Ada beberapa orang yang memiliki teman kecil yang akhirnya bersahabat dengannya sampai berpuluh tahun. Ada juga seseorang yang baru menemukan sahabat ketika dia sudah dewasa dan dengan orang yang baru dikenalnya kurang dari setahun. Dan aku adalah orang kedua.
Dulu aku pernah memiliki seseorang yang
kusebut dan memang kuanggap sahabat. Dia teman masa kecilku. Kami kenal dari
saat kami masih sama-sama bayi. Main bersama. Sekolah bersama. Dia menganggap
rumahku sepertu rumahnya. Makan disana, mandi di sana, main di sana. Begitupun
sebaliknya.
Tapi, ternyata bertepuk sebelah tangan
itu nggak cuma terjadi pada hubungan percintaan dengan pasangan. Ternyata dalam
persahabatan pun kita bisa mengalaminya. Dan hal itu terjadi padaku. Aku pikir
teman kecilku itu juga menganggapku sebagai sahabat. Bahkan dia mengatakan kalau
aku dan dia adalah sahabat untuk selamanya. Dia mengatakan itu ketika kami
masih SMP. Tapi ternyata hanya aku yang menganggapnya sahabat. Dia nggak
menganggapnya begitu.
Dulu, banyak kesalahannya yang aku
maafkan begitu pun sebaliknya. Sikap keras kepalaku, sikap ngeyelku, sikap
emosionalku, dia menerimanya. Sikapnya yang terlalu cuek padaku, nggak datang
menjenguk ketika aku sakit padahal rumah kami cuma beda dua rumah. Hal itu aku
alami ketika dia menemukan teman bermain baru yang mungkin lebih membuat dia
nyaman. Disitulah aku merasa bahwa aku bertepuk sebelah tangan. Hanya aku yang
menginginkan persahabatan. Dia enggak.
Semakin beranjak dewasa dia semakin
melupakan janji persahabatan diantara kami. Kami berada di SMA yang berbeda.
Teman-teman yang berbeda. Jenis pergaulan yang berbeda. Juga orangtua dia yang
sepertinya membatasi pergaulannya setelah keluarganya medapat kesuksesan dalam
usaha yang mereka jalankan. Sejak saat itu, aku tahu bahwa kami bukan lagi
sahabat. Kami hanya teman. Kami memiliki kehidupan yang nggak sejalan.
Perbedaan diantara kami semakin besar.
Tapi, ketika sekarang aku sudah dewasa
dan memikirkan hal itu, aku jadi berpikir kalau mugnkin saja saat itu aku juga bersalah.
Mungkin dia juga memiliki pemikiran yang sama sepertiku. Mungkin dia menganggap
aku yang menjauh. Mungkin dia menganggap aku yang nggak perduli padanya.
Mungkin juga dia mulai muak dengan segala sikapku. Aku jadi sadar, bahwa dulu
ketika kamu bertengkar selalu dia yang meminta maaf duluan. Entah dia yang
salah atau pun aku yang salah.
Kemudian, sahabat yang lain, aku juga nggak
menemukannya ketika aku di SMA. Aku ini tipe orang yang sangat pemilih. Dalam hal
apapun. Termasuk sahabat. Aku nggak akan bisa bersahabat dengan orang yang
nggak tulus padaku, nggak bisa menerima keadaanku, nggak bisa mengerti aku dan
nggak bisa membuatku nyaman ketika bersama dia.
Lalu, setelah bekerja selama dua tahun,
orang itu datang. Mungkin perasaan senasib yang membuat kami dekat waktu itu.
Kami sama-sama merantau. Kami sama-sama berasal dari latar keluarga yang hampir
mirip. Kami berasal dari kota bersebelahan yang bahasa dan adat istiadat yang
sama sehingga membuat kami nyambung ketika membicarakan apapun.
Dia orang yang cukup mengerti aku.
Sangat mengerti malah. Dia orang pertama yang membuatku nyaman ketika
membicarakan masalah keluargaku juga pasangan. Terkadang aku berpikir, ‘kenapa
dia bisa begitu betah bersahabat denganku?’, ‘kenapa dia bisa begitu memahami
sikap keras kepalaku?’, ‘kenapa dia begitu sabar ketika sikap sensitifku kambuh
dan sering berkata atau bersikap kasar padanya yang nggak bersalah apa-apa?’,
‘kenapa dia begitu perhatian padaku?’. Rela mampir ke rumahku sebelum dan
sepulang dari kantor buat mengantar makan ketika aku sakit. Mengantar ke
dokter. Memberi nasehat padaku ketika aku salah. Mendengar segala keluh
kesahku. Ikut menangis bersamaku ketika aku menangis. Ikut tertawa ketika aku
tertawa. Padanya, segala masalah yang kupendam bisa mengalir begitu saja untuk
kuutarakan.
Ketika sikap sensitifku kambuh dan
membuatku jadi bersikap sedikit kasar, dia menerimanya. Ketika aku meminta maaf
karena kesalahanku itu dia hanya menjawab dengan tersenyum ‘Santai aja. Aku
ngerti siapa kamu, kok.’. Dan seringnya aku nggak bisa menerima sikap
menyebalkan dia. Bukankah aku ini egois? Tapi dia masih menerimaku dan berada
disampingku sampai sekarang. Empat tahun persahabatan kami.
Tapi, ketika aku merasa sudah menemukan
sahabat yang benar-benar sahabat, aku harus berpisah dengannya. Bukan karena
kami nggak bersahabat lagi. Bukan. Dia harus mengikuti suaminya yang bekerja di
luar pulau. Dan itu membuatku sedih. Nggak akan ada lagi yang menghiburku ketika
aku sedih. Nggak ada yang mendengar keluh-kesahku lagi. Ahh… atau aku saja yang
terlalu berlebihan? Di zaman secanggih ini bahkan kita bisa melakukan video call. Dan itu nggak akan menjadi
penghalang untuk hubungan jarak jauh sekali pun dia berada di Timbuktu atau kutub.
Tapi tetap saja rasanya berbeda. Ketika
sahabat itu ada di hadapan kita secara nyata dengan enggak. Yang aku takutkan
adalah, apakah persahabatan kami akan tetap sama ketika kami terpisah jarak?
Nggak pernah bertemu lagi. Nggak pernah jalan bareng. Telepon pun akan semakin
jarang karena kesibukan kami maisng-masing. Pada akhirnya, apakah kami akan
tetap menjadi dua orang yang menyebut mereka sahabat?
Tapi, bukankah ini yang disebut hidup?
Nggak ada yang abadi. Yang datang pada akhirnya pasti akan pergi. Yang sama
pada akhirnya akan menjadi berbeda. Tinggal bagaimana cara kita menghadapinya
ketika hal itu datang. Aku berharap, semoga aku ataupun dia nggak pernah
melupakan persahabatan kamai. Dan suatu saat nanti bisa berkumpul kembali.
Untuk mengenang masa sedih dan bahagia saat masih bersama. Semoga.
*Kalau sampai orang yang kusebut sahabat itu baca ini, pasti
dia bakal muncul di hadapanku dengan wajah cengar-cengir dan bilang ‘yang kamu
maksud itu aku, yaaa?’. Kemudian segala kenarsisannya akan muncul…. :))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar