Wajah kami mirip. Darah yang
mengalir di tubuh kami juga sama. Tapi, sifat dan kepribadian kami sangatlah
bertolak belakang. Dia adalah adikku. Laki-laki yang lahir satu tahun
setelahku. Sifatku yang cenderung nggak mau mengalah dan nggak mau kalah, sedangkan
dia seringnya mengalah untukku. Aku yang cerewet dan banyak sekali maunya,
kalau dia cenderung pendiam. Aku yang berani dan pemberontak, sedangkan dia
akan lebih memilih diam dan menerima apa yang terjadi. Aku kalau diserang akan
balik menyerang dengan lebih beringas, kalau dia akan lebih memilih diam dan
membalik badan. Aku yang tegas dan nggak bisa ditindas, kalau dia nggak bisa
tegas dan gampang sekali untuk diintimidasi. Dulu aku sering mengatainya,
‘Badan doang gede, nyali sekecil biji kedelai’.
Dulu, saat kami masih kecil, kami
lebih terlihat seperti dua anak laki-laki kembar. Wajah kami mirip, potongan
rambut pendek cepak, berkulit kecoklatan terbakar matahari, baju dan sepatu
selalu bermodel sama hanya beda warna. Selalu main bersama. Iya, aku yang
perempuan ini dulu mainnya sama anak laki-laki. Sebenarnya, aku punya dua teman
perempuan. Dan kami (aku serta dua teman perempuanku itu) seringnya main sama
anak laki-laki karena memang anak seumuran kami semuanya adalah laki-laki.
Walaupun sebenarnya kami bisa saja main hanya bertiga, tapi, entah kenapa kami
leih suka main bersama anak laki-laki.
Banyak jenis permainan yang sering
kami mainkan dulu (kebanyakan permainan anak laki-laki, sih). Main
perang-perangan (mulai dari Power Ranger, Satria Baja Hitam, Ultramen,
Wiro Sableng, Kera Sakti), main kelereng, main petak umpet pas malam-malam
(sengaja sembunyi di tempat gelap biar nggak kelihatan yang jaga, eh, malah
ngelihat sesosok makhluk astral berbaju putih), main gobak sodor, lompat tali.
Berlomba-lomba nyari jangkrik di sawah─saking semangatnya sampai
bongkar-bongkar jalanan pematang sawah yang mengakibatkan kami dikejar-kejar
sama pemilik sawah. Nyolong tebu di sawah yang katanya dijaga sama orang gila
(yang ini jangan ditiru), kemudian ketahuan penjaga sawah yang ngejar kami
sambil bawa celurit. Nyari ikan disungai, berburu burung pakai ketapel, nyari
capung. Bikin layangan terus diterbangin bareng-bareng di sawah (kalau yang ini
aku melakukannya sampai kelas X SMA─iya, malu-maluin memang, makanya jangan
ditiru).
Dulu, aku dan adikku itu nggak
terpisahkan. Kemana-mana harus selalu berdua. Ingat banget saat dia sakit usus
buntu dulu, aku nangis berhari-hari karena ditinggal di rumah cuma berdua Eyang
Putri. Sedangkan orangtua dan kakakku menjaga adik di rumah sakit. Yang aku
takutkan saat itu cuma satu, bahwa aku nggak akan pernah melihat adikku lagi.
Setelah operasi, adik nangis nyariin aku, tapinya aku takut buat bertemu dia
(karena hal terakhir yang aku lihat sebelum dia masuk rumah sakit adalah
sekujur badannya membiru dan kejang-kejang).
Kami juga sering masak berdua.
Gara-gara nonton acara masak di TV, kemudian kami mempraktekkannya dan membuat
dapur Ibu beserta segala isinya jadi berantakan. Satu hal konyol yang paling
memalukan yang pernah kami lakukan dulu adalah, lari keliling halaman tanpa
pakaian sama sekali─waktu itu kami masih dibawah sepuluh tahun. Lalu main
kejar-kejaran, terus ujung-ujungnya aku ngumpet dikamar. Saling mendorong pintu
kamar (aku yang berusaha menahan agar pintu nggak terbuka, dan adik yang
berusaha untuk membuka pintu) sampai temboknya retak dan pintu hampir
roboh─lagi-lagi kami dimarahi Bapak. Kemudian aku pernah sangat menyesal karena
memukul tulang pinggul adikku pakai gayung sampai dia nangis sesenggukan (hanya
gara-gara ribut kecil).
Pas SMA dulu, kami sering pergi ke
mana-mana berdua naik sepeda (ke warnet, beli sesuatu ke warung saat di suruh
Ibu, main ke rumah teman). Konyolnya, bukannya adik laki-lakiku itu yang
membonceng, tapi malah aku yang membonceng dia. Karena badannya yang tinggi
besar, boncengan sepedaku sampai rusak dan nggak bisa dipakai lagi. Lalu kami
dimarahi sama Bapak. Kalau dimarahi begitu, paling kami cuma diam, saling tatap
kemudian meringis menahan senyum. Itulah dunia masa kecil kami.
SEKARANG? Kami sudah hampir nggak
pernah melakukan itu lagi. Nggak ada boncengan sepeda berdua ke warnet, nggak
ada kejar-kejaran sampai ngumpet di kamar, nggak ada acara masak berdua, nggak
ada nerbangin layang-layang di sawah. Ada kalanya, aku sangat merindukan
hal-hal konyol belasan tahun lalu itu. Candaan-candaan konyol kami. Aku yang
sok jagoan menantang sekelompok anak laki-laki yang mengintimidasi adikku.
Nggak ada lagi adik kecilku yang sembunyi di belakang lemari kelasku saat SD,
demi menungguku pulang sekolah. Nggak ada lagi cerita rebutan makanan. Nggak
ada lagi main tikus-tikusan. Ahh… nggak nyangka waktu cepet banget berlalu.
Terlebih sekarang kami tinggal di kota
yang berbeda. Aku di Surabaya, adikku di Ponorogo. Hampir nggak pernah ngobrol,
sekali pun melalui telepon. Pergi berdua paling empat bulan sekali saat
kebetulan aku pulang ke Ponorogo. Apalagi sekarang dia sudah menikah. Semakin
nggak bisa ngelakuin hal-hal konyol lagi berdua. Sekarang aku baru percaya
dengan kutipan novel Menikahlah Denganku-nya Annisa Adrie, “Setipis apa pun,
pernikahan akan melahirkan sekat antara seseorang yang menikah dengan kehidupan
di luar rumah tangganya. Seseorang yang menikah akan memiliki garis teritori
yang tegas dalam hidupnya.”
Kalau dipikir-pikir─setelah kami
sama-sama dewasa─sepertinya aku yang lebih pantas disebut adik dan adikku lebih
pantas disebut sebagai kakak. Karena fisik adikku yang jauh lebih besar dan
lebih dewasa daripada aku, kemudian seringnya dia yang mengayomi dan menjagaku,
lalu fakta bahwa dia menikah lebih dulu daripada aku.
Sekarang jadi bisa mikir, sih, dulu
saat kami kecil sering sekali bertengkar, setelah sama-sama dewasa dan sibuk
dengan urusan masing-masing, kami menginginkan kebersamaan itu hadir lagi. Ya,
begitulah manusia. Selalu menginginkan kembali yang telah terjadi, untuk
kembali hadir di kehidupan masa kini. Padahal faktanya hal itu sangat mustahil.
Itulah kisah masa kecilku dengan
adik laki-laki sekaligus sahabatku. Yang seringnya tanpa melibatkan kakak kami
yang berusia sepuluh tahun di atas kami. Suatu saat, aku masih ingin
merealisasikan keinginan untuk traveling keliling Jawa berdua. Semoga.
Sama...
BalasHapusSaya juga kok. Dulu sering banget berantem sama kakak. Tapi setelah dia kuliah di luar kota, mendadak jadi kangen. Kangen berantem, kangen rebutan remot TV, sampe kangen dibikin nangis.
Nah! Begitulah. Kalau deket, berantem. kalau jauh, kangen.
Hapusjaman kecil dulu suka main hujan-hujanan kalo jaman sekarang mah malu, udah gede sih hahaha
BalasHapusTerakhir aku main hujan-hujanan sama adik laki-lakiku pas SMA. :))
Hapusmasa kecil emang indah ya kalau ngingat2 kelakuan kita sama saudara sendiri :")
BalasHapusdulu saya sering main sama kakak saya, setelah remaja jadi diam2 aja..
Kakak laki apa kakak cewek tuh?? :))
Hapuscewek kok..
HapusWah lengkap kali pngalaman dengan adik yg hampir seumuran. Sya malah dengan adik jaraknya sembilan tahun. Jadi aku udah gede dia msih bayi. Hmmm bertengkarnya jadi jarang hahaha tapi sering ngebuat dia nangis hhe
BalasHapusAnda itu persis kayak kakak saya. Nggak care banget sama adik. hahaa...
Hapusduh jadi terharu, seneng ya punya saudara yang bisa jadi teman main. aku juga punya kakak perempuan tapi lebih sering gak akurnya karena saling berebut perhatian dari mamah, huft,, jadi ngiri deh
BalasHapusHahaa... itulah nggak enaknya kalau satu gender. Suka ribut cari perhatian.
HapusCerita masa kecil begitu memberi banyak kenangan :)
BalasHapusBenar sekali. Seringnya pengen mengulang masa itu, tapi msutahil.
Hapus