Judul | : Pre Wedding in Chaos |
Genre | : Fiksi Romance |
Penulis | : Elsa Puspita |
Penyunting | : Pratiwi Utami |
Desain Cover | : Wirastuti |
Pemeriksa Aksara | : Septi Ws, Intan Sis |
Penata Aksara | : Endah Aditya |
Penerbit | : Bentang Pustaka |
Terbit | : 2014 |
Tebal | : 286 halaman |
ISBN | : 978-602-291-056-5 |
“Saya mencintai apa adanya kamu, sebagaimana kamu menerima apa adanya saya. Bukan tentang perjanjian abadi selamanya, hanya kesepakatan kecil tentang menjalani hidup bersama hingga detak jantung berakhir, sampai sisa napas terakhir.”
PRE
WEDDING IN CHAOS. Dari pertama ngelihat cover ini novel
di rak toko buku, yang terlintas dipikiranku adalah elegan, tapi terkesan
misterius. Saat baca bab-bab awal, aku tahu aku suka dengan novel ini karena
bahasa penulisannya aku banget. Gampang dimengerti, lucu, dan ringan
kayak bahasa sehari-hari.
Tokoh
utama dalam buku ini adalah Aria Desira dan Saraga Triyasa. Sepasang
kekasih yang menjalin hubungan sudah selama sembilan tahun. Hubungan mereka
yang tadinya adem ayem menjadi ‘kacau’ saat banyak orang di sekitar mereka—Mami
Aria, ibu Raga, Citra adik Aria—mendesak bahkan cenderung memaksa mereka untuk
menikah. Untuk Raga, itu memang keinginannya. Tapi untuk Aria, dia tidak
memiliki keinginan menikah dengan alasan yang nggak masuk akal. Nggak mau ribet
dengan urusan rumah tangga. Karena dua pernikahan yang ada di
keluarganya—pernikahan dua kakaknya yaitu Reza dan Mayang—bukanlah tipe
pernikahan yang bisa disebut baik-baik saja untuk dijadikan contoh.
Karena
nggak tahan dengan ‘kicauan’ orang-orang sekitarnya, akhirnya Aria memutuskanmenerima lamaran
Raga. Setelah resmi lamaran, masalah-masalah mulai bermunculan. Mulai dari sikap
tak acuh Aria terhadap persiapan pernikahannya dengan Raga, yang membuat Raga
harus mati-matian menahan emosinya. Sampai munculnya statement gila
Aria yang ajaib banget. Dia menyatakan pada Raga bahwa setelah menikah
nanti dia tidak mau memiliki anak dengan alasan dia alergi anak kecil.
Menurutnya anak kecil itu adalah jelmaan iblis, berisik dan susah diatur.
Haloooo… bagaimana bisa seorang wanita menyatakan bahwa dia nggak mau memiliki
anak? Oke, aku memang juga nggak suka sama anak kecil, menurut aku mereka
memang berisik dan susah diatur. Tapi, aku sadar kodrat. Tetap ingin hamil dan
melahirkan anak setelah menikah nanti.
Agak-agak
nggak ngerti juga, sih, sama jalan pikiran Aria yang ajaib itu. Awalnya nggak
mau menikah dengan alasan yang nggak masuk akal, kemudian nggak mau punya anak
dengan alasan yang sama nggak masuk akalnya. Padahal Raga itu adalah tipe
idaman calon suami dan calon menantu. Ganteng, karir mapan, cinta sama
pasangan, setia. Kurang apa, coba?
Karena
visi mereka dalam pernikahan sangat bertentangan, baik Aria mau pun Raga
akhirnya memutuskan untuk putus, yang artinya juga pernikahan mereka batal.
Menyakiti diri emreka sendiri serta keluarga masing-masing. Bagian ini, nih,
yang bikin nyesek banget. Hubungan yang sudah mereka jalin dengan baik selama
sembilan tahun harus berakhir begitu saja. Padahal mereka
saling mencintai. Tapi harus berpisah karena statement ajaib
Aria yang bikin orang pengen banget ngegeplak kepalanya pakai palu Thor itu.
Sembilan puluh Sembilan persen penyebab putusnya mereka adalah sikap egois
Aria. Dan satu persennya adalah kesalahan Raga yang nggak bisa memberi
pengertian pada Aria bahwa hamil dan memiliki anak tidak semengerikan yang dia
bayangkan.
Karena
nggak snaggup bertemu Raga dalam waktu dekat, maka Aria memutuskan untuk
bekerja di Korea. Enam tahun kemudian dia kembali dan nggak sengaja ketemu Raga
saat dia menjemput Angel—anak Citra—di TK tempatnya bersekolah. Raga sudah
menikah dengan seorang guru TK di sana dan sudah memiliki seorang ank laki-laki.
Di sini juga yang bikin aku makin nyesek. Sayang dengan hubungan sembilan
tahun mereka yang sia-sia, dan pernikahan yang sudah di depan mata.
Sampai
bab-bab akhir pun aku masih menebak bahwa Aria dan Raga akan bersatu lagi
sekian tahun kemudian setelah perpisahan mereka. Tapi aku salah besar. Endingnya
benar-benar nggak ketebak. Keren, sekaligus bikin aku nangis semalaman
gara-gara meratapi kebodohan Aria (huaaa…. ).
Dari
novel ini aku menyimpulkan :
- Bahwa sikap egois kita, pada akhirnya akan menghancurkan kita.
- Dalam pernikahan, ternyata takdir lebih memegang peran ketimbang jodoh.
- Bahwa dalam pernikahan, saling menerima kekurangan pasangan masing-masing adalah harga mati.
- Sekecil apa pun kesalahan yang kita buat, konsekuensi sudah menanti di belakang.
Berikut
adalah kumpulan quotes favoritku dari novel ini :
- Apa yang disatukan Tuhan, hendaknya tidak dipisahkan manusia. (hal 26)
- Hanya Nabi yang sanggup bersikap adil kepada istri-istrinya. Hanya alasan-alasan Nabi yang masuk akal dan bisa diterima. Jadi, kalau ada lelaki yang membawa-bawa sunah Nabi untuk poligami, Aria ingin sekali mengebirinya hidup-hidup. (hal 78)
- Kita kadang nggak bisa bedain perasaan cinta atau cuma rasa terbiasa sama kehadiran pasangan kita. Yang mana pun, akhirnya, ya, itu yang bikin kita bertahan. (hal 98)
- Bagaiman mungkin bisa membangun rumah tangga kalau pandangan ke depan saja tidak sama? (hal 195)
- Nyatuin dua kepala itu nggak gampang, makanya kompromi harus selalu di barisan terdepan dalam hal apa pun. (hal 209)
- Kalau menurut gue, sih, hidup ini tuh, kayak permainan. Ada tahapan-tahapan yang harus kita lewatin buat naik level. Kalau lagi main game dan lo stuck di level itu-itu aja, apa lo nggak bosen, terus akhirnya berhenti main? (hal 219)
- Saat sebuah hubunagn berakhir, saat itulah kita dibuat ingat bagaimana semua itu bermula. (hal 255)
- Semua hal yang tadinya manis, seketika berubah pekat. Cita rasa khas kenangan. (hal 268)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar