi, karena aku tinggal di Indonesia Raya yang penuh dengan tante-tante rese yang hobi menanyakan, “Kapan nikah?” dan berujung dengan heboh menjodohkanku sana-sini saat tahu aku masih single. Mereka selalu bilang, “Jangan terlalu pilih-pilih.”
Helloooo, beli dondong saja milih, apalagi cari suami. (hal: 1)
2.      Kalau dilingkungan gue, ini sering banget gue lihat saat Jumat sore, jadwalnya gue futsal bareng anak-anak kantor. Selalu ada temen-temen gue yang nggak bisa ikutan karena nggak mau pacarnya marah kalau nggak ketemuan. Man, laki apa banci lo? Hari gini takut sama perempuan? Besok-beosk lo disuruh nyambel di dapur! (hal: 23)
3.      Nada Karin sinis tingkat dewa. Dan saat menatap gue, matanya itu lho, lebih tajem dari mata macan laper ngeliat kambing montok. (hal: 86)



Sekian review dariku. Thanks for reading. - _ -

Minggu, 22 Juni 2014

Book Review: The Marriage Roller Coater





Judul : The Marriage Rooler Coaster
Genre : Fiksi Romance
Penulis : Nurilla Iryani
Penyunting : Herlina P. Dewi
Desain Cover : Teguh Santosa
Layout Isi : DeeJe
Proofreader : Tikah Kumala
Penerbit : Siletto Book
Terbit  : 2013
Tebal : 206 halaman
ISBN : 978-602-7572-22-5


The Marriage Roller Coaster. Buku kedua karya Nurilla Iryani yang membuatku jatuh cinta setelah Dear Friend With Love. Buku ini menceritakan tentang jungkir balik kehidupan rumah tangga antara Audi dan Rafa. Nggak ada hari yang mereka lewatkan tanpa perdebatan dan pertengkaran.
Tokoh utama dalam buku ini adalah Audi. Seorang istri yang nggak banyak menuntut pada suaminya, Rafa, kecuali masalah waktu. Hampir seluruh waktu Rafa di habiskan buat bekerja, bekerja, dan bekerja. Oke, secara finansial Rafa memang menjamin kehidupan Audi. Sehingga Audi nggak kekurangan uang sedikit pun. Tapi, secara batin, Audi benar-benar menangis.
Rafa nggak pernah ada waktu untuknya. Bahkan hanya untuk sekedar mengobrol pun mereka jarang. Pagi-pagi Rafa sudah berangkat kerja. Begitu pun dengan Audi. Saat Audi pulang kerja sore harinya, Rafa masih lembur di kantornya. Dan baru pulang saat Audi sudah terlelap dalam mimpinya. Begitu terus setiap hari. Bahkan saat weekend sekali pun, tidak jarang Rafa harus tetap bekerja. Istri mana, sih, yang mau dianggurin begitu? Kalo aku mah, ogah.
Selain itu, Rafa tuh egois banget. Maunya Audi menuruti semua permintaannya. Tapi dia sendiri nggak pernah mau menuruti permintaan Audi. Padahal permintaan Audi itu sederhana, lho. Waktu Rafa yang lebih untuk Audi. Itu saja. Baca buku nii tuh, bikin geregetan. Geregetan pengen ngejitak kepala si Rafa. Biar dia sadar kalau dia itu nyebelin banget. (eh? Kok jadi aku yang emosi yak…J)
Yang lucu dan nyebelin banget (jujur, ikutan sakit hati sebagai wanita), saat Audi mengatakan bahwa dirinya hamil. Si Rafa malah marah dan menuduh Audi hamil dengan laki-laki lain. Hanya karena Rafa merasa belum siap memiliki anak dan karena dia merasa selama ini ‘melakukannya’ dengan hati-hati. Sejak awal mereka memang sudah sepakat untuk menunda memiliki anak.
Rafa itu juga childish banget. Dikit-dikit, marah. Dan setiap kali berantem sama Audi, pasti dia kabur dari apartement. Balik keesokan harinya. Seganteng apapun laki-laki, semapan apapun dia, kalau kelakuannya seperti Rafa ini lama-lama bisa bikin si wanitanya mati, kali. Mati rasa maksudnya.
Yang membuat menarik buku ini adalah, munculnya Yoga. Mantan pacar Audi yang ternyata masih mencintainya. Yang dulu rela Audi tinggalkan demi menikah dengan Rafa. Iya, Audi selingkuh sewaktu Yoga melanjutkan sekolah di Perancis. Sampai akhirnya menikah dengan selingkuhannya itu. Ya si Rafa ini.
Entah takdir atau kebetulan, Yoga ternyata adalah brand manager biskuit Yumm-O, perusahaan yang sedang berusaha Audi gaet agar mau memakai servis market research dari kantornya. Mau tidak mau, demi keberhasilannya menggaet perusahaan itu, Audi harus bersikap manis dan mau dekat dengan Yoga. Selama berhubungan dengan Yoga, Audi menyembunyikan status pernikahannya. Audi sengaja memanfaatkan Yoga untuk membuat perusahaan yang sudah empat kali menolak penawaran servis market research dari perusahaannya itu, akhirnya mau menerima dan memakai penawaran tersebut. Dan rencana itu pun berhasil. Karena keberhasilannya itu, membuat Audi mendapat promosi jabatan sebagai manager di perusahaannya.
Yoga masih mencintai Audi dan sedang berusaha untuk mendekatinya. Karena merasa mulai tidak nyaman, setelah tanda tangan kontrak, Audi mengakui pada Yoga tentang stausnya yang sudah menajdi istri orang. Yoga kecewa, marah. Karena itu dia membalas Audi dengan membuatnya lembur sampai dini hari untuk meeting berkenaan dengan kerjasama perusahaan mereka, setiap hari. Sampai Audi mengalami pendarahan yang hampir membunuh janin yang sedang di kandungnya.
Disitulah Rafa meminta Audi untuk berhenti dari pekerjaannya demi keselamatan bayi mereka. Sempat terjadi perdebatan yang berujung pertengkaran, hingga akhirnya Audi memilih untuk mengalah (lagi). Dia menuruti Rafa untuk resign dari pekerjaannya dan melupakan mimpinya menjadi manager. Kurang apa, sih, pengorbanan Audi itu? Tapi Rafa kok ya nggak sadar-sadar dari sikap childisnya yang kadang keterlaluan itu.
Setelah resign, Audi menuruti permintaan Rafa untuk belajar masak. Yang namanya masih belajar, rasa masakannya pasti ya masih agak-agak ngaco lah. Yang menyakitkan adalah, Rafa selalu bilang kalau masakannya Audi itu enak. Tapi, di belakang Audi, dia menghina masakan Audi. Dan Audi mendengarnya sendiri kata-kata menyakitkan itu keluar dari mulut Rafa.
Disitulah Audi mulai merasa bahwa hubungannya dengan Rafa memang nggak bisa buat dipertahankan. Dia merasa pengorbanannya selama ini sia-sia. Bahkan, untuk masalah sepele seperti memasak pun, Rafa nggak mau jujur padanya.
Ayah Audi sakit, Audi minta Rafa menemaninya pulang ke Jogja. Tapi Rafa lebih memilih mentraktir teman-temannya untuk merayakan kenaikan jabatan Rafa. Disini aku agak nggak setuju, sih, sama sikap Audi yang ganti egois. Audi meminta Rafa membatalkan janji itu untuk menemaninya ke Jogja. Ya nggak bisa gitu juga dong, Audi. Si Rafa juga gitu, daripada berdebat terus sama Audi, mending si Audi langsung dianter ke Bandara untuk berangkat ke Jogja, dan besoknya nyusul. Gitu aja kok, repot.
Di Jogja Audi banyak berpikir. Bahkan dia sudah berbulat tekad untuk berpisah dengan Rafa. Rafa mengalah. Dia memilih pulang ke Jakarta dan membiarkan Audi untuk menenangkan diri. Sampai akhirnya Audi memutuskan untuk kembali ke Rafa. Dan Rafa, memutuskan untuk berubah. Dia mencari apartemen yang dekat dengan kantornya. Agar waktunya tidak habis dijalan. Agar setiap istirahat dia bisa pulang ke aprtemen yang bisa ditempuh dari kantornya hanya dengan berjalan kaki. Dan, happy ending, deh.
Asli, baca novel ini tuh, bikin geregetan. Geregetan sama sikap Rafa yang kayak anak kecil banget. Geregetan sama Audi yang terlalu mengalah dan mengikuti semua kemauan Rafa. Tapi, banyak juga hal baik yang aku dapat dari buku ini. Diantaranya:
1.      Bahwa dalam pernikahan, waktu dan perhatian itu jauuuh lebih berharga ketimbang uang yang melimpah.
2.      Bahwa dalam kehidupan pernikahan itu nggak selalu menyajikan cerita manis seperti di cerita-cerita negeri dongeng.
3.      Bahwa mempertahankan pernikahan itu jauuuuh lebih sulit ketimbang memutuskan untuk memulainya.
Tapi, bukan berarti setiap pernikahan selalu seperti apa yang Audi dan Rafa alami, lho, ya. Setiap pernikahan punya warnanya sendiri.
Dan, dalam setiap buku pasti ada quotes-quotes yang keren, kan? Dan ini quotes favoritku dalam buku The Marriage Roller Coaster:
1.      Mungkin sekarang aku masih cinta sama kamu, tapi bagaimna cintaku bisa bertahan kalau kamu bahkan nggak pernah ada buatku? (hal: 183)
2.      Kata orang, cinta bisa datang karena terbiasa. Bagiku, cinta bisa hilang karena terbiasa nggak ada. (hal: 183)
3.      Forgiving is easy, forgetting is not. I can’t stand the pain anymore. (hal: 184)
4.      You don’t know what you have until it’s gone. (hal: 185)

5.      Kalau cinta yang kita punya sudah nggak membawa kebahagiaan, buat apa dipertahankan? (hal: 189)

Sabtu, 14 Juni 2014

Surat Untuk Ayah



Untuk Ayah,

Ayah, mungkin Ayah begitu kesal dengan sikap membangkangku selama ini. Yang nggak pernah mendengarkan kata-kata Ayah. Bahkan sering kali menjawab setiap perkataan Ayah.
Bukan! Bukan karena aku tidak sayang Ayah atau membenci Ayah. Aku menyayangi Ayah seperti halnya rasa sayangku pada anggota keluarga yang lain. Aku hanya ingin protes atas sikap Ayah yang sepertinya berbeda terhadapku. Yang mulai kurasakan sejak Adik sakit dan hampir kehilangan nyawanya, sepuluh tahun lalu.
Aku tahu, mungkin Ayah merasa sedih karena hampir kehilangan Adik. Dan memberi segala sesuatu lebih untuk Adik sebagai rasa syukur, mungkin. Sehingga lupa kalau ada aku dan Kakak.
Tidak tahan dengan sikap Ayah, Kakak lebih memilih untuk pergi dari rumah. Sedangkan aku, saat itu aku hanya anak tiga belas tahun. Tidak punya keberanian untuk pergi dari rumah seperti Kakak yang berusia sembilan tahun diatasku. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menerima perlakuan Ayah, menangis sediri di kamar, sehingga rasa kecewaku semakin lama berubah menjadi rasa benci. Tapi itu dulu.
Terkadang, aku ingin sekali kembali ke masa kecil dulu. Masa dimana Ayah selalu memanjakanku. Sering mengajakku pergi hanya berdua. Apa saja Ayah lakukan untuk membuatku berhenti menangis. Bagaimana Ayah menenangkanku dengan penuh kasih sayang. Aku kangen masa itu, Yah.
Aku juga ingat banget. Aku lupa tepatnya kapan. Yang aku ingat, saat itu puasa mendekati lebaran. Seperti halnya anak-anak lain. Aku meminta Ayah membelikanku baju baru untuk lebaran. Saat itu kita belum punya motor. Siang hari saat matahari terik, bulan Ramadhan, Ayah rela mengayuh sepeda menempuh jarak lima kilo hanya untuk membelikanku baju ke pasar.
Ayah tidak tahu ukuran bajuku. Baju yang Ayah beli untukku kebesaran. Karena itu Ayah kembali ke pasar untuk menukar baju. Kembali mengayuh sepeda sejauh lima kilo.
Aku sedih bila ingat saat itu, Yah. Ayah yang begitu rela melakukan apa pun demi membahagiakanku. Aku tahu Ayah sayang padaku, seperti halnya aku yang juga sayang pada Ayah. Sungguh, aku ingin Ayah seperti dulu lagi.
Aku juga ingat. Dulu aku suka sekali digendong sama Ayah. Karena ingin digendong dan nggak berani ngomong sama Ayah, aku pura-pura tertidur di ruang tamu. Karena itu Ayah menggendongku dan memindahkanku ke kamar.
Boneka yang Ayah berikan padaku dulu, sampai sekarang aku masih menyimpannya. Karena itu satu-satunya boneka yang Ayah berikan padaku dulu. Bahkan saat keponakan minta boneka itu, aku nggak kasih. Karena itu pemberian Ayah. Ahh, indah sekali masa kecilku dulu.
Beranjak dewasa, mengikuti perkataan Ibu, sepertinya dengan aku meninggalkan rumah hubunganku dengan Ayah akan membaik. Karena dengan jarangnya bertemu, kemungkinan perdebatan kita yang berujung pertengkaran akan berkurang.
Maka, selesai SMA aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Andai Ayah tahu apa alasanku pergi. Itu karena aku merasa nggak betah tinggal dirumahku sendiri. Sikap Ayah yang masih sama terhadapku,. Dan kehadiran orang baru di rumah kita, istri dari Kakak. Aku merasa semua perhatian teralih padanya. Bahkan saat dia berbuat salah sekali pun dan aku menegurnya, kalian, Ayah, Ibu, Kakak, semua malah menyalahkanku. Aku benar-benar muak saat itu. Aku merasa kehilangan keluargaku.
Empat tahun lalu saat aku pergi dari rumah, aku merasa sikap Ayah masih sama. Tapi setelah aku pergi, benar yang dibilang Ibu. Sikap Ayah sedikit lebih baik terhadapku. Tapi, nggak tahu kenapa, sayangku ke Ayah sekarang nggak seperti sayangku ke Ayah dulu. Aku seperti belum bisa sepenuhnya sayang pada Ayah.
Aku tahu itu salah, Yah. Tapi hatiku belum bisa menerima sepenuhnya perlakuan Ayah dulu. Aku masih sangat ingat saat Ayah dengan penuh emosi menampar pipiku. Saat Ayah mengataiku gila hanya karena aku mendebat Ayah. Saat Ayah menuduhku mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang. Aku masih merasakan sakit, Yah.
Aku sangat sayang Ayah, dulu. Sekarang, aku sudah memaafkan Ayah. Dan berusaha untuk menerima Ayah kembali sepenuhnya. Semoga, aku bisa melakukannya. Karena itu, Yah, bantu aku untuk mewujudkan itu. Kembalilah seperti Ayahku yang dulu. Yang sayang padaku. Yang tidak peprnah membedakan anak-anaknya. Yang rela melakukan apa pun untuk kebahagaiaanku.
Bantu aku, untuk kembali bangga menjadi anakmu.

                                                                                                Putrimu,
                                                                                              Anis


Rabu, 11 Juni 2014

Puisi dari Habibie untuk Ainun



*Ini tulisan Pak Habibie dalem banget. Ngena, dan sukses bikin aku menangis. Kata-katanya sederhana. Tapi, sarat akan makna. Dari pertama baca aku langsung jatuh cinta. Simak yukk....





Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu
Karena aku tahu, bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya
Dan kematian adalah sesuatu yang pasti
Dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi
Aku sangat tahu itu…

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian heba adalah…
Kenyataan bahwa kematian benar-benar memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang
Sekejap saja,..
Lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati
Hatiku seperti tak ditempatnya
Dan tubuhku terasa kosong melompong
Hilang isi

Kau tahu sayang?
Rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang
Pada air mata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang
Pada kesetiaan yang telah kau ukir…
Pada kenangan pahit manis selama kau ada
Aku bukan hendak mengeluh
Tapi rasanya terlalu sebentar kau disini

Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu, sayang
Tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik
Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua
Tapi, kau ajarkan aku kesetiaan sehingga aku setia
Kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini

Selamat jalan…
Kau dari-Nya dan kembali pada-Nya
Kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada
Selamat jalan, sayang…
Cahaya mataku… Penyejuk jiwaku…
Selamat jalan, calon bidadari surgaku …


B. J. Habibie