Ayah, mungkin Ayah begitu kesal
dengan sikap membangkangku selama ini. Yang nggak pernah mendengarkan kata-kata
Ayah. Bahkan sering kali menjawab setiap perkataan Ayah.
Bukan! Bukan karena aku tidak
sayang Ayah atau membenci Ayah. Aku menyayangi Ayah seperti halnya rasa
sayangku pada anggota keluarga yang lain. Aku hanya ingin protes atas sikap
Ayah yang sepertinya berbeda terhadapku. Yang mulai kurasakan sejak Adik sakit
dan hampir kehilangan nyawanya, sepuluh tahun lalu.
Aku tahu, mungkin Ayah merasa
sedih karena hampir kehilangan Adik. Dan memberi segala sesuatu lebih untuk
Adik sebagai rasa syukur, mungkin. Sehingga lupa kalau ada aku dan Kakak.
Tidak tahan dengan sikap Ayah,
Kakak lebih memilih untuk pergi dari rumah. Sedangkan aku, saat itu aku hanya
anak tiga belas tahun. Tidak punya keberanian untuk pergi dari rumah seperti
Kakak yang berusia sembilan tahun diatasku. Yang bisa kulakukan saat itu hanya
menerima perlakuan Ayah, menangis sediri di kamar, sehingga rasa kecewaku
semakin lama berubah menjadi rasa benci. Tapi itu dulu.
Terkadang, aku ingin sekali
kembali ke masa kecil dulu. Masa dimana Ayah selalu memanjakanku. Sering
mengajakku pergi hanya berdua. Apa saja Ayah lakukan untuk membuatku berhenti menangis.
Bagaimana Ayah menenangkanku dengan penuh kasih sayang. Aku kangen masa itu,
Yah.
Aku juga ingat banget. Aku lupa
tepatnya kapan. Yang aku ingat, saat itu puasa mendekati lebaran. Seperti
halnya anak-anak lain. Aku meminta Ayah membelikanku baju baru untuk lebaran.
Saat itu kita belum punya motor. Siang hari saat matahari terik, bulan
Ramadhan, Ayah rela mengayuh sepeda menempuh jarak lima kilo hanya untuk
membelikanku baju ke pasar.
Ayah tidak tahu ukuran bajuku.
Baju yang Ayah beli untukku kebesaran. Karena itu Ayah kembali ke pasar untuk
menukar baju. Kembali mengayuh sepeda sejauh lima kilo.
Aku sedih bila ingat saat itu,
Yah. Ayah yang begitu rela melakukan apa pun demi membahagiakanku. Aku tahu
Ayah sayang padaku, seperti halnya aku yang juga sayang pada Ayah. Sungguh, aku
ingin Ayah seperti dulu lagi.
Aku juga ingat. Dulu aku suka
sekali digendong sama Ayah. Karena ingin digendong dan nggak berani ngomong
sama Ayah, aku pura-pura tertidur di ruang tamu. Karena itu Ayah menggendongku
dan memindahkanku ke kamar.
Boneka yang Ayah berikan padaku
dulu, sampai sekarang aku masih menyimpannya. Karena itu satu-satunya boneka
yang Ayah berikan padaku dulu. Bahkan saat keponakan minta boneka itu, aku
nggak kasih. Karena itu pemberian Ayah. Ahh, indah sekali masa kecilku dulu.
Beranjak dewasa, mengikuti
perkataan Ibu, sepertinya dengan aku meninggalkan rumah hubunganku dengan Ayah
akan membaik. Karena dengan jarangnya bertemu, kemungkinan perdebatan kita yang
berujung pertengkaran akan berkurang.
Maka, selesai SMA aku memutuskan untuk
pergi dari rumah. Andai Ayah tahu apa alasanku pergi. Itu karena aku merasa
nggak betah tinggal dirumahku sendiri. Sikap Ayah yang masih sama terhadapku,.
Dan kehadiran orang baru di rumah kita, istri dari Kakak. Aku merasa semua
perhatian teralih padanya. Bahkan saat dia berbuat salah sekali pun dan aku
menegurnya, kalian, Ayah, Ibu, Kakak, semua malah menyalahkanku. Aku benar-benar
muak saat itu. Aku merasa kehilangan keluargaku.
Empat tahun lalu saat aku pergi
dari rumah, aku merasa sikap Ayah masih sama. Tapi setelah aku pergi, benar
yang dibilang Ibu. Sikap Ayah sedikit lebih baik terhadapku. Tapi, nggak tahu
kenapa, sayangku ke Ayah sekarang nggak seperti sayangku ke Ayah dulu. Aku
seperti belum bisa sepenuhnya sayang pada Ayah.
Aku tahu itu salah, Yah. Tapi
hatiku belum bisa menerima sepenuhnya perlakuan Ayah dulu. Aku masih sangat
ingat saat Ayah dengan penuh emosi menampar pipiku. Saat Ayah mengataiku gila
hanya karena aku mendebat Ayah. Saat Ayah menuduhku mengkonsumsi alkohol dan
obat-obatan terlarang. Aku masih merasakan sakit, Yah.
Aku sangat sayang Ayah, dulu.
Sekarang, aku sudah memaafkan Ayah. Dan berusaha untuk menerima Ayah kembali
sepenuhnya. Semoga, aku bisa melakukannya. Karena itu, Yah, bantu aku untuk
mewujudkan itu. Kembalilah seperti Ayahku yang dulu. Yang sayang padaku. Yang
tidak peprnah membedakan anak-anaknya. Yang rela melakukan apa pun untuk
kebahagaiaanku.
Bantu aku, untuk kembali bangga
menjadi anakmu.
Putrimu,
Anis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar