Ini
cerita tentang seorang cewek berusia dua puluh tiga tahun yang jatuh cinta pada
seorang cowok ‘aneh’. Bahkan dia tetap jatuh cinta walaupun tahu tentang
‘keanehan’ cowok itu. Dia juga berharap bisa mengubah ‘keanehan’ cowok itu
dengan cintanya. Klasik. Tapi itulah yang sedang diusahakannya. Disamping ktu,
dia harus menghadapi kehebohan keluarganya yang sibuk menjodohkan dia dengan
anak tetangga lama mereka. Siapakah cewek itu? Silahkan cari tahu di
IMPOSSIBLE… Selamat berjedag-jedug ria…
Anies
Percayalah, nggak ada yang lebih
menyebalkan dari bos yang memaksamu lembur di hari Jumat. Padahal besoknya
sudah weekend. Waktunya melepas penat
dari pekerjaan. Waktunya istirahat. Waktunya refreshing. Tapi ini, sudah jam delapan malam aku belum juga di kasih
pulang. Empat jam lepas dari jam pulang kantor.
Yang harus menyelesaikan laporan inilah,
itulah. Eh, malah ditambah lagi dengan kerjaan yang seharusnya bukan aku yang
mengerjakan. Iya, tahu yang namanya loyalitas. Tapi nggak begitu juga, kali.
Aku kan manusia. Juga butuh istirahat.
Masih ingat banget saat Bu Siska,
atasanku menghampiri mejaku siang tadi. “Rhea, bagaimana soal sponsor? Apa
semua bisa hadir saat acara pembukaan?” Seperti biasa. Bu siska berkata dengan
nada datar dan tampangnya yang juga datar. Kadang aku mikir, itu orang pas
Tuhan membagikan ekspresi dulu nggak dateng kali, ya?
Aku diam sesaat sambil membolak-balik
tumpukan kertas dalam map warna biru di depanku. “Tinggal PT. Diandra Sejahtera
saja yang belum konfirmasi, Bu. Kalau yang lainnya sudah pasti akan datang.”
“Undangan untuk technical meeting, apa sudah di kirim ke semua pemilik stand yang akan ikut bazar?”
“Sudah, Bu. Dan sejauh ini, mereka yang
sudah menerima undangannya sudah konfirmasi ke Farah.”
“Bagus. Kamu sekarang lagi ngerjain
apa?”
“Lagi ngerjain ID card untuk para
penjaga stand di bazar.” Aku melirik
tumpukan ID card yang harus aku
stempel dengan stempel perusahaan.
“Kalau begitu, kamu ketik pidato saya untuk
pembukaan, dan juga daftar susunan acara. Besok pagi harus kamu kasih ke saya.”
Bu Siksa berkata sambil meletakkan empat lembar kertas A4 di mejaku. Kertas
yang sebagian hurufnya sudah di ketik rapi. Tapi, banyak sekali tambahan
coretan disana-sini dengan menggunakan bolpoin merah. Aku asumsikan kalau itu
koreksi dari Bu Siksa. Kata apa yang harus di hapus dan apa yang harus ditambahkan.
Kemudian Bu Siska meninggalkan mejaku dan kembali ke ruangannya.
Aku menatap lembar yang lebih mirip
kertas coretan pas ujian SMA itu dengan tatapan nanar. Bu Siska tega banget,
sih? Ini ID card dua ratus tujuh
puluh lima lembar yang harus aku stempel satu per satu, sehabis itu dimasukkan
ke plastik keplek, lalu dikasih tali. Masih ditambah dengan tugas harus
mengetik ulang lembaran pidato Bu Siska tadi? Dan ini sudah pukul tiga sore. Bu
Siska lupa, ya, kalau sejam lagi sudah jam pulang kantor?
Emm, aku belum cerita tentang tempatku
bekerja, ya? Oke, jadi begini. Aku kerja di Harsono Boutique. Yaitu nama salah
satu butik terbesar dan cukup terkenal di kota Surabaya. Kami memproduksi
pakaian sendiri. Dengan kata lain, selain menjalankan butik, kami juga memiliki
pabrik tekstil. Ya walau pun pabriknya nggak besar-besar banget, sih. Bu Siska
adalah owner sekaligus kepala desainer
di Harsono Clothing. Kami punya tim penjahit. Ada juga tim pembuat pola. Tim
pembuat batik. Dan sebagainya.
Pakaian yang kami hasilkan, selain
dijual di Harsono Boutiqe yang ada di lantai satu, juga didistribusikan ke
berbagai cabang Harsono Boutique yang ada di Surabaya dan beberapa kota besar
di Indonesia. Baru-baru ini, produk unggulan kami adalah batik. Celana berbahan
batik, baju, sepatu, tas, topi, dres, dan segala seusatu yang berbahan batik.
Poin plusnya adalah, batik tulis yang dihasilkan oleh perusahaan kami sendiri.
Dan profesiku? Aku adalah desainer
junior. Tapi melihat dari apa yang kukerjakan selama bekerja di sini setahun
terakhir ini, kayaknya aku lebih tepat disebut sebagai asisten Bu Siska.
Sebenarnya dulu aku melamar ke Harsono
Boutique ini sebagai desainer junior dibawah Bu Siska dan lima desainer senior
lainnya. Teman seangkatanku ada tiga orang. Aku, bekerja di bawah Bu Siksa.
Dengan kata lain, dia adalah pembimbingku dan bertanggungjawab untuk
menjadikanku desainer profesional. Sedangkan dua lainnya, Alamanda bekerja di
bawah bimbingan Mbak Kayana, dan Maisya bekerja dibawah bimbingan Mbak Bertha.
Nasib mereka berdua nggak jauh beda dariku. Persis kayak asisten
desainer-desainer senior itu.
Karena pekerjaanku yang dobel-dobel itu,
jadi, tahu sendiri kan, sibuknya aku seperti apa? Dan saat ini Harsono Boutique
sedang mempersiapkan Festival Batik yang akan diselenggarakan dua Minggu lagi.
Semua orang kantor nggak ada yang nggak sibuk. Sampai tugas Vico yang harusnya
menyelesaikan ID card untuk panitia
dan pesera bazar akhirnya diserahkan padaku. Karena saat ini Vico sedang sibuk
mengurusi spanduk iklan yang harus di pasang besok.
Kantorku saat ini lebih mirip dengan
tempat penampungan korban bencana alam. Hampir setiap hari lembur. Dan maksud
hatiku, hari ini aku tidak ingin lembur karena tubuhku rasanya sudah sangat
lelah.
“Selamat sore, Rhea?”
Aku mendongak saat mendengar suara berat
memanggil namaku. Dan aku mendapati senyum hangat Mas Asta yang diam-diam
kukagumi. Tanpa bisa kucegah dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Eh, Mas. Mau ketemu Bu Siska?”
“Iya. Lagi sibuk, nggak?”
“Kenapa, Mas?” Mau ngajak aku dinner romantis?
“Mau minta susunan acara selama lima
hari festival dan juga susunan panitia. Punya saya ketinggalan.”
“Oh. Ada.” Aku membuka laci mejaku dan mencari
map kuning yang aku gunakan untuk menyimpan dokumen festival. Lalu mengambil tiga
lembar kertas yang dimaksud Mas Asta.
“Ini, Mas.” Aku menyerahklan kertas
tersebut ke Mas Asta yang ternyata memperhatikanku sedari tadi. Aku jadi salah
tingkah.
“Oke. Thanks ya, Rhea.” Mas Asta mengatakan itu sambil berlalu dari
hadapanku. Berjalan menuju ruangan Bu Siska dengan langkah tergesa.
Meninggalkan bau parfum maskulin yang akhir-akhir ini mulai kuhafal.
Mas Asta itu EO yang dipakai Bu Siska
untuk menangani festival batik yang akan kami selenggarakan. Dan sudah selama
hampir tiga bulan ini aku sering bertemu dengannya dalam berbagai meeting. Pembawaannya yang lembut,
berkharisma, cool, maskulin, dewasa, membuat
hatiku menghangat setiap kali bertemu dengannya.
Serta penampilannya yang
selalu rapi. Kemeja berdasi dengan jas body
fit yang membuatnya terlihat
kereeen banget. Tapi, aku paling suka kalau melihat penampilannya sewaktu meeting sampai tengah malam. Dia menanggalkan
dasi dan jasnya. Sehingga hanya meninggalkan kemeja body fit-nya yang lengan
panjangnya digulung sampai ke siku. Uhmm... bikin perut yang tadinya kenyang
tetiba jadi keroncongan. (eh? nggak nyambung yakk... :) )
Jatuh cinta? Entahlah. Yang jelas aku
benar-benar terpesona pada sikapnya yang begitu cowok. Saat itu aku sedang
berjalan sempoyongan karena membawa satu kardus penuh dengan proposal festival.
Dan dengan coolnya dia mengambil dus itu
dari tanganku untuk dia bawakan ke ruangan Bu Siska. Gimana nggak suka, coba?
───
Sekali lagi aku melihat pergelangan
tanganku. Jam delapan lewat empat puluh lima menit. Taksi yang ku pesan belum
juga datang. Padahal aku minta dijemput pukul delapan tepat. Dua kali aku
telepon ke operator taksi biru itu, jawabannya tetap sama. ‘Kami akan
menghubungi taksi yang sudah kami kirim untuk segera menuju tempat Ibu. Mohon
bersabar menunggu. Dan kami minta maaf atas ketidaknyamanan Anda.’
Enak banget itu operator ngomongnya.
Kakiku kram gara-gara kelamaan berdiri dipinggir jalan. Sebenarnya Bu Siksa
masih rapat dengan pihak EO, sih. Ya Mas Asta tadi sama teman-temannya. Tapi,
kalau aku menunggu di dalam, yang ada akan di suruh ini itu, lagi. Mau pulang
jam dua belas? Terima kasih, deh.
“Lagi nunggu jemputan, Rhe?”
Hampir saja aku teriak karena saking
kagetnya. Entah muncul darimana, Mas Asta sekarang sudah berdiri di sampingku.
Dan wajah muramku langsung berubah cerah.
“Eh, Mas. Iya, taksinya nggak
dateng-dateng.”
“Rumah kamu di mana?”
“Rungkut, Mas.”
“Kebetulan. Bareng aja, yuk. Kita searah
kayaknya.”
Mau
banget. “Emang rumah Mas Asta di mana?”
“Dharmahusada.”
Mataku melotot refleks saat mendengar
jawaban Mas Asta. Itu mah jauh banget. Bukan searah sama sekali.
“Itu nggak searah, lho, Mas.”
“Searah. Udah, yuk.” Mas Asta mendorong
pelan bahuku untuk mengikuti langkahnya menuju mobil.
“Tapi taksinya.” Kataku sambil
menunjuk-nunjuk jalan raya.
“Batalin aja. Nggak dateng-dateng juga,
kan?”
Dan karena dipaksa─sebenarnya tanpa
dipaksa pun aku juga mau─akhirnya aku menurut juga masuk ke mobil Mas Asta.
Selama empat puluh menit aku mengamati Mas Asta dari dekat, sedikit banyak aku
jadi tahu tentang dia. Bagaimana gesturenya
setiap kali bicara. Bagaimana caranya mengedipkan mata. Bagaimana senyum
hangatnya yang membuat waktu serasa membeku. Duh, genap satu jam saja aku
berada satu mobil dengan Mas Asta, aku yakin bakalan mati karena kekurangan
oksigen.
Dan empat puluh menit kemudian dia
memarkirkan mobilnya di depan rumahku.
“Thanks
lho, Mas. Maaf banget udah ngerepotin.” Aku berkata sambil membuka seat belt kemudian membuka pintu mobil.
“Nggak masalah. Sampai bertemu lagi.”
Mas Asta menjawab dengan senyum hangatnya.
“Oke. Hati-hati.” Kemudian aku turun
dari mobil dan menutup pintunya.
Kalau untukku, Dharmahusada dan Rungkut
itu tidak searah. Yang seharusnya Mas Asta hanya perlu menempuh Hr. Muhammad─Dharmahusada
hanya dengan dua puluh lima menit, sekarang menjadi hampir sejam gara-gara
mengantarku ke Rungkut terlebih dulu. Apa ini bisa kuartikan sebagai ‘lampu
hijau’?
Emm, terlalu ge-er ya, aku? Bukannya
gimana-gimana. Tapi, kalau nggak ada apa-apa mana mungkin sih, rela buang-buang
waktu cuma buat ngantar pulang orang lain? Ah, ya sudahlah.