Minggu, 23 November 2014

Short story : SENYUM TERAKHIR BUAT ADI



Samantha memandang nanar ke jendela yang kacanya mengembun. Saat ini hujan tengah turun di luar sana. Sesekali petir menyambar dengan suara menggelegar. Membuat hati Samantha semakin teriris.
Hujan menyimpan cerita tentang Samantha. Tentang kisahnya bersama Adi. Tentang pelukan singkat dibawah hujan saat mereka sama-sama berteduh di teras lab Fisika sewaktu pulang sekolah. Dulu. Kini, tinggal hujan yang menyimpan cerita. Cerita yang sangat ingin Samantha ulang keberadaannya.
“Sekian lama gue memendam perasaan ini untuk Adi. Gue ingin nyatain perasaan gue, tapi gue cewek, La.” Samantha berkata dengan lirih.
Lala, sahabatnya, memandang miris antara kasihan dan sebal. Ini bukan kali pertama dia mendengar sahabatnya berkata begitu. Dia terlalu bosan dengan kata-kata yang diulang Samantha.
“Tauuk, ahh! Pusing gue denger ocehan lo terus.” Jawab Lala dengan malas. Mereka diam sejenak. Saling memandang. “Sekarang gue tanya, berapa lama lo suka sama dia?” Tanya Lala kemudian.
“Empat tahun.” Jawab Samantha.
“Terus, mau sampai kapan lo mencintai dia tanpa berani emngungkapkan?” Lala bertanya algi.
“Ya sampai Adi tau.” Samantha menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari jendela.
“Terus, lo pikir Adi bakal tau gitu kalau lo nggak ngomong?” Lala mengajukan pertanyaan retoris.
“Ya ahrusnya dia sadar dong, kalo gue suka sama dia.”
“Sam, cowok itu nggak sepeka cewek. Kalau kita nggak ngomong ke dia tentang apa yang kita rasa, mereka nggak akan pernah tau. Ngerti lo?” Lala berkata dengan nada meninggi. Dia sudah sangat kesal dengan Samantha yang menurutnya etrlalu bodoh. Membuang waktu ebrtahun-tahun demi emncintai ornag yang tidak pernah mencintainya.
 “Lalu, apa maksudnya kasih eprhatian-perhatian ek gue dulu itu? Apa maksudnya juga nerima perhatian-perhatian dari gue dulu? Harusnya itu cukup menjelaskan, La.” Samantha mendebat perkataan Lala.
“Yang tahu jawaban pastinya Cuma Adi. Kalau lo nggak tanya ke dia, maka lo nggak akan pernah tau jawabannya. Tapi, menurut gue. Dari kisah lo ini aja seharusnya lo udah tau lho, Sam. Bahwa lo mengartikan lebih eprhatian Adi. Tapi Adi sebaliknya. Siapa tau dia Cuma nganggep perhatian yang lo kasih itu adalah perhatian ke temen. Buktinya dia nggak eprnah memperjelas hubungan kalian, kan?” Lala menjelaskan panjang lebar. Samantha akhirnya menoleh untuk emnatapnya. PAndangannya sayu.
“Jadi, menurut lo Cuma gue yang berharap? Sedangkan Adi enggak.” Samantha bertanya dengan emmelas.
“Iya.” Tegas Lala mengatakan itu. Dia hanya ingin sahabatnya itu sadar, bahwa percuma menunggu sesuatu ayng nggak jelas kepastiannya. Agar hidupnya nggak sia-sia.
“Come on, Sam. Lo itu cantik, cowok manapun yang lo mau bisa lo dapetin. Buat apa, sih, buang-buang waktu Cuma buat nunggu Adi yang nggak pasti datang. Siapa tau aja dia udah lupa sam lo.”
“Tapi gue nggak lupa sama dia, La.” Samantha berkata sambil mengembalikan tatapannya ke jendela.
Lala menarik napas berat. Menyerah dengan usahanya utnuk membuat Samantha berhenti mengharapkan Adi. Dia merasa usahanya selama ini akan sia-sia, kalau tidak diimbangi dengan keinginan Samantha untuk melepaskan perasaannya terhadap Adi. Percuma.
Sudah banyak cowok yang Lala kenalkan ke Samantha, tapi nggak ada satu pun aygn berhasil membuat Samantha berpaling dari Adi. Kemudian Lala mengambil langkah lebih ekstrim dengan cara yang sebenarnya bisa saja membuat Samantha amrah. Menasehatinya hampir setiap hari. Memanas-manasi Samantha dengan mengatakan semua hal jelek tentang Adi. Tapi tetapa saja, nggak ada yang berhasil membuat Samantha sadar.
───
Lala masih sibuk dengan laptopnya saat Samantha menghampirinya di akntin. Mengerjakan tugas entah apa.
“Eh, Sam. Udah makan?” Lala bertanya tanpa menatap Samantha. Tatapan sibuk antara laptop dan buku yang ada di depannya.
“Udah.” Jawab Samantha singkat. Hening beberapa detik. Sampai Lala mendengar hembusan napas Samantha ayng etrdengar begitu berat. Lala mengalihkan tatapannya dari alptot ke Samantha. Mengamati sahabatnya itu dengan seksama.
 “Lo sakit, Sam?” Tanya Lala begitu menyadari wajah pucat Samantha. Kemudian dia memegang kening Samantha.
“Ya Tuhan, jidat lo panas lho, Sam? Kenapa lo masuk kuliah kalo lagi sakit.” Lala berkata dengan khawatir. “Gue anter pulang aja, ya?”
 “Gue nggak pa-pa. Cuma agak demam aja. Kayaknya sih mau flu. Nggak usah lebay gitu, deh.” Samantha berusaha menngelak. Padahal hanya dengan melihat wajah pucatnya saja, semua orang juga akan tahu kalau Samantha itu sedang nggak baik-baik saja.
“Elo demam lho, Sam. Nggak pa-pa gimana? Gue anter pulang aja, deh.” Lala masih membujuk Samantha.
“Tapi gue ada kelas, La.” Samantha masih ebrsikeras emnolak.
“Entar gue BBM temen sekelas lo buat titip absen.” Kata Lala sambil membereskan buku dan laptopnya kemudian emmasukkan ke ransel hitamnya.
“Tapi, La─”
“Nggak ada protes!” Lala berkata tegas kemudian emmaksa Samantha utnuk berdiri mengikuti langkahnya.
Dan akhirnya dengan paksa Samantha dibawa pulang oleh lala. Ternyata Samantha beneran sakit. Sesampainya dirumah, dia tidak sadarkan diri.
Dokter keluar dari kamar Samantha. Dari raut mukanya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan mengenai keadaan Samantha.
“Sam sakit apa, Tan?” Lala bertanya khawatir begitu melihat dokter dan Mama Samantha keluar dari akmar.
“Darahnya drop lagi, La. Mungkin karena akhir-akhir ini dia ikut sibuk mempersiapkan pernikahan Abangnya, jadi dia kecapekan. Tante titip Sam sebentar, ya. Mau ngobrol sama dokter dulu.” Jawab Mama Samantha.
“Oh. Iya, Tan.” Lala menjawab dengan sopan. Tapi, dia menangkap suatu ektidakberesan dari sikap Mama Samantha yang terlihat cemas. Kalau hanaya kurang darah, masa iya Mama Samantha sebegitu khawatirnya?
Maka, Lala berjalan mengendap mengikuti Mama Samantha dan dokter. Lala berdiri di balik tembok pembatas ruang keluarga dan ruang tamu. Samar-samar didengarnya perbincangan Mama Samantha dengan dokter. Suara emreka tidak terlalu ejlas. Yang sempat etrtangkpa telinga Lala hanya kalimat, ‘Samantha nggak boleh terlalu banyak pikiran, Bu. Itu bisa berakibat fatal pada kondisinya. Dan akan semakin memperpendek masa hidupnya.’ Mendengar itu tiba-tiba Lala merasakan tubuhnya membeku. Dadanya berdegup kencang.
Kemudian dilihatnya dokter meninggalkan Mama Samantha yang kini etrduduk lemas di sofa. Dia membungkam kedua tangannya. Samar-samar terdengar isak tangis. Lala berjalan mendekati Mama Samantha.
“Tante, kenapa?” Tanya Lala pelan. Mama Samantha kaget. Segera dia hapus air matanya.
“Nggak pa-pa.” Jawab Mama Samantha dengan suara serak.
“Samantha nggak pa-pa kan, Tan?” Tanya Lala curiga.
“Nggak pa-pa. Samantha baik-baik saja.” Jawab Mama Samantha berusaha menutupi kesedihannya.
“Terus kenapa kenapa tadi Lala denger dokter bialng kalau terlalu abnyak pikiran itu akan semakin memperpendek umur Samantha? Tante bohong, kan? Lala kenal Tante bukan baru kemaren, Tan. Tante udah Lala anggep kayak Mama Lala sendiri. Lala tau kalau Tante bohong. Samantha kenapa Tante?” Lala terus memburu. Akhirnya Mama Samantha menyerah. Sudah saatnya dia mengatakan ini pada Lala, sahabatn terdekat Samantha.
“Samantha leukimia stadium lanjut.” Jawab Mama Samantha dengan tangis tertahan.
Lala tidak menjawab. Hanya menatap Mama Samantha dnegan melongo dan mata etrbelalak. Dia merasa kepalanya seperti dijatuhi beban yang begitu berat.
“Dan kata dokter, kali ini Samantha tidak akan bisa bertahan.” Mama Samantha melanjutkan dengan suara parau. Dia kembali terisak. Begitu pun dengan Lala. Matanya terasa panas. Air matanya mulai mengalir. Lala terduduk lemas dilantai dapur. Sedangkan Mama Samantha berdiri lemah bersandar didinding dapur.
Setelah tangis mereka mereda, mereka kembali ke kamar Samantha. Samantha sudah sadar dari pingsannya. Hanya saja wajahnya masih terlihat pucat.
Lala menghampiri sahabatnya yang sedang tersenyum kepadanya itu. Dipeluknya Samantha erat-erat. Seperti tidak mau melepaskan.
“Lo kenapa sih, La?” Tanya Samantha bingung. Lala membuka mulut siap mengeluarkan kata. Hanya saja dia tidak mampu. Dia malah terisak.
“La, gue nggak bisa napas.” Teriak Samantha. Kemudian Lala melepaskan pelukannya. Ditatapnya Samantha.
“Kenapa lo nggak mau cerita ke kita soal sakit lo?” Lala berkata dengan setengah berteriak. Suara terdengar serak.
Emosinya bercampur aduk. Antara sedih, takut, dan kecewa karena Samantha merahasiakan sakitnya dari dia.
Ternyata dibalik keceriaan Samantha selama ini, dia menyimpan penyakit mematikan yang setiap saat siap merenggut nyawanya. Samantha menatap Lala dan Mamanya bergantian. Matanya berkaca-kaca.
“Gue nggak mau lo care sama gue hanya karena gue sakit. Gue takut lo ninggalin gue. Gue takut, La.” Samantha terisak.
“Gimana lo bisa berfikir kaya gitu sih, Sam? Gue sahabatan sama lo tulus. Gue pengen selalu ada buat lo saat lo senang atau pun susah. Harusnya lo berbagi sama gue. Itu gunanya sahabat, Sam.” Jelas Lala masih dengan suara seraknya.
“Maafin gue. Gue sayang sama lo.” Samantha memeluk Lala. Mereka tenggelam dalam tangis. Antara sedih dan terharu.
───
“La?” Panggil Samantha saat mereka duduk berdua di taman kampus.
“Kenapa?” Jawab Lala dengan mulut sibuk mengunyah kripik Singkong kesukaannya.
“Lo mau nggak bantuin gue?” Tanya Samantha.
“Apa sih yang nggak buat loe?” Jawab Lala sambil nyengir.
“Bantu gue cari Adi dong.” Pinta Samantha.
“Siapa?” Tanya Lala kaget. “Kok Adi sih?”
Please, La. Gue pengen ketemu Adi sebelum gue pergi.” Pinta Samantha memelas.
“Lo ngomong apaan, sih? Nggak ada yang bakal pergi! Gue nggak suka lo ngomong gitu.” Lala sedikit emosi mendengar perkataan Samantha yang terdengar pesimis.
“Cepat atau pun lambat, gue bakal pergi duluin lo dan keluarga gue. Gue nggak mau mati dengan membawa rasa penasaran gue tentang perasaaan Adi ke gue. Please, La, gue mohon. Anggep aja ini permintaan terakhir gue.” Samantha memohon.
“Ini bukan permintaan terakhir lo. Lo masih akan banyak permintaan ke gue. Inget itu. Gue bakal marah kalo lo pergi duluan.” Lala menguatkan hati. Menahan agar air matanya tidak jatuh.
“Ya udah, gue cariin Adi buat lo. Lo kasih gue alamatnya.” Akhirnya Lala menerima permintaan Samantha.
Thanks, ya.” Samantha tersenyum. ”Tapi jangan bilang kalo gue sakit. Gue nggak mau Adi jawab bohong karena kasihan. Gue pengen yang sejujurnya dari dia.”
“Iyaa, bos. Tapi ada syaratnya.”
“Apa?” Tanya Samantha penasaran.
“Lo nggak boleh ngomong kayak tadi lagi. Lo pasti sembuh. Lo harus bertahan.” Jawab Lala.
“Iya. Gue akan bertahan buat Adi. Buat lo, buat Mama, Papa sama Abang gue.” Jawab Samantha pasti. Lala tersenyum kemudian memeluk Samantha.
Rasanya sulit bagi Lala bila harus kehilangan momen seperti ini, saat bersama dengan Samantha. Tertawa, bercanda, ngobrol soal cowok, gosip artis-artis Korea kesukaan mereka, nonton drama Korea bareng sampai nangis-nangis, berburu pakaian dan aksesoris ala Korean style. Karena Samantha adalah sahabat terbaik Lala. Begitu pun sebaliknya.
───
Lala mendatangi alamat rumah Adi yang diberikan Samantha. Tapi keluarga Adi sudah pindah sejak Tiga tahun lalu. Dan kata pemilik rumah yang baru, Adi dan keluarganya pindah ke Jakarta. Dan terakhir balik ke Bandung adalah leabaran tahun lalu. Tepat saat Adi datang ke rumah Samantha. Lala kembali ke rumah Samantha.
“Adi pindah ke Jakarta? Kok dia nggak pernah ngomong ke gue? Bahkan saat lebaran kemaren dia udah di Jakarta? Kebangeten. Apa sih maunya tuh anak? Selalu bikin gue bingung sama sikap-sikapnya.” Samantha emosi.
“Sabar, sabar. Inget loe lagi sakit.” Lala menenangkan. Samantha terlihat sedang berpikir.
“Gimana kalo kita datengin satu persatu teman sekelas gue dulu?” Saran Samantha.
“Gila loe? Satu kelas kan banyak, Sam. Ya seengaknya siapa teman terdekat Adi pas SMA dulu.”
“Bener juga, kenapa gue nggak kepikiran ya?” Samantha terlihat semangat. Dia ambil handphone nya. Dicarinya nomor HP orang yang dimaksud. Kemudian berhenti.
“Gue kan udah lama lost contac sama mereka. Bahkan nggak ada yang satu kampus sama gue.” Samantha yang tadi terlihat semangat, berubah jadi sedih.
“Terus gimana dong?” Tanya Lala.
“Album kenangan.” Samantha loncat dari ranjangnya menuju sebuah rak buku. Dicarinya album kenangan yang dimaksud.
“Ketemu?” Tanya Lala.
“Dapet.” Jawab Samantha girang. Dibolak-baliknya halaman demi halaman album tersebut. Dia dapatkan nama Arya teman dekat Adi. Dia dan Lala langsung melesat ke alamat Arya. Sesampainya disana, mereka bertemu dengan Arya langsung.
“Gilaa, loe sekarang beda banget sama loe yang dulu ya? Dulu loe tuh item, awut-awutan, nggak pernah dandan. Sekarang jadi kinclong gini.” Puji Arya jujur.
“Sialan loe. Jadi gue dulu nggak kinclong?” Jawab Samantha. Mereka tertawa sejenak mengingat masa lalu.
“Ada apa loe nyariin gue? Loe kangen sama gue? Loe sih, dulu nolak gue..” Canda Arya.
“Apaan sih? Tujuan gue kesini, mau nanya soal Adi.” Samantha mengutarakan maksudnya.
“Kok malah nyari Adi. Setelah dulu loe dimainin sama dia gitu, sekarang masih nyariin?” Tanya Arya.
“Maksud loe?” Samantha tidak mengerti.
“Adi dulu pernah bilang ke gue, dia suka godain loe gitu Dia seneng liat ekspresi salting loe. Lucu katanya. Dia juga tau kalo loe suka sama dia.” Jelas Arya.
“Dia cuma mainin gue? Dia juga tau kalo gue suka sama dia?” Tanya Samantha tidak percaya.
“Iya.”
“Kenapa dia masih bisa mainin gue? Jahat banget dia.” Samantha merasa tidak percaya dengan apa yang baru dia dengar.
“Iya. Lagian gimana bisa loe suka sama dia sih? Dia kan brengsek.”
“Apa gue bilang? Lupain cowok yang namanya Adi itu. Loe sih bandel kalo dibilangin.” Sahut Lala merasa kesal mendengar pengakuan Arya.
“Gue bisa minta alamat Adi yang di Jakarta nggak?” Tanya Samantha akhirnya.
“Tetep masih mau nyari dia?” Tanya Lala tidak percaya.
“La, please!” Samantha memohon. Lala menyerah. Dia tidak tega bila ingat sakit sahabatnya ini.
“Ngapain ke Jakarta? Adi kan sekarang kuliah sambil kerja di Bandung. Cuma gue sendiri nggak pernah ketemu dia. Terakhir sekitar bulan Juli tahun lalu kayaknya.” Jelas Arya.
Setelah mendapatkan alamat kantor Adi dari Arya, niatnya mereka akan langsung ke kantor Adi. Tapi kondisi Samantha melemah. Walaupun dia memaksa, Lala tetap membawanya pulang. Hidung Samantha mimisan. Dia tidak sadarkan diri. Lala panik, kemudian membawanya ke Rumah Sakit. Dokter bilang, Samantha tidak boleh terlalu stres atau terlalu lelah.
Samantha koma. Kondisinya semakin memburuk. Dua hari dia tidak sadarkan diri. Melihat kondisi sahabatnya seperti ini, Lala memutuskan untuk datang ke kantor Adi sseorang diri. Dia berhasil menemui Adi. Tapi Ady tidak mau menemui Samantha dengan alasan yang tidak bisa dia katakan. Sekalipun Lala mengatakan kalau Samantha sedang sakit. Bahkan Lala sempat memaki adi karena saking kesalnya. Adi hanya menitipkan surat untuk Samantha.
Lala bergegas ke Rumah Sakit saat mendengar Samantha sadar. Tidak lupa dibawanya surat dari Adi.
“Sam, loe baik-baik aja kan?” Lala memeluk sahabatnya itu.
“Iya, gue baik-baik aja kok. Gimana, La? Loe dah nemuin Adi?” Tanya Samantha. Suaranya lemah, wajahnya pucat. Kecantikannya seperti sirna begitu saja.
Lala tidak menjawab. Dia menghembuskan napas berat. Rasanya berat dia menceritakan soal Adi ke Samantha.
“Sam, loe janji ya harus kuat?” Pinta Lala.
“Gue janji. Apapun yang loe ceritain soal Adi, gue bakal terima.” Samantha berjanji.
“Adi cuman nitipin ini ke gue.” Kata Samantha sambil mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyerahkan ke Samantha. Samantha mulai membaca.

Dear Samantha,
Gue minta maaf kalau selama ini bikin hidup loe penuh pertanyaan soal perhatian gue ke loe dulu. Mungkin perhatian gue bikin loe salah paham. Bikin hati loe nggak tenang. Selama ini gue Cuma anggep loe sebagai adik gue. Nggak lebih. Gue juga minta maaf, karena gue, loe nggak bisa buka hati buat cowok lain. Terima kasih, karena loe mau tulus sayang sama gue. Tapi maaf, gue nggak bisa bales perasaan itu. Ada sesuatu hal yang bikin gue nggak mungkin bisa milih loe. Loe berhak buat bahagia, Sam. Lupain gue. Cari cowok yang bisa bahagiain loe. Sekali lagi gue minta maaf. Semoga loe bahagia, Samantha.
Ady

Air mata Samantha mengalir. Dia terisak. Hal yang paling dia takutkan selama ini terjadi juga. Pengakuan Adi mengenai perasaannya ke Samantha. Hatinya hancur.
“Adi sama sekali nggak suka sama gue, La.” Kata Samantha disela tangisnya.
“Tenang, Sam. Gue kan udah bilang, loe harus kuat. Mungkin Adi belum jodoh loe aja.” Lala menenangkan Samantha. Samantha semakin terisak. Dia kembali pingsan.
“Sam, Samantha...” Teriak Lala panik.
Keluarga Samantha yang tadi menunggu diluar, berhamburan masuk ke dalam. Dokter dan perawat berlarian mendengar teriakan Lala.
Denyut nadi Samantha melemah, detak jantungnya juga melemah. Tensi darah turun drastis. Wajahnya begitu pucat. Dokter berusaha keras untuk menyelamatkan Samantha.
Melihat Dokter keluar dari ruangan Samantha, Mama Samantha langsung menghampiri.
“Gimana keadaan anak saya, Dokter?” Tanya Mama Samantha. Dokter tidak langsung menjawab. Semua tegang. Tanpa ada yang berbicara.
“Banyak berdo'a, Nyonya.” Hanya itu yang dikatakan dokter. Lalu meninggalkan keluarga dan sahabat-sahabat Samantha yang masih tercengang dengan jawaban Dokter. Tubuh Mama Samantha limbung, jatuh pingsan. Dengan sigap Rendy, kakak Samantha menangkap tubuh Mamanya.  

 Satu jam kemudian,,
Semua keluarga Samantha, Lala, Marfin, Raisa dan Rafael berkumpul diruangan Samantha. Mama Samantha duduk disebelah ranjang anaknya itu.Matanya hanya memandangi Samantha.Dibelakangnya berdiri Papa Samantha dan Randy serta Margareth calon istri Randy.Raisa,Marfin dan Rafael berdiri mematung disamping kiri ranjang tempat Samantha terbaring.Sedangkan Lala mondar mandir terlihat sibuk menelpon seseorang.
Wajah Samantha pucat. Matanya terpejam erat. Tangannya memeluk erat buku kecil didadanya. Seperti tidak mau melepaskan buku itu.
Suasana ruangan itu sepi. Tanpa suara apapun. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung. Terdengar suara pintu diketuk. Perawat datang dari balik pintu.
“Maaf, permisi. Ini ada yang mencari nona Samantha.” Kata perawat. Muncul seorang pria dengan tubuh jangkung.
“ADI??” Teriak Lala. Semua mata saling berpandang bingung.
“Selamat siang semua.” Sapa Adi sopan.
“Siang.” Jawab beberapa orang.
“Akhirnya loe dateng juga.” Ucap Lala penuh syukur. Ternyata yang sedari tadi dihubungi Lala adalah Adi.
“Nak Adi?” Sapa Mama Samantha. Keluarga Samantha sudah lumayan mengenal Adi karena dulu dia sering main ke rumah.
“Iya Tante.” Adi menyalami keluarga Samantha dan sahabat-sahabatnya.
“Silahkan.” Mama Samantha berdiri dari duduknya. Mempersilahkan Adi duduk dikursi yang tadinya dia duduki.
“Terima kasih Tante.”

Perlahan Adi duduk. Dipandanginya wajah pucat Samantha dengan selang oksigen terpasang dihidungnya. Setahun setelah pertemuan terakhir mereka. Wajah Samantha banyak berubah. Yang dulunya ceria, penuh tawa, kini pucat pasi. Matanya yang bulat penuh cahaya, kini tertutup rapat. Ocehan yang biasanya Adi dengar pun, kini serasa hilang ditelan bumi. Adi tidak mampu berkata. Walau dalam suratnya dia bilang hanya menganggap Samantha sebagai adiknya, namun hatinya berkata lain. Dia teramat sayang pada gadis itu, sebagai pria dan wanita. Bahkan sejak SMA dulu. Hanya karena merasa dirinya terlalu kotor untuk gadis sepolos dan sebaik Samantha, dia memilih pergi meninggalkan Samantha. Hingga dia harus bertunangan dengan gadis pilihan orang tuanya  yang tidak pernah dia cintai sedikit pun.
“Sam?” Suara Adi bergetar. Digenggamnya tangan Samantha yang dingin.
“Maafin gue. Maafin gue udah bohongin loe. Maafin gue udah ninggalin loe dan tunangan sama cewek lain.” Mata Adi berkaca-kaca. Terlihat jelas penyesalan diwajahnya.
“Gue cinta loe, Sam. Gue mohon loe bangun. Gue janji bakal bahagiain loe. Kita lewatin hari-hari kayak dulu lagi. Gue mau ajak loe ke danau kita dulu. Gue..” Adi tidak kuat meneruskan kata-katanya. Dia terisak. Tidak terkecuali semua yang ada diruangan itu. Mata Samantha terbuka. Dia sadar dari pingsannya.
“Sam?” Kata Raisa lirih.
“Samantha sadar.” Tambah Rafael.
Semua mendekat. Adi menghapus air matanya. Ditatapnya Samantha dengan segenap cinta. Samantha balas menatap. Dia tersenyum. Dipandanginya satu persatu orang yang ada diruangan itu. Mama, Rendy, Margareth tunangan Rendy, Raisa, Lala, Marfin dan Rafael. Terakhir Adi. Dengan lemah Samantha menyerahkan buku kecil yang sedari tadi dipeluknya ke pada Adi. Adi menerimanya.
“Apa ini, Sam?” Tanya Adi dengan suara parau. Samantha tidak menjawab. Dia tatap wajah Adi. Dia tersenyum. Membalas genggaman Adi.
“Terima kasih, Adi. Karena mencintaiku. Aku juga cinta kamu.” Suara Samantha terdengar berat. Matanya tertutup perlahan. Genggaman tangannya melemah hingga akhirnya terlepas dari tangan Ady.
“SAM??” Teriak Mama Samantha.
“SAMANTHAA?” Teriak sahabat-sahabat Samantha. Adi hanya terpaku tanpa suara memandang wajah Samantha. Yang kini matanya tertutup rapat.
Dokter keluar dari ruangan Samantha. Ditujunya keluarga dan sahabat Samantha yang terduduk lemas.
“Maaf, Nyonya. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan tempat terindah untuk Samantha di sisiNya.” Kata Dokter. Semua tercengang. Tidak bisa mereka percaya kalau Samantha telah pergi .
Mama Samantha pingsan. Semua terisak. Adi tidak bersuara. Pandangannya kosong. Menerawang jauh entah kemana. Air matanya mengalir tanpa permisi.
———
Tanah merah mulai menutupi tubuh Samantha yang terbujur kaku. Diiringi hujan rintik yang mulai membasahi bumi. Langit seakan ikut bersedih atas kepergian Samantha. Sore itu memulai babak baru dikehidupan Samantha selanjutnya. Satu persatu kerabat yang mengantar pemakaman Samantha meninggalkan tempat. Hanya tinggal Adi dan Lala.
“Gue nggak nyangka, La. Senyuman itu adalah senyuman terakhir Samantha. Gue nggak akan lagi bisa ngeliat senyumnya, tawanya, candanya. Nggak akan bisa. Gue nyesel udah sia-siain dia dulu.” Kata Adi sedih. Air matanya keluar begitu saja.
“Udahlah, Di. Semuanya udah terjadi. Loe jadiin aja pelajaran buat loe.” Lala menenangkan. Padahal sebenarnya dia sendiri juga terpukul dengan kepergian Samantha.
“Andai saja dulu gue lebih berani buat nyatain perasaan gue ke Sam.” Sesal Adi.
“Udahlah! Setidaknya loe tu udah tau kalo Sam cinta sama loe. Dan Sam juga tau kalo loe cinta sama dia. Gue yakin dia pergi dengan tenang. Relain dia, Di.
Dengan berat Adi meninggalkan pusara Samantha. Dia mencoba ikhlas melepaskan Samantha. Merelakan gadis yang dia cintai pergi untuk selamanya.
Adi duduk merenung didekat jendela kamarnya. Memandang jauh keluar jendela. Perlahan dibukanya buku yang diberikan Samantha siang tadi. Dia buka halaman pertama. Tertulis ' All Abuot Adi '. Yang ditulis tangan oleh Samantha. Halaman kedua dia buka. Dilihatnya potret dirinya yang sedang tersenyum. Dibawah foto tertulis ' Ady saat tersenyum '. Halaman ketiga dia buka. Ada lagi potret dia saat bermain voli dan tertulis dibawahnya ' Ady begitu keren saat main voli '.
Air mata Adi kembali menetes. Dia begitu menyesal telah mencampakan Samantha. Dibukanya lagi halaman perhalaman. Sampai pada sebuah halaman, dimana halaman sebelah kiri ada potret Samantha yang sedang tersenyum dan sebelah kanan ada potret Ady yang juga tersenyum. Adi tersenyum. Dia buka halaman selanjutya. Sampai ke halaman terakhir. Ada tulis tangan Samantha.

Dear Adi,
Adi, apa kamu tau kalau selama Lima tahun ini aku cinta sama kamu? Apa kamu tau aku berharap kamu nembak aku? Selama ini juga, aku bertanya-tanya. Sebenernya apa yang kamu rasakan terhadapku? Apakah sama dengan apa yang aku rasakan ataukah sebaliknya?
Aku tau aku jauh dari tipe cewek yang kamu suka. Tapi aku tulus cinta sama kamu. Sejelek apapun kelakuan kamu dulu, aku bisa terima. Apa cewek lain bisa kayak gitu? Kenapa kamu selalu perhatian sama aku? Kamu tau nggak kalau itu bikin aku tersiksa? Perhatian kamu ke aku itu bikin aku bingung, Di. Apa sih maksud kamu? Cuma kasih aku harapan kosong?
 Tapi, dengan begitu aku tau gimana cinta yang sesungguhnya. Tanpa harus memiliki. Terima kasih Adi. Terima kasih untuk semua waktumu dulu. Terima kasih telah membuat hari-hariku dulu menjadi begitu indah. Terima kasih telah mengajarkanku bagaimana cinta itu yang sesungguhnya. Terima kasih telah mengajarkanku untuk tulus mencintaimu dan setia mencintaimu. Terima kasih telah membuatku menangis karena merindukanmu. Terima kasih, Adi.
Samantha

Adi kembali terisak. Dia pandangi potret wajah Samantha. Dia ambil kotak dari bawah ranjangnya. Dia keluarkan satu persatu barang dalam kotak itu. Cincin, jepit rambut, kalung dengan liontin bintang, beberapa novel, potret Samantha yang Adi ambil dengan diam-diam, surat dan sebuah diary kecil. Semua barang itu untuk Samantha. Tapi Adi tidak punya keberanian untuk memberikannya pada Samantha.
Adi memasukkan buku dari Samantha ke kotak itu. Beberapa potret Samantha yang terpajang di meja kamar Adi juga dimasukkan ke kotak. Ditinggalkannya kotak itu di gudang. Ditumpuk diatas barang lain.

Samantha mengajarkanku menghargai hidup. Menghargai apa yang kita punya saat ini. Mencintai apa yang kita punya saat ini. Selalu ceria dan tertawa seperti apapun keadaan kiita saat ini. Dia juga mengajarkanku bagaimana mencintai yang sesungguhnya. Terima kasih Samantha untuk semua waktu kamu. Terima kasih untuk cinta kamu. Selamat jalan Samantha. Semoga kamu menemukan kebahagiaan disisi-Nya. ( Ady )


- END -

Sabtu, 22 November 2014

COMPLICATED Part 4



Acara makan malam di rumah keluarga Ontowiryo semalam berjalan ‘hangat’. Seenggaknya untuk keluarga Ontowiryo sendiri dan juga keluargaku. Kalau bagiku sama sekali enggak. Mereka seperti berkomplot untuk selalu mendekatkanku dengan Arsa. Seperti saat Tante Syarika memintaku dan Arsa untuk mengambil pesanan kue di toko Bakery langganannya. Kemudian saat Mama memaksaku untuk berkeliling rumah keluarga Ontowiryo dengan ditemani Arsa. Kalau tidak ingat sopan santun, sudah pasti aku kabur dari sana. Menyebalkan!
“Malam, Rhea.”
Aku sedikit berjengit mendengar Mas Asta menyapaku. Malam ini dia terlihat ganteng banget dengan setelan baju kerja yang masih rapi pada jam segini. Wajahnya terlihat segar dengan bulu-bulu halus yang mulai tumbuh disekitar rahang dan pipinya. Membuatnya terlihat semakin maskulin.
“Malam, Mas.” Aku membalas sapaan Mas Asta dengan nada riang. Jelas. Rasa sebalku mengingat acara makan malam semalam langsung lenyap begitu melihat senyum Mas Asta.
“Ke atas bareng?”
“Boleh.” Aku meraup map yang berisi berkas-berkas untuk rapat, laptop dan notebook. Kemudian mengikuti langkah Mas Asta menuju ruang rapat di lantai tiga.
Sesampainya di ruang rapat aku langsung meletakkan fotokopian data yang diantar Mas Asta kemarin ke setiap meja yang sudah berisi beberapa panitia acara yang sudah mulai berdatangan. Bersamaan dengan itu Bu Siska dan beberapa orang lagi masuk ke dalam ruangan. Aku mengambil duduk di samping Bu Siska dengan laptop terbuka dihadapanku dan notebook warna hijauku. Siap mencatat apa pun yang diinstruksikan Bu Siska.
“Selamat malam semua. Malam ini kita akan membahas tentang perubahan susunan acara yang sebelumnya sempat disinggung di rapat kemarin. Susunan acara baru, sudah saya siapkan di meja saudara-saudara. Jadi, untuk acara pembukaan nanti saya inginnya─”
───

Ini si Ares mana, sih? Katanya mau jemput. Tapi belum juga nongol. Kalau saja nyari taksi di jam sebelas malam kayak begini gampang, sudah pasti aku pulang naik taksi, deh. Dan sejak sepuluh menit lalu aku harus memasang senyum lebar setiap kali panitia-panitia acara festival menyapaku saat mereka mau pulang. Walaupun sebenarnya aku lagi dongkol setengah mati.
“Belum pulang, Rhe?” Bu Siska menyapaku. Dia berjalan berdampingan dengan Mas Asta.
“Belum, Bu. Nunggu jemputan.” Jawabku masih harus dengan senyum lebar.
“Mau bareng? Kita kan, searah.” Mas Asta menawari.
“Nah. Tadinya saya mau menawari. Tapi tau sendiri rumah saya di Pakuwon sini.” Sahut Bu Siska yang terlihat hanya basa-basi. “Asta. Nitip Rhea, ya. Saya pulang dulu. Kalian hati-hati.” Kata Bu Siska kemudian berjalan pergi tanpa menunggu jawaban dariku atau pun Mas Asta.
“Ayo, Rhe.” Mas Asta mempersilahkanku. Dia membukakan pintu untukku, menahannya, membiarkanku lewat terlebih dulu, baru dia menyusul di belakangku. Cowok banget, kan? Gimana nggak suka, coba.
“Kenapa untuk acara pembukaan festival nggak jadi pakai tari-tarian Bali, Mas?” Aku bertanya pada Mas Asta.
“Katanya Siska kemarin, tarian Jawa lebih masuk ke tema. Selama ini kan, kita taunya pusat batik ada di Jawa. Ya walaupun hampir setiap daerah di Indonesia memiliki batik khas masing-masing, sih. Aku juga nggak ngerti sama pendapat Siska itu. Ya namanya Bos, mana bisa kita membantah kemauannya, Rhe.”
“Iya, sih.” Aku setuju dengan apa yang dibilang Mas Asta barusan. Bu Siska itu orangnya keras. Apa yang dia inginkan, ya harus dilakukan. Pendapat orang lain nggak akan diterimanya begitu saja.
“Mas Asta sudah lama kenal sama Bu Siska?” Aku bertanya lagi.
Mas Asta menekan tombol lock pada kunci mobilnya sebelum menjawab. “Lumayan. Dia itu sahabatku sejak kuliah. Ya sekitar dua belas tahun lah.” Mas Asta berkata kemudian berhenti di depan Fortuner hitamnya. Aku mengikutinya.
“Wow. Udah lama, ya? Emang sejak dulu Bu Siska gitu, ya orangnya?”
“Gitu gimana?” Mas Asta bertanya sambil membuka pintu penumpang untukku.
“Keras, disiplin.”
“Oh. Kalau soal itu rasanya dari zamannya dia bocah kali, ya.”
Aku tertawa pelan mendengar candaan Mas Asta. “Mas kenapa nggak pacaran sama Bu Siska aja?” Sedetik kemudian aku menyesal menanyakan hal itu. Duh! Kenapa bisa keceplosan begitu, sih?”
Bukannya tersinggung, Mas Asta malah tertawa. “Ya nggak mungkinlah. Kami itu sahabat, Rhe. Nggak akan bagus jadinya kalau persahabatan dicampur aduk sama roman picisan. Lagipula, aku sudah tau baik buruknya dia, begitu pun sebaliknya. Rasanya aneh kalau sampai kami pacaran”
Tanpa kusadari aku menarik napas lega saat mendengar jawaban Mas Asta. Peluang terbuka lebar. Karena yang kudengar dari anak-anak kantor, Mas Asta itu masih single.
“Kamu sendiri, apa salah satu dari dua cowok yang ada di rumah kamu kemarin itu adalah pacar kamu?”
Aku terdiam sesaat. Dua cowok di rumahku kemarin? Siapa? Oh… pasti maksudnya Arsa sama Ares.
“Oh. Itu yang tinggi anak temennya Mama. Kalau yang agak pendekan Ares, kakakku. Aku nggak ada pacar, kok.” Jawabku.
“Masa, sih? Cewek secantik dan semenarik kamu nggak ada pacar? Nggak percaya, deh.”
Tanpa bisa dicegah, mendengar perkataan Mas Asta tersebut, wajah dan hatiku menghangat.
“Seriusan, Mas. Aku orangnya nggak gampang suka sama orang. Kalau kata sahabatku, sih, terlalu pilih-pilih. Menurutku, kalau buat pasangan itu ya memang harus memilih. Masa asal comot aja, gitu.”
“Cowok seperti apa yang kamu suka?” Mas Asta bertanya lagi. Wajahnya berubah serius. Menyadari itu, dadaku jadi berdebar.
“Ya kayak cewek kebanyakanlah.”
“Tinggi, ganteng, baik, pengertian, cinta mati sama kamu, karir bagus?” Sahut Mas Asta.
“Kurang lebih.” Jawabku dengan tersenyum.
“Aku masuk kriteria, dong.” Mas Asta berkata dengan senyum jahilnya. Aku tahu perkataannya itu hanya bercanda. Tapi tetap saja jantungku kebat-kebit nggak jelas. Maka dari itu, aku hanya menanggapinya dengan tawa.
Tapi, mendadak tawa Mas Asta menghilang. Dia menatapku serius. Tanpa sepatah kata pun. Aku membalas tatapannya. Saat itu juga aku merasa aktifitas di sekitar kami seperti terhenti. Hanya ada aku dan dia. Mas Asta mengangkat tangannya. Membelai pipiku dengan lembut. Aku tidak menanggapi, juga tidak menolaknya. Hanya terpaku menanatap Mas Asta.
Seperti tersengat, Mas Asta menarik jemarinya dari pipiku. “Sorry.” Kata Mas Asta, salah tingkah. Mendadak suasana berubah canggung.
“Masuk mobil, gih. Udah malem.” Kata Mas Asta. Aku jadi ikut salah tingkah akibat ulah Mas Asta barusan. Sesaat sebelum aku masuk ke mobilnya, seseorang memanggilku.
“Rhea?”
Aku dan Mas Asta menoleh serentak. Arsa berjalan menghampiri kami dengan langkah tegasnya. Senyum lebar tersungging di wajahnya. Duh! Ini cowok nggak tahu banget kalau aku udah lama nungu-nunggu momen cuma berdua Mas Asta seperti ini.
“Ngapain di sini?” Tanyaku. Tanpa kusadari nada suaraku berubah jadi ketus.
“Jemput kamu.” Jawab Arsa kalem dengan wajah tanpa dosa. “Tadi Ares telepon minta tolong aku buat jemput kamu. Dia lupa kalau ada janji sama Kania.”
Oh. Jadi, adegan tadi pagi Mama memaksa untuk pinjam mobilku itu─yang katanya mau dipakai ke rumah keluarga Ontowiryo buat membicarakan masalah reuni SMA mereka─karena ini tho? Dan Ares, yang tadi pagi menawarkan diri untuk menjemputku mendadak ada janji dengan Kania? Ah, klasik. Aku yakin, pasti ini rencana mereka. Mungkin kerjasama juga sama Tante Syarika. Dasar! Licik banget.
“Dan dia minta kamu buat jemput aku, tanpa ngasih tau aku dulu, gitu?” Tanyaku masih dengan nada ketus. Kemudian aku melihat tatapan Arsa teralih ke Mas Asta. Mendadak senyum menghilang dari wajahnya.
“Mas Asta, ini Arsa. Dan Arsa, ini Mas Asta.” Aku memperkenalkan dua cowok itu. Mereka saling tatap sesaat, kemudian berjabat tangan. Jabatan tangannya sama-sama tegas. Tanpa senyum. Tanpa sepatah kata. Dan melihat hal itu perasaanku mendadak jadi nggak enak.
“Emm… Mas Asta, sorry, aku pulang bareng Arsa ya.” Kataku dengan menyesal. Menyesal banget karena nggak jadi pulang bareng Mas Asta. Padahal─kalau aku nggak salah mengartikan sentuhan Mas Asta tadi─dia kelihatan mulai tertarik padaku.
It’s okay, Rhe.” Jawab Mas Asta, tapi mukanya nggak ikhlas. “Lain kali kita ngobrol lagi.” Lanjutnya.
“Oke. Sampai ketemu lagi.” Kataku kemudian berbalik dan berjalan mengikuti Arsa menuju mobilnya.
───
“Kamu suka sama cowok tadi?” Arsa berkata tanpa menatapku. Ini suara pertama yang muncul di mobil sejak kami meninggalkan kantorku tadi. Padahal sekarang ini sudah hampir sampai di rumahku.
“Iya.” Jawabku. Dari ekor mata, aku melihat wajah Arsa mengeras. Tapi hanya sesaat.
“Sudahi perasaan kamu itu daripada nantinya terluka.” Lanjut Arsa dengan nada dingin.
Seketika aku menoleh untuk menatapnya. “Maksudnya apa, tuh?”
Arsa membelokkan stir ke kompleks rumahku sebelum menjawab. “Aku bakal kasih tau kamu alasannya. Tapi nggak sekarang.”
Oh, okay. Jadi si mister sok cool ini lagi sok-sokan jadi orang misterius juga, tho? Badanku sedikit tersentak ke depan saat Arsa menghentikan mobilnya mendadak. Tapi mataku tidak teralih darinya.
“Lagi pula, kita dijodohin. Orangtua kamu sudah bilang soal itu, kan? Jadi jangan coba-coba buat dekat sama cowok lain.” Arsa berkata masih dengan nada dingin, tapi tegas.
Aku tertawa sinis. “Jangan berkata seolah-olah kita akan benar-benar menikah, Arsa. Karena aku, menolak perjodohan ini.” Jawabku dengan tegas. Aku melepas seat belt dengan kasar. Kemudian meraih handle pintu. Terkunci.
“Buka!” Kataku dengan suara sedikit tinggi. Entah kenapa, sejak mendengar perkataan Arsa mengenai perasaanku terhadap Mas Asta tadi, aku tiba-tiba jadi emosi.
“Kita memang akan menikah, Rhea. Kamu nggak bisa mengelak dari perjodohan ini.” Arsa berkata dengan nada dingin dan tajam.
Aku hampir nggak percaya dia mengatakan itu. Karena kesan yang kutangkap saat pertama kali kami bertemu kemarin adalah sikapnya yang hangat. Aku jadi ragu kalau saat kami kecil dulu bersahabat baik.
Aku tersenyum sinis. Kemudian berkata dengan nggak kalah sinisnya. “Oh, ya? Kita lihat saja nanti. Sekarang buka kuncinya. Aku mau istirahat.”
Arsa mengatupkan rahangnya kuat. Menatapku tajam tanpa berkata apa pun. Dia memejamkan mata sesaat, lalu membuka kunci pintu mobil. Aku segera turun dari mobil Arsa tanpa sepatah kata pun.

───

COMPLICATED PART 5

Kamis, 20 November 2014

Saat Putih Abu-abu Menjadi Kenangan



Percaya nggak percaya, masa putih abu-abu atau masa SMA nggak akan pernah hilang dari memori kita, nggak akan pernah lepas dari kenangan kita. Pasti semua akan setuju kalau aku bilang bahwa, masa-masa SMA itu adalah masa yang paling indah. Sejujurnya masa itu adalah masa yang paling aku rindukan dan kalau bisa aku ingin kembali ke masa itu (walau aku tahu kalau itu mustahil… L).
Disana banyak sekali hal yang terjadi. Mulai dari masa orientasi, perkenalan, persahabatan, persaingan, pertengkaran, hingga akhirnya semua itu menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Kalau aku, di masa itulah aku merasa menjadi remaja yang bandel. Suka protes, suka memberontak dan suka menuntut. Aku ingat banget bagaimana bandelnya aku dulu. Seperti anak SMA kebanyakan, sewaktu kelas sepuluh saat masih menjadi anak SMA baru, aku masih sangat patuh dengan peraturan yang ada di sekolah. Begitu naik ke kelas sebelas, perubahan itu mulai terjadi.
Yang tadinya kemeja dimasukkan dengan rapi, berubah jadi nggak pernah dimasukkan. Rok yang tadinya panjang di bawah lutut, berubah jadi pendek selutut. Kaos kaki yang tadinya panjang sebetis, berubah jadi pendek semata kaki. Dan rambut yang tadinya hitam legam, berubah warna jadi biru keunguan.
Belum lagi kebiasaan telat saya setiap hari. Malamnya begadang gara-gara nonton film kalau nggak baca novel, paginya bangun kesiangan, ketinggalan bus, telat sampai sekolah, minta surat izin guru piket, kena omel panjang lebar. Dan yang paling bikin malu adalah, hukuman sosial yang berupa tugas mencabuti rumput lapangan dan bersih-bersih ruang guru. Duhh…. malunya guys. Belum lagi nanti pas sampai kelas masih kena omel lagi sama guru.
Kemudian diberlakukannya peraturan baru oleh guru ekonomi di sekolahku (emang dasar guru ekonomi, yang ada dipikirannya cuma uang melulu). Jadi, setiap kali terlambat masuk kelas, waktu itu kena denda uang. Baju nggak dimasukkan juga kena denda uang. Sampai akhir tahun itu uang hasil pelanggaran bisa dipakai buat sewa bus untuk rekreasi bersama (serius, nggak bohong) karena saking seringnya murid-murid melanggar dua peraturan itu.
Hal-hal kayak begitulah yang sebenarnya sangat aku rindukan. Candaan di kelas pas jam pelajaran, nge-bully teman bahkan sampai nge-bully guru sampai bikin beliau nangis (yang ini jangan ditiru… dosa!) sorakan-sorakan norak, teriakan-teriakan jahil. Bolos pelajaran, bolos sekolah. Nongkrong di UKS sampai akhirnya kena omel guru jaga karena berantakin UKS. Nongkrong di KOPSIS pas jam pelajaran sambil nonton acara musik. Nongkrong di belakang kelas. Nyolong mangga di kebun sekolah. Bolos jam olahraga dengan alasan nyeri datang bulan. Telat di ahri Senin dan nggak ikut upacara yang akhirnya dihukum hormat di bawah tiang bendera kalau enggak disuruh keliling sekolah sambil bilang ‘saya terlambat datang ke sekolah, saya tidak ikut upacara, dan saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi’ (tapi masiiih saja dilanggar). Duhh… masa-masa konyol bin bodoh itulah yang sangat bikin kangen.
Satu lagi yang nggak pernah lepas dari masa SMA. Cinta. Iya, C.I.N.T.A. Love. Naksir teman sekelas, naksir kakak kelas, naksir si kapten basket yang populer, naksir ketua OSIS yang nerd tapi pinter dan ganteng, naksir cowok kelas sebelah yang cool. Kalau aku pribadi, dimasa inilah aku mengalami yang namanya cinta pertama. Karena sampai sekarang pun aku masih menyukai orang itu (curhat colongan… J).
Mojok berdua di kantin, ngobrol berdua di bawah pohon trembesi depan sekolah, janjian ketemu di toilet pas jam pelajaran, pulang bareng, duduk sebangku. Eitsss…. Tapi aku nggak punya sejarah tentang hal-hal yang baru kusebutkan, lho. Itu yang aku lihat dari teman-temanku (serius, nggak bohong).
Dan akhirnya perpisahan itu pun terjadi. Selepas SMA, semua sibuk menggapai mimpi untuk masa depan. Komunikasi semakin jarang, pertemuan jauh berkurang. Sampai akhirnya lost contact dan nggak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kenangan-kenangan itu sering melintas baik saat kita sadar maupun dalam mimpi kita. Kita merindukan masa itu, ingin mengulang masa itu, tapi kita nggak bisa mewujudkannya. Kini, semua menjadi sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan nggak jarang masa SMA itu hanya sekedar kenangan untuk sebagian orang.
Sapalah sahabat-sahabat SMA kalian dulu. Biar bagaimana pun, mereka menyumbang kenangan dalam memorimu. Biar bagaimana pun, kamu pernah berbahagia bersama mereka. Kalian pernah sama-sama bercita-cita. Kalian pernah bercanda tawa, kalian pernah saling mendukung, kalian pernah gila-gilaan bareng.
Jangan biarkan kesibukanmu sekarang menjadi dinding pembatas yang akhirnya menjadi semkain tinggi karena kamu nggak pernah berusaha untuk meruntuhkannya. Sapalah mereka, sebelum kalian menyesal karena terjadi sesuatu yang nggak memungkinkan kalian bertemu lagi dengan mereka.

Anis
^_^


Berikut adalah beberapa quotes tentang persahabatan.

“Saat-saat seragam putih abu-abu mendominasi. Hari-hari yang dimuali dengan kejamnya orientasi, lalu perkenalan, lalu persahabatan, lalu kenangan.” ~Winna Efendi (Remember When)

“A friend is someone who knows all about you and still loves you.” ~Elbert Hubbard

“Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan. Kenanglah sahabat… kita untuk slamanya.” ~Bondan Prakoso (Kita Slamanya ♫)

“But when we leave this year we won't be coming back. No more hanging out cause we're on a different track. But when we leave this year we won't be coming back.” ~Vitamin C (Graduation ♫)


Sabtu, 01 November 2014

COMPLICATED Part 3




Ini boleh nggak, sih, kalau aku minta izin Papa buat ke kamar gitu? Ngantuk banget. Selesai makan siang para orangtua masih melanjutnya mengobrolnya di ruang keluarga. Mia dan Janeta sedang seru main PS sama Ares dan Arsa. Sedangkan aku, nggak tahu gimana ceritanya bisa terjebak duduk di sofa bareng para orangtua.

Aku menyikut pelan siku Mama yang duduk di sampingku, “Ma, Rhea ke kamar ya?” Aku bertanya, dan langsung mendapat tatapan tajam dari Mama.

“Ngantuk, Ma.” Aku merengek.

“Nggak sopan. Mendingan ikutan nimbrung sama Mas-mu sana.” Mama berkata setengah berbisik.

“Oke.” Aku menjawab dengan malas kemudian berdiri. Malas banget kalau harus bergabung main PS sama itu cowok dua dan Mia-Janeta. Maka aku berjalan menuju teras samping yang langsung terhubung dengan ruang keluarga. Siang ini lumayan sejuk. Halaman rumahku memang banyak tanaman, sih. Ada beberapa pepohonan tinggi dan tanaman-tanaman hias peliharaan Mama. Aku duduk di kursi rotan yang diletakkan di dekat jendela.

“Masih sekolah, Rhe?”

Aku agak kaget saat tiba-tiba Arsa muncul di sebelahku. “Oh, itu... enggak. Maksudnya udah lulus setahun lalu.” Jawabku dengan tergagap.

“Dulu, kuliah di mana?” Arsa bertanya lagi sambil duduk di kursi rotan sebelahku.

“Arva School of Fashion.”

“Ambil jurusan?”

Fashion desainer-lah. Apalagi memang.” Ini kenapa jadi kayak dialog interviewku sama Bu Siska setahun lalu, sih? Flat banget.

Baiklah, demi memecah kecanggungan, sepertinya aku harus bertanya juga. “Emangnya pas kecil dulu kita tetanggaan, ya? Seingatku dari aku kecil rumah sebelah itu punya keluarga Pak Danang.”

Arsa tersenyum. “Itu tetangga sebelah kanan rumahmu. Aku kan tetangga sebelah kiri. Ya, itu dulu rumahku.” Arsa menatap rumah sebelah yang sekarang berdiri menjulang di depan kami.

“Ohh…”

“Kamu beneran nggak ingat aku?” Arsa menautkan kedua alisnya. Menatapku serius.

“Hehee… enggak.” Jawabku dengan cengengesan. Kami saling diam untuk beberapa detik.

“Luka dilutut kanan kamu masih ada?” Arsa bertanya.

Refleks aku langsung melihat lutut kananku. Memang ada bekas luka yang sekarang warnanya memutih. Tapi aku nggak ingat cerita dibalik luka itu.

“Kok bisa tau, sih?”

“Itu dulu kamu jatuh gara-gara ngejar aku yang ngambil boneka kamu. Nggak ingat juga?” Arsa menjelaskan. Aku menggeleng.

Speechless. Dia masih ingat gitu sama kejadian… sembilan belas tahun lalu. Aku saja sama sekali nggak ingat.

“Jangan-jangan boneka beruang yang aku kasih buat hadiah perpisahan kita itu udah kamu buang lagi?” Arsa bertanya lagi. Boneka beruang? Hadiah perpisahan?

“Boneka beruang warna coklat itu bukan, sih?” Aku bertanya ragu. Wajah Arsa terlihat sumringah. Dia mengangguk mengiyakan. “Diminta sama ponakanku. Ya aku kasih aja.” Wajah sumringah Arsa berubah jadi kecewa.

Sampai segitunya? Aku saja yang punya boneka itu biasa-biasa saja. Lagipula, masa iya segede ini masih mainan boneka. Seingatku, aku hanya punya satu boneka itu karena aku memang bukan tipe cewek pecinta boneka. Dan mengingat umurku yang saat itu sudah tujuh belas tahun, maka saat Leora ponakanku meminta boneka itu ya, aku berikan.

“Maaf, deh. Nggak tau kalau itu dari kamu.”

It’s okay.” Arsa membuang tatapannya ke taman. “Udah gede ini juga. Masa masih mainan boneka.” Arsa melanjutkan kemudian tersenyum.

“Kamu sekeluarga emangnya pindah ke mana?” Aku bertanya.

“Jakarta.” Jawab Arsa pendek. Aku hanya manggut-manggut.

“Non Rhea.”

Aku menoleh saat mendengar suara Bik Nah. “Ya, Bik?”

“Ada tamu nyari Non.”

“Siapa?” Tumben banget ada tamu yang nyari aku.

“Ngg… lupa tanya namanya. Sekarang nunggu di teras depan.” Jawab Bik Nah kemudian berlalu.

“Mau ikut?” Aku menatap Arsa.

“Nemuin tamu kamu, gitu?”

“Ya kali mau ketemu sama pohon Rambutan yang Tante bilang tadi.” Aku menjawab dengan candaan. Arsa tertawa pelan.

“Nggak, deh.”

“Ya udah. Aku tinggal kalo gitu.” Aku berkata kemudian berjalan menyusuri teras samping yang langsung terhubung dengan teras depan. Agak kaget saat mendapati Mas Asta duduk di salah satu kursi yang ada di teras.

“Mas Asta?”

“Eh, Rhe. Tadinya aku telepon kamu, tapi nggak diangkat. Makanya langsung masuk aja. Aku ganggu acara keluarga kamu, ya?” Mas Asta berkata.

“Ah, enggak kok. Cuma temen-temennya Mama. Lagi reuni kayaknya.” Aku duduk di kursi satu lagi. “Ada perlu apa, Mas?”

“Oh, ini. Ada titipan dari Bu Siska. Tadinya beliau juga telepon kamu pas kamu belum lama ninggalin butik. Tapi nggak kamu angkat. Jadinya aku bawa aja. Kan rumah kita lumayan deket.”

“Masa, sih? Aku kok nggak dengar HPku bunyi, ya?” Bahkan sekarang aku lupa tasku tadi kuletakkan di mana. Aku menerima map dari tangan Mas Asta. Kemudian membuka untuk melihat isinya.

“Itu hasil rapat hari ini. Ada perubahan susunan acara. Kamu diminta untuk kertik ulang. Terus fotokopi sebanyak dua puluh lembar untuk rapat besok malam.”

“Rapat lagi?” Aku memekik tertahan.

Mas Asta tersenyum maklum. “Capek, ya, pulang malem terus?”

“Iya. Sampek tengah malem gitu. Udah capek, ngantuk, masih harus nyetir sejauh Hr. Muhammad-Rungkut lagi.”

“Mau pulang bareng?”

Pengen rasanya langsung teriak, ‘Mau banget, Mas.’ “Ngerepotin lagi dong ceritanya.” Aku tersenyum.

“Ya udah. Aku pulang aja. Kamu kan masih ada tamu, nggak enak kalau kelamaan ninggal mereka.” Mas Asta berdiri. Aku ikut berdiri.

“Tamu Mama, kok. Thanks ya, Mas, udah mau jauh-jauh nganterin titipan Bu Siska.” Aku tersenyum sopan.

“Sama-sama.”

Bersamaan dengan itu, segerombol manusia yang sedari tadi sibuk ngobrol di ruang keluarga muncul dari ruang tamu. Obrolan mereka langsung terhenti dan menatapku sama Mas Asta bergantian. Mas Asta mengangguk dan tersenyum sopan.

“Siapa, Rhe?” Mama bertanya dengan pandangan penasaran.

“EO buat acara festival butik, Ma. Ada urusan kerjaan.” Jawabku. Aku yakin, setelah semua orang ini pergi, Mama pasti akan menanyaiku macam-macam. Beliau nggak akan percaya begitu saja dengan jawabanku.

“Pulang ya, Rhe.” Mas Asta berpamitan, kemudian menyentuh pelan pinggangku. Sumpah, aku lumayan kaget dengan tindakan Mas Asta barusan. Bisa gitu ya, ngelakuin hal kayak begitu di depan orangtuaku dan teman-temannya.

“Mari semua.” Mas Asta menyapa semua orang kemudian berjalan keluar gerbang menuju mobilnya.

Suasana tiba-tiba terasa canggung. Semua mata masih terarah padaku. Memang sebegitu anehnya, ya, melihat laki-laki dan wanita hanya berdua?

───

“Yakin itu EO acara kantor kamu?” Mama bertanya padaku begitu semua orang pulang.

“Iya, Ma. Dia nganter titipan Bu Siska, nih.” Aku menunjukkan map yang dibawa Mas Asta tadi. Mama masih menatapku curiga.

“Mama nggak suka kalau kamu dekat sama orang tadi.” Tegas Mama mengatakan itu. Apa-apaan ini?

“Apaan sih, Ma. Emangnya kenapa kalo aku deket sama Mas Asta?” Aku menatap Mama minta penjelasan.

“Cowok kok cantik begitu.”

“Itu bukan cantik, Ma. Tapi rapi. Karena dia tipe cowok metroseksual yang memperhatikan banget penampilannya.” Mama terlihat ragu dengan pembelaanku. “Mama nggak ngira kalau Mas Asta itu gay, kan?”

“Dari penampilannya saja sudah kelihatan lho, Rhe. Dan setahu Mama, cowok model begitu kebanyakan memang gay.”

Hah? Seriusan itu Mamaku yang barusan ngomong? Kok jadi sarkas begitu? Oke, memang Mas Asta itu tipe cowok metroseksual yang memeperhatikan penampilan banget. Mukanya juga sehalus mukaku yang cewek ini. Yang aku yakin dia dapat dari perawatan di klinik kecantikan. Tapi bukan berarti dia gay, kan? Lagipula aku juga nggak ngelihat ada bedak di wajah Mas Asta.

“Mama itu suka ngasal, deh. Udah, ah. Rhea mau ngerjain tugas dari Bu Siska.” Kataku kemudian meninggalkan Mama yang masih berdiri di teras. Sedangkan Ares dan Papa sudah masuk sejak tamu mereka pulang tadi.

Aku melihat Papa sama Ares lagi main PS. Iya, Papaku yang umurnya lima puluh tahun lebih itu, masih suka main PS. Kayaknya hobi PS Ares itu ya turunan dari Papa ini. Aku berjalan melewati mereka untuk menuju kamarku yang ada di lantai dua.

“Rhea?”

Aku berhenti di ujung pintu saat Mama memanggilku. Apa lagi, sih? “Kenapa, Ma?” Aku menatap Mama yang kini berdiri di samping Papa.

“Mama lupa. Nanti malam kita ke rumah Om Wiryo. Kamu nggak ada acara, kan?”

Ya Tuhan. Baru ketemu, malamnya mau ketemu lagi? “Mau ngapain?”

“Kamu itu mau dijodohin sama Arsa.” Ares menyahut tanpa menatapku. Yang langsung mendapat pukulan dibahu oleh Mama. Aku melongo. Ini si Ares beneran apa ngaco, sih?”

“Apaan?” Aku bertanya.

“Om Wiryo ngundang keluarga kita buat dinner.” Mama menjawab.

“Bukan. Yang dibilang Ares tadi.” Aku menjelaskan.

“Ya apa salahnya? Arsa anak yang baik, ganteng, mapan. Mama sama Papa juga kenal baik sama orangtuanya. Daripada cowok cantik tadi.”

Seriusan, deh. Mama kok nyebelin banget sih, ngomongnya? Tega banget ngatain cowok yang lagi ditaksir anaknya dengan sebutan cowok cantik.

“Siti Nurbaya udah mati kali, Ma. Nggak usah berusaha buat nyiptain Siti Nurbaya baru, deh.” Aku berkata kemudian membalik tubuh dan berjalan menaiki tangga. Tidak ada yang berkomentar. Aku hanya mendengar cekikian Ares.

Jadi, inti dari kedatangan keluarga Ontowiryo ke rumahku siang ini nggak cuma buat ngomongin masalah bisnis doang, tho. Itu lebih ke mereka ingin mengenalkan aku dengan Arsa. Alias menjodohkan kami. Pantas saja, kenapa Papa sama Mama keukeuh banget kalau aku harus ketemu keluarga Ontowiryo ini.

Apa tadi? Perjodohan? Jangan harap. Aku nggak mau dijodoh-jodohkan kayak begitu. Kayak aku nggak laku saja. Ya memang sih, sekarang aku lagi jomblo. Tapi bukan berarti nggak laku, kan? Lagipula, aku kan lagi naksir Mas Asta. Dan melihat dia care ke aku akhir-akhir ini, kayaknya dia juga tertarik padaku. Iya, KAN?

───

COMPLICATED PART 4