Harga Rp 30.000
Before Us - Robin Wijaya (Gagas Media)
Beautiful Mistake - Sefryana Khairil & Prisca Primasari (Gagas Media)
Coba Tunjuk Satu Bintang - Sefryana Khairil (Gagas Media)
Mendekap Rasa - Aditya Yudis & Ifnur Hikmah (Bukune)
Versus - Robin Wijaya (Gagas Media)
Mix
Jatuh Cinta Diam Diam #2 - Dwitasari -- Rp 30.000
Across the Ocean - Ria Destriana (Gramedia) -- Rp 40.000
Raksasa dari Jogja - Dwitasari -- Rp 40.000
My Fiance is A Secret Agent - Mayya Adnan -- Rp 49.000
Jodoh Untuk Naina - Nima Mumtaz -- Rp 41.500
Perempuan-Perempuan Tersayang - Okke Sepatumerah (GagasMedia) -- Rp 47.000
Cinta Paling Setia - Benny Arnas -- Rp 55.500
Marriage Convenience - Shanty -- Rp 50.000
Therese Raquin - Emile Zola (Gramedia) -- Rp 30.000
Lokasi Surabaya
Kontak :
WA/sms: 085736861534
Line: anisantika22
BBM: 5413DB80
SEGALA OCEHAN DARI ANIS ANTIKA
Sabtu, 30 April 2016
Kamis, 04 Februari 2016
Yang Pernah dan Masih Jadi Sahabat
Ada beberapa orang yang memiliki teman kecil yang akhirnya bersahabat dengannya sampai berpuluh tahun. Ada juga seseorang yang baru menemukan sahabat ketika dia sudah dewasa dan dengan orang yang baru dikenalnya kurang dari setahun. Dan aku adalah orang kedua.
Dulu aku pernah memiliki seseorang yang
kusebut dan memang kuanggap sahabat. Dia teman masa kecilku. Kami kenal dari
saat kami masih sama-sama bayi. Main bersama. Sekolah bersama. Dia menganggap
rumahku sepertu rumahnya. Makan disana, mandi di sana, main di sana. Begitupun
sebaliknya.
Tapi, ternyata bertepuk sebelah tangan
itu nggak cuma terjadi pada hubungan percintaan dengan pasangan. Ternyata dalam
persahabatan pun kita bisa mengalaminya. Dan hal itu terjadi padaku. Aku pikir
teman kecilku itu juga menganggapku sebagai sahabat. Bahkan dia mengatakan kalau
aku dan dia adalah sahabat untuk selamanya. Dia mengatakan itu ketika kami
masih SMP. Tapi ternyata hanya aku yang menganggapnya sahabat. Dia nggak
menganggapnya begitu.
Dulu, banyak kesalahannya yang aku
maafkan begitu pun sebaliknya. Sikap keras kepalaku, sikap ngeyelku, sikap
emosionalku, dia menerimanya. Sikapnya yang terlalu cuek padaku, nggak datang
menjenguk ketika aku sakit padahal rumah kami cuma beda dua rumah. Hal itu aku
alami ketika dia menemukan teman bermain baru yang mungkin lebih membuat dia
nyaman. Disitulah aku merasa bahwa aku bertepuk sebelah tangan. Hanya aku yang
menginginkan persahabatan. Dia enggak.
Semakin beranjak dewasa dia semakin
melupakan janji persahabatan diantara kami. Kami berada di SMA yang berbeda.
Teman-teman yang berbeda. Jenis pergaulan yang berbeda. Juga orangtua dia yang
sepertinya membatasi pergaulannya setelah keluarganya medapat kesuksesan dalam
usaha yang mereka jalankan. Sejak saat itu, aku tahu bahwa kami bukan lagi
sahabat. Kami hanya teman. Kami memiliki kehidupan yang nggak sejalan.
Perbedaan diantara kami semakin besar.
Tapi, ketika sekarang aku sudah dewasa
dan memikirkan hal itu, aku jadi berpikir kalau mugnkin saja saat itu aku juga bersalah.
Mungkin dia juga memiliki pemikiran yang sama sepertiku. Mungkin dia menganggap
aku yang menjauh. Mungkin dia menganggap aku yang nggak perduli padanya.
Mungkin juga dia mulai muak dengan segala sikapku. Aku jadi sadar, bahwa dulu
ketika kamu bertengkar selalu dia yang meminta maaf duluan. Entah dia yang
salah atau pun aku yang salah.
Kemudian, sahabat yang lain, aku juga nggak
menemukannya ketika aku di SMA. Aku ini tipe orang yang sangat pemilih. Dalam hal
apapun. Termasuk sahabat. Aku nggak akan bisa bersahabat dengan orang yang
nggak tulus padaku, nggak bisa menerima keadaanku, nggak bisa mengerti aku dan
nggak bisa membuatku nyaman ketika bersama dia.
Lalu, setelah bekerja selama dua tahun,
orang itu datang. Mungkin perasaan senasib yang membuat kami dekat waktu itu.
Kami sama-sama merantau. Kami sama-sama berasal dari latar keluarga yang hampir
mirip. Kami berasal dari kota bersebelahan yang bahasa dan adat istiadat yang
sama sehingga membuat kami nyambung ketika membicarakan apapun.
Dia orang yang cukup mengerti aku.
Sangat mengerti malah. Dia orang pertama yang membuatku nyaman ketika
membicarakan masalah keluargaku juga pasangan. Terkadang aku berpikir, ‘kenapa
dia bisa begitu betah bersahabat denganku?’, ‘kenapa dia bisa begitu memahami
sikap keras kepalaku?’, ‘kenapa dia begitu sabar ketika sikap sensitifku kambuh
dan sering berkata atau bersikap kasar padanya yang nggak bersalah apa-apa?’,
‘kenapa dia begitu perhatian padaku?’. Rela mampir ke rumahku sebelum dan
sepulang dari kantor buat mengantar makan ketika aku sakit. Mengantar ke
dokter. Memberi nasehat padaku ketika aku salah. Mendengar segala keluh
kesahku. Ikut menangis bersamaku ketika aku menangis. Ikut tertawa ketika aku
tertawa. Padanya, segala masalah yang kupendam bisa mengalir begitu saja untuk
kuutarakan.
Ketika sikap sensitifku kambuh dan
membuatku jadi bersikap sedikit kasar, dia menerimanya. Ketika aku meminta maaf
karena kesalahanku itu dia hanya menjawab dengan tersenyum ‘Santai aja. Aku
ngerti siapa kamu, kok.’. Dan seringnya aku nggak bisa menerima sikap
menyebalkan dia. Bukankah aku ini egois? Tapi dia masih menerimaku dan berada
disampingku sampai sekarang. Empat tahun persahabatan kami.
Tapi, ketika aku merasa sudah menemukan
sahabat yang benar-benar sahabat, aku harus berpisah dengannya. Bukan karena
kami nggak bersahabat lagi. Bukan. Dia harus mengikuti suaminya yang bekerja di
luar pulau. Dan itu membuatku sedih. Nggak akan ada lagi yang menghiburku ketika
aku sedih. Nggak ada yang mendengar keluh-kesahku lagi. Ahh… atau aku saja yang
terlalu berlebihan? Di zaman secanggih ini bahkan kita bisa melakukan video call. Dan itu nggak akan menjadi
penghalang untuk hubungan jarak jauh sekali pun dia berada di Timbuktu atau kutub.
Tapi tetap saja rasanya berbeda. Ketika
sahabat itu ada di hadapan kita secara nyata dengan enggak. Yang aku takutkan
adalah, apakah persahabatan kami akan tetap sama ketika kami terpisah jarak?
Nggak pernah bertemu lagi. Nggak pernah jalan bareng. Telepon pun akan semakin
jarang karena kesibukan kami maisng-masing. Pada akhirnya, apakah kami akan
tetap menjadi dua orang yang menyebut mereka sahabat?
Tapi, bukankah ini yang disebut hidup?
Nggak ada yang abadi. Yang datang pada akhirnya pasti akan pergi. Yang sama
pada akhirnya akan menjadi berbeda. Tinggal bagaimana cara kita menghadapinya
ketika hal itu datang. Aku berharap, semoga aku ataupun dia nggak pernah
melupakan persahabatan kamai. Dan suatu saat nanti bisa berkumpul kembali.
Untuk mengenang masa sedih dan bahagia saat masih bersama. Semoga.
*Kalau sampai orang yang kusebut sahabat itu baca ini, pasti
dia bakal muncul di hadapanku dengan wajah cengar-cengir dan bilang ‘yang kamu
maksud itu aku, yaaa?’. Kemudian segala kenarsisannya akan muncul…. :))
Rabu, 20 Januari 2016
Lose the Moment
Kehilangan yang paling nggak bisa aku lupakan sejak hal itu terjadi sampai sekarang (sudah sekitar delapan tahun lalu) adalah kehilangan momen untuk membahagiakan Simbah disaat-saat terakhirnya. Nggak yakin juga, sih, kalau aku mewujudkan hal itu bakal membuat Simbah bahagia atau enggak. Tapi satu yang pasti, aku nyeseeeel banget nggak mewujudkan keinginan sepele Simbah itu.
Saat
kejadian itu aku kelas XI SMA, sekitar tahun 2007. Simbahku yang memang sudah
tua yang biasanya sehat walafiat tiba-tiba sakit dan kondisinya sedikit
mengkhawatirkan. Beliau bilang ke aku ingin makan kue yang pernah aku bawa
sepulang sekolah. Jadi dulu aku sering bawa jajan atau kue-kue yang aku beli di
kantin sekolah buat Simbah.
Saat
simbah minta kue itu, aku lupa kue yang mana yang dimaksud Simbah. Beliau
bilangnya kue yang dalamnya ada selai merah. Aku coba mengingat tapi tetap saja
nggak ingat. Kue apapun yang aku ingat pernah kasih ke Simbah aku beli dan
nggak ada satu pun yang sesuai keinginan Simbah.
Beberapa
Minggu setelah kejadian itu sakit Simbah tambah parah bahkan beliau sempat koma
selama beberapa hari. Dan sekitar tiga bulan kemudian Simbah dipanggil Tuhan
dengan meninggalkan penyesalan dalam benakku.
Aku
baru ingat kue apa yang dimaksud Simbah, selang beberapa Tahun setelah Simbah
meninggal. Yaitu biskuit susu bentuk bulat yang dalamnya ada selai strawberry yang banyak dijual di
minimarket (maaf nggak bisa sebut merk, takut dikira iklan... hehee). Dan hal
itu malah membuat hatiku sakit, menyesal karena saat itu nggak mengingatnya.
Sekarang, setiap kali makan kue itu selalu ingat Simbah dan bikin sedih.
Banyak
banget ‘kenapa’ yang terlintas dibenakku. Kenapa saat itu aku nggak mengingatnya?
Kenapa aku ingatnya ketika Simbah sudah nggak ada? Kenapa aku nggak bisa
memenuhi permintaan terakhir Simbah padaku saat itu?
Sejak
saat itu, ketika orang yang kusayang menginginkan sesuatu dariku─selama hal itu
mungkin untuk kuwujudkan─aku akan berusaha untuk mewujudkannya agar nggak ada
lagi penyesalan karena kehilangan momen buat membahagiakan orang yang kusayang.
Selasa, 08 September 2015
Tentang Hujan
Aku menatap kelas dihadapanku yang saat ini kosong. Terkesan hampa. Bukan hanya karena tanpa penghuni, mendung yang menghiasi langit sore ini menambah kesan hampa tersebut. Sesekali petir bersahutan di langit.
Ahh... aku benci hujan. Menurutku hujan adalah simbol kesedihan. Langit seakan sedang menangis. Setiap kali hujan turun, perasaanku pasti berubah jadi nggak enak.
Seperti sore ini. Sepertinya aku kurang pandai memilih waktu untuk datang ke sekolah. Karena segala kenangan yang ada di dalamnya yang membuat separuh hatiku menghilang selama delapan tahun ini, ditambah hujan. Kombinasi yang tepat untuk membuatku sedih.
Aku menatap kelas sekali lagi. Ya. Ini adalah kelasku delapan tahun lalu. Kelas dimana penuh dengan kenangan tentang masa putih abu-abu, teman, sahabat dan cinta pertama. Disinilah kami menghabiskan masa bersama.
Aku seperti mendapati diriku dan dia duduk berdampingan di bangku nomor dua dari depan, dekat jendela. Dia tertawa, khasnya dia. Tawa keras yang renyah dan membuat siapapun yang mendengarnya ikut tertawa bersama.
Tujuanku kemari? Jangan tanya. Aku sendiri juga bingung. Kenapa dari sekian banyak tempat di kota ini--yang sudah kutinggalkan selama empat tahun--aku memilih untuk datang kemari. Dan membiarkan ribuan kenangan menyerbu keluar tanpa ampun. Ribuan kenangan yang sekarang menyerangku bersamaan, membuat dadaku sesak dan seketika mataku terasa panas.
Ahh... aku benci perasaan seperti ini. Rasanya dadaku sesak dan nggak enak. Semakin lama disini, bisa-bisa aku mati kehabisan napas. Aku membalik badanku. Menghindarkan pandanganku dari kelas. Di depanku tetes air hujan semakin lebat. Dasar bodoh. Bahkan aku melupakan payung.
Aku menengadah menatap ke langit yang gelap. Air semakin deras berjatuhan. Aku menadahkan tanganku ke tetesan air dari atap. Rasanya dingin. Sedikit membuatku rileks. Tapi, perasaan itu tidak lama berlangsung. Karena dadaku kembali sesak mendapati sosok yang berdiri sekitar lima meter di depanku--di tengah koridor penghubung kelas.
Walaupun derasnya air hujan membuat pandanganku buram, tapi aku tahu kalau itu adalah dia. Dia, pusat sakit hatiku. Dia, penyebab kekosongan di dadaku. Dia... yang saat ini pun masih membuat dadaku berdegup tanpa ampun.
Seakan tanpa dosa, dia tersenyum ke arahku. Menyebalkan!
Sabtu, 04 Juli 2015
KADO UNTUK BLOGGER #TerusBergegas GagasMedia
Woaaa…
HAPPY BIRTHDAY GagasMedia. Nggak terasa
sudah 12 tahun. Pertama kali kenal GagasMedia itu sekitar tahun 2008. Iya, sik,
telat banget. Buku pertama yang bikin aku jatuh Cinta pada GagasMedia adalah Seandainya karya Windhy Puspitadewi, tentang
persahabantan dan cinta di masa SMA antara Rizki-Juno-Arma-Christine. kemudian
kisah pilu sekaligus konyol antara Saka-Denia-Janu dalam Dia-nya Nonier.
Baiklah…
bismillah. Tahun ini mau ikutan Kado untuk Blogger dari GagasMedia. Iya, untuk
pertaman kalinya semoga nggak mengecewakan. Berikut ini adalah jawabanku dari
12 pertanyaan dari GagasMedia.
Sebutkan 12 judul buku yang paling
berkesan setelah kamu membacanya!
- Novel inspiratif Pilar-Pilar Emas, penulisnya lupa. Nemu di perpustakaan pas SD dulu.
- Laskar Pelangi, oleh Andrea Hirata (Bentang Pustaka)
- Salad Days, oleh Shelly Salfatira (Gramedia Pustaka Utama)
- Waktu Aku Sama Mika, oleh Indi Sugar (Homerian Pustaka)
- Priceless Moment, oleh Prisca Primasari (GagasMedia)
- Versus, oleh Robin Wijaya (GagasMedia)
- Pre Wedding Rush, oleh Oke Sepatumerah (Stiletto Book)
- 5 CM, oleh Donny Dhirgantoro (Grasindo)
- Hafalan Shalat Delisa, oleh Tere Liye (Republika)
- The Truth About Forever, oleh Orizuka (GagasMedia)
- Tahta Mahameru, oleh Azzura Dayana (Republika)
- Rectoverso, oleh Dewi Lestari (Bentang Pustaka)
Buku apa yang pernah membuatmu
menangis, kenapa?
Priceless
Moment-nya Prisca Primasari. Sedih dengan nasib Yanuar yang ditinggal meninggal
istrinya dan membuatnya harus berperan menjadi Ayah sekaligus Ibu untuk kedua
anaknya yang masih kecil-kecil, Hafsha dan Feru. Novel keluarga yang bikin aku
jadi mikir banyak tentang keluargaku sendiri. Tentang adikku yang sudah seperti
sahabat buatku, tentang perselisihanku dengan Bapak, tentang Ibu yang begitu
sabar menghadapi kami, juga tentang kakaku yang seperti nggak perduli padaku
dan adikku. Tentang betapa banyak waktu yang kulewatkan tanpa mereka. Tentang
bagaimana aku lebih memilih pekerjaan dibanding pulang untuk bercengkrama
dengan mereka. Aku nggak mau mengalami apa yang terjadi pada Yanuar. Baru
menyadari betapa penting kebersamaan dengan keluarga, setelah kehilangan salah
satu diantarantya.
Apa quote dari buku yang kamu ingat
dan menginspirasi?
Quote
dari novel 5 cm yang menginspirasi banget buat mewujudkan mimpi.
“Setiap kamu mempunyai mimpi atau
keinginan atau cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu. Jangan
menempel, biarkan dia menggantung, mengambang 5 cm di depan kening kamu. Jadi
dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu.”
Siapakah tokoh di dalam buku yang
ingin kamu pacari? Berikan alasan kenapa kamu cocok jadi pasangannya!
Ferre-nya
Supernova. Ganteng, tinggi, smart,
karir cemerlang. Alasannya, karena Ferre cowok sempurna, pantesnya sama cewek
kurang sempurna kayak aku. Hitung-hitung bantu
memperbaiki keturunanku lah… :))
Ceritakan ending novel yang berkesan dan tak akan kamu lupakan!
Ending
novel Pre Wedding in Chaos karya Elsa
Puspita. Cerita dari awalnya, sih, kelihatan manis banget. Sepasang kekasih
sempurna yang sangat bahagia. Yang akhirnya memutuskan menikah setelah
berpacaran selama sepuluh tahun. Semua persiapan pernikahan sudah hampir
selesai sampai akhirnya pernikahan harus dibatalkan hanya karena alasan konyol.
Si tokoh cewek nggak mau mempunyai anak sedangkan tokoh laki-lakinya sangat
menginginkan anak. Karena perbedaan tujuan menikah itulah yang membuat mereka
akhirnya memutuskan buat berpisah dan si cowok menikah dengan wanita lain, kemudian
memiliki anak. Sedih banget dan seperti nggak adil buat si cewek. Sehabis baca
novel ini, berhari-hari setelahnya belum juga bisa move on.
Buku pertama GagasMedia yang kamu
baca, dan kenapa kamu memilih itu?
Seandainya
karya Windhy Puspitadewi. Alasan kenapa memilih buku ini, karena blurb di back covernya benar-benar menggodaku. Serasa baca kisah sendiri aja
gitu. Apalagi bagian kalimat ini, “Seperti
putri duyung di dongeng itu, kelak aku akan menjadi buih dan membawa mati semua
rahasia hatiku. Sebut aku pesimis, tapi sudah terlalu lama aku menunggu saat
yang tepat untuk kebenaran itu. Dan selama itu, aku melihat bagaimana
benih-benih perasaanmu kepadanya pelan-pelan tumbuh hingga menjadi bunga yang
indah.”
Dari sekian banyak buku yang kamu
punya, apa judul yang menurutmu menarik, kenapa?
Interlude-nya
Windry Ramadhina. Menurutnya judul ini unik dan mencerminkan musik banget.
Karena dalam ceritanya si tokoh laki-laki adalah seorang seniman. Seniman jazz
musik favoritku.
Sekarang lihat rak bukumu, cover
buku apa yang kamu suka, kenapa?
Interlude.
Dengan perpaduan biru muda dan biru tua, hijau, serta gambar punggung seorang
wanita yang mengesankan keanggunan, manis, seksi, cantik sekaligus kepedihan
dari ekspresi si cewek itu. Pertama kali melihat covernya saja aku langsung
jatuh cinta.
Tema cerita apa yang kamu sukai,
kenapa?
Drama
action. Misal tentang kisah cinta
agen rahasia dengan putri dari musuhnya, dan terjadi banyak pengorbanan serta
penghianatan dibaliknya. Ahh… seru pasti. Tapi di Indonesia nggak begitu banyak
cerita dengan tema ini.
Siapa penulis yang ingin kamu
temui, kalau sudah bertemu, kamu mau apa?
Winna
Efendi. Kalau sudah ketemu jelas bakal meluk, terus minta foto berdua. Muji-muji
tulisannya, pasti. Terus tanya-tanya soal dunia kepenulisan terutama fiksi.
Tapi kayaknya yang bakal aku lakukan malah diam menatapnya dengan takjub kayak
orang bego.
Lebih suka baca e-book atau buku
cetak, kenapa?
Buku cetak. Karena aku sangat mencintai buku lebih
dari apa pun. Buku yang benar-benar buku. Susunan dari banyak lembar kertas dan
ada covernya. Buku yang bisa disentuh setiap aku ingin, buku yang bisa ditaruh
di rak.
Sebutkan 12 kata untuk GagasMedia
menurutmu!
Keren,
unik, berani, cerdas, bijak, incredible,
WOW, gorgeous, menggoda, elegant, nggemesin, ngangenin.
Semoga jawabannya memuaskan... sekali lagi HAPPY BIRTHDAY GagasMedia
Minggu, 28 Juni 2015
Ada Masa Dimana Aku Sangat Menggilai Bola
Ada masa dimana aku sangat menggilai bola. Bahkan ada
yang bilang aku rasis dan anarkis. Tim favoritku dulu, kalau dalam negri PERSIB
Bandung, kalau luar Manchester United. Katanya sepakbola adalah pemersatu
dunia. Tapi kok pendapatku lain, ya. Sepakbola seperti lebih ke pemecah dunia.
Karena hanya dengan saling mendukung kesebelasan masing-masing negara bisa
membuat para suporter antar kesebelasan bermusuhan. Jangankan yang beda negara,
yang satu negara saja bisa berkelahi dan saling bunuh hanya karena bola.
Seperti yang terjadi padaku sendiri. Ada masa dimana
aku saling melempar cacian, makian dan sumpah serapah dengan the Jack Mania (supporter Persija) serta Aremania (supporter Arema) yang notabene adalah
musuh bebuyutan PERSIB Bandung dan Persebaya Surabaya. Semua tahu klub ini
saling bermusuhan sejak dulu. Mereka menyebutnya duel el clásico-nya Indonesia. Layaknya Manchester United dan Chelsea,
Barcelona dan Real Madrid.
Bahkan aku sampai bertengkar dengan teman sendiri
hanya karena dia menghina PERSIB dan aku nggak terima. Kemudian aku membalasnya
dengan hinaan juga. Parahnya, gara-gara bola tercipta dua kubu dalam
keluargaku. Kubu pertama terdiri dari aku dan adik laki-lakiku─aku pendukung
PERSIB Bandung sedangkan adikku pendukung PERSEBAYA Surabaya (kedua tim ini
disebut sebagai sekutu). Kubu kedua terdiri dari Abang dan Bapakku─Abang
pendukung Arema Malang dan Bapak pendukung Arema sekaligus PERSIJA.
Setiap kali pertandingan mempertemukan keempat tim
itu, maka suasana di rumahku akan sangat panas. Saling mengejek dan menghina
masing-masing tim. Kalau sudah begitu, maka Ibu yang akan jadi penengah.
Ahh… kadang aku merindukan masa childish seperti itu.
Sekarang? Aku masih menyukai bola, tapi tidak segila
dulu. Masih menonton pertandingan bola, tapi tidak sesering dulu. Kalau dulu
emosiku langsung tersulut setiap kali mendengar ada yang menghina tim
favoritku, sekarang aku hanya akan tersenyum. Kalau dulu aku rela bangun tengah
malam dan begadang demi menonton pertandingan tim favorit, sekarang lebih
sayang kesehatan karena banyak hal yang lebih penting yang harus kulakukan
untuk kelangsungan hidupku di muka bumi ini.
Ada masa dimana aku pernah menjadi sangat
kekanak-kanakan. Ada masa dimana aku pernah menjadi anarkis dan rasis hanya
karena fanatik terhadap suatu hal. Ada masa di mana aku bermusuhan dengan teman
dan keluarga sendiri hanya karena bola. Seiring berjalannya waktu, seiring
bertambahnya usia, dan seiring bertambahnya aku menjadi dewasa, hal-hal konyol
yang kulakukan dulu menghilang dengan sendirinya karena ada hal yang jauh lebih
penting dari sekedar maki-makian. Aku berubah jadi orang yang sangat mencintai
perdamaian. Bahkan sekarang aku cenderung lebih memilih untuk diam atau
mengalah setiap kali terjadi perselisihan. Karena aku menjaga satu hal,
perdamaian.
Jadi, kalau sampai usia segitu tuanya masih suka
tawuran karena bola, berarti orang itu belumlah menjadi dewasa. Ingat, bahwa
tingkat kedewasaan seseorang itu tidak ditentukan dari usia mereka. Orang
berusia tiga puluh tahun bisa jadi lebih childish
dari anak usia lima belas tahun.
Intropeksi diri, merenungi kesalahan, mengakui
kesalahan, kemudian mengubah kesalahan menjadi kebaikan.
^_^
Anis
Minggu, 21 Juni 2015
[ Short Story ] COMPLICATED Part 6
Tanganku meraba-raba
sekitar masih dengan mata terpejam. Mencari keberadaan iPode yang selalu kugunakan
setiap malam untuk memutar musik sebelum tidur (iya, aku nggak bisa tidur kalau
nggak ada musik). Begitu mendapatkan iPode-ku,
aku membuka mata dengan memicing. Menekan tombol play pada layarnya kemudian menambah volume suara. Berharap lagu All of Me versi Boyce Avenu yang
sekarang bergema melalui earphone di
telingaku ini bisa meredam suara berisik dari lantai bawah. For God’s sake! Ini hari Sabtu, lho. Dan
aku butuh waktu yang lama untuk tidur karena siang nanti aku harus ke Supermal buat
persiapan pembukaan festival besok pagi.
Aku kembali terbangun saat mendengar
ketukan di pintu kamarku yang lebih mirip dengan gedoran debt collector itu. Siapa, sih, yang rese banget begitu. Biasanya
Mama juga masa bodo kalau aku bangun siang pas hari libur. Dengan kesal aku
menarik bantal yang kupakai sampai menutupi telinga. Tapi ternyata volume keras
di earphone dan bantal yang kugunakan
untuk menyumpal telinga ini masih nggak membantu. Akhirnya aku bangun dengan mendengus
kesal. Dan dengan kasar melepas earphone
dari telinga. Dengan berjalan terseok dan mata setengah terpejam aku membuka
pintu.
“Duh! Apaan, sih, Ma? Rhea masih pengen
tidur. Nanti siang udah harus ke Supermall, lho.” Semburku begitu melihat wajah
Mama.
“Kamu itu. Ini udah jam delapan, lho,
Rhe. Bangun kenapa? Lain kali kalau habis subuh jangan tidur lagi. Pamali,
tau.” Mama malah mengomeliku.
Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan
gemas sambil berkata, “Biasanya Mama juga nggak pernah protes. Udah, ah. Rhea
mau tidur lagi. Jangan dibangunin kalau Rhea belum bangun sendiri.”
Mama menahan pintu yang akan kututup
dengan kedua tangannya. “Nggak boleh tidur lagi. Mandi, dan buruan turun. Ada
keluarga Ontowiryo di bawah.”
“Siapa?” Mataku langsung terbuka lebar
begitu mendengar perkataan Mama.
“Iya. Dan Mama udah cukup malu karena
anak perempuan Mama jam segini belum bangun juga. Buruan mandi. Terus kita
sarapan bareng.” Kata Mama kemudian membalik badan dan berjalan menuju tangga.
Keluarga Ontowiryo itu nggak punya
kerjaan banget apa, ya? Pagi-pagi buta di hari Sabtu begini sudah berada di
rumahku. Demi apa pun, aku nggak mau ketemu Arsa si Kunyuk itu.
Walaupun kesal dan malas banget buat
bertemu Arsa, akhirnya aku menurut perkataan Mama juga. Jam setengah sembilan,
aku turun dari kamar. Sengaja banget untuk dilama-lamain turunnya. Keluargaku
dan keluarga Ontowiryo lagi ngobrol seru sambil tertawa-tawa heboh di ruang
keluarga saat aku turun.
“Eh, Rhea. Selamat pagi sayang. Kami ganggu
istirahat kamu, ya?” Tante Syarika berdiri dan langsung menyambutku begitu aku
tiba di hadapan mereka. Kami melakukan ritual wanita, cipika-cipiki. Emm, lebih
tepatnya Tante Syarika sih, yang melakukan itu.
“Nggak kok, Tan. Udah bangun dari tadi.”
Bohong banget. “Halo, Om.” Kemudian aku menyapa Om Ontowiryo, tanpa menyapa
Arsa. Hal itu membuat orangtuaku dan orangtuanya saling pandang dengan tatapan
heran.
“Hai, Rhe.” Arsa menyapaku dengan senyum
lebar. Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang palsu banget. Sumpah!
Saat ini rasanya aku ingin melempar vas bunga di depannya itu kalau nggak ingat
ada keluarga kami. Dasar Sengkuni. Jahat banget.
“Karena kamu lama, kami tadi sarapan
dulu.” Kata Mama.
“Nggak pa-pa, Ma. Rhea ke dapur dulu
buat cari makan.” Kataku kemudian berjalan ke arah dapur.
Di atas meja sudah terhidang nasi goreng
dalam mangkuk kaca. Hmm… nasi goreng seafood
kesukaanku. Aku menuang satu sendok nasi ke atas piring. Kemudian mulai
melahapnya tanpa mempedulikan keberadaan keluarga Ontowiryo.
“Rhe? Habis makan kamu siap-siap, ya.”
Mama berseru dari ruang keluarga.
“Buat?” Aku menatap Mama dengan waswas.
Filingku menangkap sesuatu yang nggak beres.
“Kita mau ke acara reuni kampus Mama
sama Tante Syarika.” Jawab Mama dengan nada ceria. Oh, ternyata acara reuni itu
beneran ada, tho? Kirain cuma akal-akalan Mama buat cari-cari alasan perihal
dia pinjam mobilku kapan tau itu.
“Duh! Rhea nggak bisa, Ma. Siang ini
harus ke Supermall buat persiapan pembukaan festival besok.” Jawabku dengan
mulut penuh makanan. Aku melihat Arsa tersenyum saat menatap ke arahku. Sialan!
Benar-benar manusia nggak tahu malu.
“Siang, kan, ke Supermal-nya? Acara
reuni Mama jam sepuluh ini, kok. Nanti siang kamu boleh pergi, deh. Biar
dianter sama Arsa.”
Ini Mamaku cara berpikirnya memang ajaib
banget, deh. Di antar Arsa? Nggak akan. Lebih baik aku bayar taksi daripada
harus diantar itu Sengkuni.
“Aduh, Ma. Rhea nggak ikut, deh.” Aku
masih berusaha membujuk Mama.
“Nggak ada alasan. Masa teman-teman Mama
pada bawa keluarganya, Mama nggak sendiri.”
“Kan ada Ares, Ma. Bilang aja Rhea lagi
ada kerjaan.” Aku masih berusaha menolak.
“Rhea!” Mama berkata dengan nada yang
nggak bisa dibantah. Ditambah lagi pelototan tajamnya yang mengintimidasi itu.
Aku menghembuskan napas sebal. Pasrah.
“Oke.” Jawabku dengan malas.
───
Acara reuni kuliah yang Mama bilang
tadi, ternyata jauh di luar bayanganku. Aku membayangkan reuni diadakan di sebuah
gedung dan dihadiri oleh ratusan atau bahkan ribuan orang. Tapi ternyata, nggak
ada seratus orang. Hanya teman-teman satu geng-nya Mama dulu. Termasuk Tante
Syarika dan Tante Rita (iya, jadi dulu Mama dan Tante Rita merantau ke Surabaya
untuk kuliah, dan disinilah mereka kenal Tante Syarika). Yang bikin banyak
adalah keluarga yang mereka bawa. Dan satu lagi, diadakan di rumah seorang
teman Mama yang berada di Pakuwon City. Gila, rumahnya gede banget. Kata Mama,
si Tante Marini─teman kuliah Mama yang punya rumah ini─adalah istri seorang
pengusaha timah sekaligus pemilik perkebunan kelapa sawit yang ada di Bangka.
Rumah Tante Marini bergaya Eropa klasik
dengan pilar-pilar tinggi. Ada patung Dewa Yunani berukuran besar yang terletak
di tengah-tengah halaman. Kalau aku nggak salah adalah Dewa Zeus. Udaranya juga
sejuk karena banyak ditanami pepohonan. Acaranya sendiri diadakan di ruang tamu
yang luasnya luar biasa. Ruang tamu rumah Tante Marini ini langsung terhubung
dengan halaman samping. Di halaman itu terdapat banyak bunga anggrek dengan
berbagai macam warna. Ini pasti koleksi Tante Marini. Ada juga satu set kursi
kayu dengan ukiran Jawa di beranda samping. Dan sebuah gazebo dengan atap
berupa ijuk, ada di salah satu sudut taman. Keempat tiangnya dililit dengan
kain kotak-kotak hitam putih khas Bali. Ini rumah Tante Marini rame budaya, ya,
ternyata.
“Rhea?”
Aku menoleh saat mendengar suara Mama.
“Ya, Ma?”
“Ini Tante Marini. Teman kuliah Mama
dulu. Mar, ini Rhea, anak bungsuku.” Mama memperkenalkanku pada Tante Marini.
“Halo, Tante.” Aku bermaksud menjabat
tangan Tante Marini, tapi dia malah menghambur dan mengecup pipiku kanan kiri.
“Halo, Rhea. Kamu cantik banget. Persis
kayak Mamamu pas muda dulu.” Tante Marini berkata dengan ceria. Walaupun
seumuran Mamaku, tapi Tante Marini ini terlihat lebih muda. Jelas banget kalau
Tante Marini mendapatkannya dari perawatan mahal. Matanya sipit khas chinese dengan kulit putih bersih. Saat
tertawa, matanya jadi nggak kelihatan. Samar-samar aku mencium wangi mawar
menguar dari tubuh Tante Marini. Wangi yang anggun.
“Terima kasih, Tante.” Aku menjawab
dengan sopan.
“Kalau saja Ramon belum menikah, Tante
mau deh, jadiin kamu mantu.” Tante Marini tertawa. Kemudian beralih ke Mamaku.
“Beruntung banget itu si Syarika bakal besanan sama kamu, Andini.”
Besanan? Oh, tenang aja Tante,
besanannya nggak bakal jadi. Kalau Mama masih juga ngeyel, biar si Ares saja
yang menikah sama Arsa.
“Makan dulu yuk, Rhe.” Tante Marini
berkata masih dengan nada cerianya. Aku suka deh sama Tante Marini ini. Kalau
berada di dekat beliau, bawaannya jadi happy.
“Iya, Tan. Nanti Rhea ngambil sendiri
deh. Mau lihat-lihat anggreknya Tante dulu.” Kataku menolak dengan halus.
“Ya sudah. Mama sama Tante ke dalem,
ya.” Mama berkata padaku kemudian menggamit lengan Tante Marini dan berjalan ke
dalam.
Mataku kembali tertuju ke gazebo. Aku berjalan
menghampiri gazebo. Kemudian duduk di atas tempat duduknya yang dilapisi bantal
berwarna krem. Hmm… nyamannya. Aku menegakkan punggungku kemudian memejamkan
mata. Mencoba untuk bermeditasi. Lambat laun suara berisik orang berbincang
memudar. Aku merasakan semilir angin yang menerpa wajahku. Kemudian yang
terdengar hanyalah suara daun saling bergesekan saat tertiup angin. Cicit
burung. Langkah kaki…
“Tidur, Rhe?”
Ah, Ares. Coba sehari saja nggak
menggangguku. Aku mencoba untuk tidak menggubris Ares yang sekarang duduk
disampingku. Aku bisa merasakan hempasan pantatnya di sampingku. Samar-samar
aku mencium aroma maskulin parfumnya.
“Aku bawa Panna Cotta, dong.” Ares berkata dengan gaya seperti anak TK yang
lagi pamer ke temannya. Tapi, tetap saja aku membuka mata. Seketika itu aku
melihat vanilla panna cotta yang
disiram dengan saus strawberry
kesukaanku.
“Mau!” Aku merebut sendok dan gelas
bening yang berisi panna cotta dari
tangan Ares. Kemudian mulai melahapnya perlahan. Menikmati setiap sensasi
manis, wangi dan asam di lidahku.
“Wah! Rusuh nih si Rhea. Ngambil sendiri
woi.” Ares berusaha mengambil panna cotta
miliknya dari tanganku.
“Yaela, Res. Sama adik sendiri masa
pelit banget.” Aku berkata dengan tampang memelas. Ares berdecak kesal kemudian
berhasil mengambil alih sendok dari tanganku. Dan dengan sigap menyendok panna cotta.
“Kayaknya lagi seru, nih.”
Moodku
langsung jelek begitu menatap wajah Arsa. Karenanya aku diam saja saat Ares
mengambil gelas panna cotta dari
tanganku. Arsa kini duduk di samping kananku. Aku langsung berdiri untuk menjauh
sejauh-jauhnya dari jangkauan si Sengkuni ini. Dengan gerakan cepat Arsa meraih
pergelangan tanganku, untuk menahanku pergi.
“Jangan mulai, deh!” Aku membentaknya
dan berusaha melepaskan gengaman tangannya.
“Wow… wow… aku nggak ikutan.” Ares
berkata dengan berlebihan sambil mengangkat kedua tangannya kemudian berjalan
menjauh dari gazebo.
“Lepasin, nggak!” Seruku kepada Arsa.
“Duduk kalau nggak mau jadi bahan
tontonan.” Arsa mengancamku. Karena sadar akan hal itu, aku menurut dan kembali
duduk di sampingnya. Seketika itu juga Arsa melepaskan tangannya dari tanganku.
Suasana hening dan menjadi canggung.
Arsa berdehem sesaat sebelum berbicara. “Soal semalam… aku minta maaf.”
Aku tersenyum sinis sebelum menanggapi.
“Enak banget, ya? Habis kurang ajar begitu, dengan gampangnya minta maaf.
Terus, besok-besoknya kalau kurang ajar lagi, juga bakal minta maaf kayak
barusan? Kamu itu nggak pernah diajari cara menghargai perempuan ya, sama Mama
kamu?”
Rahang Arsa mengeras.
Lalu dia menghembuskan napas berat sebelum menjawab. “Yang aku lakuin semalam
itu memang kurang ajar. Karena itu aku minta maaf. Aku juga nggak tau kenapa─”
Arsa langsung terdiam
saat tanganku menampar keras pipinya. Jangan menjudgeku karena melakukan hal itu. Aku rasa tamparan itu masih nggak
sepadan untuk menghukumnya atas apa yang dia lakukan padaku semalam. Dia melukai
harga diriku. Dan itu menyakitkan. Kalau kalian wanita, pasti kalian mengerti
dengan apa yang aku rasakan.
Oke. Sepertinya aku menyesali
apa yang aku lakukan barusan. Bukan karena merasa bersalah pada Arsa, terlebih
karena aku berhasil merebut perhatian teman-teman kuliah Mama. Ternyata suaraku
saat memaki Arsa tadi kelewat keras sehingga membuat orang-orang yang ada di
dalam ruangan mengamati kami. Dan saat aku menampar Arsa tadi, Mamaku dan Tante
Syarika melihatnya. Ini yang bakal jadi masalah. Karena saat ini aku melihat
mereka berjalan ke arahku dengan tergesa. Mama dengan wajah murkanya dan Tante
Syarika dengan wajah khawatirnya.
“Kamu ini apa-apaan
sih, Rhea? Bikin malu Mama saja. Memangnya Arsa ngapain sampai kamu kurang ajar
padanya begitu.”
Apa? Aku yang kurang
ajar?
“Ma, bukan Rhea yang
kurang ajar.”
“Minta maaf!” Mama
berkata dengan nada yang nggak bisa dibantah. Sampai mati aku nggak akan
melakukannya. Karena bukan aku yang bersalah.
“Arsa yang salah Tante.
Arsa yang sudah kurang ajar sama Rhea.” Si Kunyuk yang duduk di sampingku itu
berkata dengan tampang menyesal.
“Kurang ajar…
bagaimana?” Tante Syarika menatap Arsa dan aku bergantian.
“Arsa─”
Tidak boleh ada yang
tahu!
“Rhea mau pergi. Udah
telat ke Supermal-nya.” Aku memotong perkataan Arsa kemudian berdiri dan
meninggalkan Mamaku, Tante Syarika dan Arsa.
Semua orang menatap
kepergianku. Tidak sedikit yang berkasak-kusuk saat aku melewati mereka. Duh!
Kayak sinetron, deh. Ini sungguh memalukan. Aku yakin, sesampainya aku di rumah
nanti, Mama masih akan menceramahiku. Biarlah! Yang jelas, sekarang aku ingin
jauh-jauh dari si Kunyuk Arsa itu. Berada di dektanya membuat kesehatanku akan
terganggu karena keseringan emosi.
───
Baca juga COMPLICATED Part 5
Langganan:
Postingan (Atom)