Tanganku meraba-raba
sekitar masih dengan mata terpejam. Mencari keberadaan iPode yang selalu kugunakan
setiap malam untuk memutar musik sebelum tidur (iya, aku nggak bisa tidur kalau
nggak ada musik). Begitu mendapatkan iPode-ku,
aku membuka mata dengan memicing. Menekan tombol play pada layarnya kemudian menambah volume suara. Berharap lagu All of Me versi Boyce Avenu yang
sekarang bergema melalui earphone di
telingaku ini bisa meredam suara berisik dari lantai bawah. For God’s sake! Ini hari Sabtu, lho. Dan
aku butuh waktu yang lama untuk tidur karena siang nanti aku harus ke Supermal buat
persiapan pembukaan festival besok pagi.
Aku kembali terbangun saat mendengar
ketukan di pintu kamarku yang lebih mirip dengan gedoran debt collector itu. Siapa, sih, yang rese banget begitu. Biasanya
Mama juga masa bodo kalau aku bangun siang pas hari libur. Dengan kesal aku
menarik bantal yang kupakai sampai menutupi telinga. Tapi ternyata volume keras
di earphone dan bantal yang kugunakan
untuk menyumpal telinga ini masih nggak membantu. Akhirnya aku bangun dengan mendengus
kesal. Dan dengan kasar melepas earphone
dari telinga. Dengan berjalan terseok dan mata setengah terpejam aku membuka
pintu.
“Duh! Apaan, sih, Ma? Rhea masih pengen
tidur. Nanti siang udah harus ke Supermall, lho.” Semburku begitu melihat wajah
Mama.
“Kamu itu. Ini udah jam delapan, lho,
Rhe. Bangun kenapa? Lain kali kalau habis subuh jangan tidur lagi. Pamali,
tau.” Mama malah mengomeliku.
Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan
gemas sambil berkata, “Biasanya Mama juga nggak pernah protes. Udah, ah. Rhea
mau tidur lagi. Jangan dibangunin kalau Rhea belum bangun sendiri.”
Mama menahan pintu yang akan kututup
dengan kedua tangannya. “Nggak boleh tidur lagi. Mandi, dan buruan turun. Ada
keluarga Ontowiryo di bawah.”
“Siapa?” Mataku langsung terbuka lebar
begitu mendengar perkataan Mama.
“Iya. Dan Mama udah cukup malu karena
anak perempuan Mama jam segini belum bangun juga. Buruan mandi. Terus kita
sarapan bareng.” Kata Mama kemudian membalik badan dan berjalan menuju tangga.
Keluarga Ontowiryo itu nggak punya
kerjaan banget apa, ya? Pagi-pagi buta di hari Sabtu begini sudah berada di
rumahku. Demi apa pun, aku nggak mau ketemu Arsa si Kunyuk itu.
Walaupun kesal dan malas banget buat
bertemu Arsa, akhirnya aku menurut perkataan Mama juga. Jam setengah sembilan,
aku turun dari kamar. Sengaja banget untuk dilama-lamain turunnya. Keluargaku
dan keluarga Ontowiryo lagi ngobrol seru sambil tertawa-tawa heboh di ruang
keluarga saat aku turun.
“Eh, Rhea. Selamat pagi sayang. Kami ganggu
istirahat kamu, ya?” Tante Syarika berdiri dan langsung menyambutku begitu aku
tiba di hadapan mereka. Kami melakukan ritual wanita, cipika-cipiki. Emm, lebih
tepatnya Tante Syarika sih, yang melakukan itu.
“Nggak kok, Tan. Udah bangun dari tadi.”
Bohong banget. “Halo, Om.” Kemudian aku menyapa Om Ontowiryo, tanpa menyapa
Arsa. Hal itu membuat orangtuaku dan orangtuanya saling pandang dengan tatapan
heran.
“Hai, Rhe.” Arsa menyapaku dengan senyum
lebar. Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang palsu banget. Sumpah!
Saat ini rasanya aku ingin melempar vas bunga di depannya itu kalau nggak ingat
ada keluarga kami. Dasar Sengkuni. Jahat banget.
“Karena kamu lama, kami tadi sarapan
dulu.” Kata Mama.
“Nggak pa-pa, Ma. Rhea ke dapur dulu
buat cari makan.” Kataku kemudian berjalan ke arah dapur.
Di atas meja sudah terhidang nasi goreng
dalam mangkuk kaca. Hmm… nasi goreng seafood
kesukaanku. Aku menuang satu sendok nasi ke atas piring. Kemudian mulai
melahapnya tanpa mempedulikan keberadaan keluarga Ontowiryo.
“Rhe? Habis makan kamu siap-siap, ya.”
Mama berseru dari ruang keluarga.
“Buat?” Aku menatap Mama dengan waswas.
Filingku menangkap sesuatu yang nggak beres.
“Kita mau ke acara reuni kampus Mama
sama Tante Syarika.” Jawab Mama dengan nada ceria. Oh, ternyata acara reuni itu
beneran ada, tho? Kirain cuma akal-akalan Mama buat cari-cari alasan perihal
dia pinjam mobilku kapan tau itu.
“Duh! Rhea nggak bisa, Ma. Siang ini
harus ke Supermall buat persiapan pembukaan festival besok.” Jawabku dengan
mulut penuh makanan. Aku melihat Arsa tersenyum saat menatap ke arahku. Sialan!
Benar-benar manusia nggak tahu malu.
“Siang, kan, ke Supermal-nya? Acara
reuni Mama jam sepuluh ini, kok. Nanti siang kamu boleh pergi, deh. Biar
dianter sama Arsa.”
Ini Mamaku cara berpikirnya memang ajaib
banget, deh. Di antar Arsa? Nggak akan. Lebih baik aku bayar taksi daripada
harus diantar itu Sengkuni.
“Aduh, Ma. Rhea nggak ikut, deh.” Aku
masih berusaha membujuk Mama.
“Nggak ada alasan. Masa teman-teman Mama
pada bawa keluarganya, Mama nggak sendiri.”
“Kan ada Ares, Ma. Bilang aja Rhea lagi
ada kerjaan.” Aku masih berusaha menolak.
“Rhea!” Mama berkata dengan nada yang
nggak bisa dibantah. Ditambah lagi pelototan tajamnya yang mengintimidasi itu.
Aku menghembuskan napas sebal. Pasrah.
“Oke.” Jawabku dengan malas.
───
Acara reuni kuliah yang Mama bilang
tadi, ternyata jauh di luar bayanganku. Aku membayangkan reuni diadakan di sebuah
gedung dan dihadiri oleh ratusan atau bahkan ribuan orang. Tapi ternyata, nggak
ada seratus orang. Hanya teman-teman satu geng-nya Mama dulu. Termasuk Tante
Syarika dan Tante Rita (iya, jadi dulu Mama dan Tante Rita merantau ke Surabaya
untuk kuliah, dan disinilah mereka kenal Tante Syarika). Yang bikin banyak
adalah keluarga yang mereka bawa. Dan satu lagi, diadakan di rumah seorang
teman Mama yang berada di Pakuwon City. Gila, rumahnya gede banget. Kata Mama,
si Tante Marini─teman kuliah Mama yang punya rumah ini─adalah istri seorang
pengusaha timah sekaligus pemilik perkebunan kelapa sawit yang ada di Bangka.
Rumah Tante Marini bergaya Eropa klasik
dengan pilar-pilar tinggi. Ada patung Dewa Yunani berukuran besar yang terletak
di tengah-tengah halaman. Kalau aku nggak salah adalah Dewa Zeus. Udaranya juga
sejuk karena banyak ditanami pepohonan. Acaranya sendiri diadakan di ruang tamu
yang luasnya luar biasa. Ruang tamu rumah Tante Marini ini langsung terhubung
dengan halaman samping. Di halaman itu terdapat banyak bunga anggrek dengan
berbagai macam warna. Ini pasti koleksi Tante Marini. Ada juga satu set kursi
kayu dengan ukiran Jawa di beranda samping. Dan sebuah gazebo dengan atap
berupa ijuk, ada di salah satu sudut taman. Keempat tiangnya dililit dengan
kain kotak-kotak hitam putih khas Bali. Ini rumah Tante Marini rame budaya, ya,
ternyata.
“Rhea?”
Aku menoleh saat mendengar suara Mama.
“Ya, Ma?”
“Ini Tante Marini. Teman kuliah Mama
dulu. Mar, ini Rhea, anak bungsuku.” Mama memperkenalkanku pada Tante Marini.
“Halo, Tante.” Aku bermaksud menjabat
tangan Tante Marini, tapi dia malah menghambur dan mengecup pipiku kanan kiri.
“Halo, Rhea. Kamu cantik banget. Persis
kayak Mamamu pas muda dulu.” Tante Marini berkata dengan ceria. Walaupun
seumuran Mamaku, tapi Tante Marini ini terlihat lebih muda. Jelas banget kalau
Tante Marini mendapatkannya dari perawatan mahal. Matanya sipit khas chinese dengan kulit putih bersih. Saat
tertawa, matanya jadi nggak kelihatan. Samar-samar aku mencium wangi mawar
menguar dari tubuh Tante Marini. Wangi yang anggun.
“Terima kasih, Tante.” Aku menjawab
dengan sopan.
“Kalau saja Ramon belum menikah, Tante
mau deh, jadiin kamu mantu.” Tante Marini tertawa. Kemudian beralih ke Mamaku.
“Beruntung banget itu si Syarika bakal besanan sama kamu, Andini.”
Besanan? Oh, tenang aja Tante,
besanannya nggak bakal jadi. Kalau Mama masih juga ngeyel, biar si Ares saja
yang menikah sama Arsa.
“Makan dulu yuk, Rhe.” Tante Marini
berkata masih dengan nada cerianya. Aku suka deh sama Tante Marini ini. Kalau
berada di dekat beliau, bawaannya jadi happy.
“Iya, Tan. Nanti Rhea ngambil sendiri
deh. Mau lihat-lihat anggreknya Tante dulu.” Kataku menolak dengan halus.
“Ya sudah. Mama sama Tante ke dalem,
ya.” Mama berkata padaku kemudian menggamit lengan Tante Marini dan berjalan ke
dalam.
Mataku kembali tertuju ke gazebo. Aku berjalan
menghampiri gazebo. Kemudian duduk di atas tempat duduknya yang dilapisi bantal
berwarna krem. Hmm… nyamannya. Aku menegakkan punggungku kemudian memejamkan
mata. Mencoba untuk bermeditasi. Lambat laun suara berisik orang berbincang
memudar. Aku merasakan semilir angin yang menerpa wajahku. Kemudian yang
terdengar hanyalah suara daun saling bergesekan saat tertiup angin. Cicit
burung. Langkah kaki…
“Tidur, Rhe?”
Ah, Ares. Coba sehari saja nggak
menggangguku. Aku mencoba untuk tidak menggubris Ares yang sekarang duduk
disampingku. Aku bisa merasakan hempasan pantatnya di sampingku. Samar-samar
aku mencium aroma maskulin parfumnya.
“Aku bawa Panna Cotta, dong.” Ares berkata dengan gaya seperti anak TK yang
lagi pamer ke temannya. Tapi, tetap saja aku membuka mata. Seketika itu aku
melihat vanilla panna cotta yang
disiram dengan saus strawberry
kesukaanku.
“Mau!” Aku merebut sendok dan gelas
bening yang berisi panna cotta dari
tangan Ares. Kemudian mulai melahapnya perlahan. Menikmati setiap sensasi
manis, wangi dan asam di lidahku.
“Wah! Rusuh nih si Rhea. Ngambil sendiri
woi.” Ares berusaha mengambil panna cotta
miliknya dari tanganku.
“Yaela, Res. Sama adik sendiri masa
pelit banget.” Aku berkata dengan tampang memelas. Ares berdecak kesal kemudian
berhasil mengambil alih sendok dari tanganku. Dan dengan sigap menyendok panna cotta.
“Kayaknya lagi seru, nih.”
Moodku
langsung jelek begitu menatap wajah Arsa. Karenanya aku diam saja saat Ares
mengambil gelas panna cotta dari
tanganku. Arsa kini duduk di samping kananku. Aku langsung berdiri untuk menjauh
sejauh-jauhnya dari jangkauan si Sengkuni ini. Dengan gerakan cepat Arsa meraih
pergelangan tanganku, untuk menahanku pergi.
“Jangan mulai, deh!” Aku membentaknya
dan berusaha melepaskan gengaman tangannya.
“Wow… wow… aku nggak ikutan.” Ares
berkata dengan berlebihan sambil mengangkat kedua tangannya kemudian berjalan
menjauh dari gazebo.
“Lepasin, nggak!” Seruku kepada Arsa.
“Duduk kalau nggak mau jadi bahan
tontonan.” Arsa mengancamku. Karena sadar akan hal itu, aku menurut dan kembali
duduk di sampingnya. Seketika itu juga Arsa melepaskan tangannya dari tanganku.
Suasana hening dan menjadi canggung.
Arsa berdehem sesaat sebelum berbicara. “Soal semalam… aku minta maaf.”
Aku tersenyum sinis sebelum menanggapi.
“Enak banget, ya? Habis kurang ajar begitu, dengan gampangnya minta maaf.
Terus, besok-besoknya kalau kurang ajar lagi, juga bakal minta maaf kayak
barusan? Kamu itu nggak pernah diajari cara menghargai perempuan ya, sama Mama
kamu?”
Rahang Arsa mengeras.
Lalu dia menghembuskan napas berat sebelum menjawab. “Yang aku lakuin semalam
itu memang kurang ajar. Karena itu aku minta maaf. Aku juga nggak tau kenapa─”
Arsa langsung terdiam
saat tanganku menampar keras pipinya. Jangan menjudgeku karena melakukan hal itu. Aku rasa tamparan itu masih nggak
sepadan untuk menghukumnya atas apa yang dia lakukan padaku semalam. Dia melukai
harga diriku. Dan itu menyakitkan. Kalau kalian wanita, pasti kalian mengerti
dengan apa yang aku rasakan.
Oke. Sepertinya aku menyesali
apa yang aku lakukan barusan. Bukan karena merasa bersalah pada Arsa, terlebih
karena aku berhasil merebut perhatian teman-teman kuliah Mama. Ternyata suaraku
saat memaki Arsa tadi kelewat keras sehingga membuat orang-orang yang ada di
dalam ruangan mengamati kami. Dan saat aku menampar Arsa tadi, Mamaku dan Tante
Syarika melihatnya. Ini yang bakal jadi masalah. Karena saat ini aku melihat
mereka berjalan ke arahku dengan tergesa. Mama dengan wajah murkanya dan Tante
Syarika dengan wajah khawatirnya.
“Kamu ini apa-apaan
sih, Rhea? Bikin malu Mama saja. Memangnya Arsa ngapain sampai kamu kurang ajar
padanya begitu.”
Apa? Aku yang kurang
ajar?
“Ma, bukan Rhea yang
kurang ajar.”
“Minta maaf!” Mama
berkata dengan nada yang nggak bisa dibantah. Sampai mati aku nggak akan
melakukannya. Karena bukan aku yang bersalah.
“Arsa yang salah Tante.
Arsa yang sudah kurang ajar sama Rhea.” Si Kunyuk yang duduk di sampingku itu
berkata dengan tampang menyesal.
“Kurang ajar…
bagaimana?” Tante Syarika menatap Arsa dan aku bergantian.
“Arsa─”
Tidak boleh ada yang
tahu!
“Rhea mau pergi. Udah
telat ke Supermal-nya.” Aku memotong perkataan Arsa kemudian berdiri dan
meninggalkan Mamaku, Tante Syarika dan Arsa.
Semua orang menatap
kepergianku. Tidak sedikit yang berkasak-kusuk saat aku melewati mereka. Duh!
Kayak sinetron, deh. Ini sungguh memalukan. Aku yakin, sesampainya aku di rumah
nanti, Mama masih akan menceramahiku. Biarlah! Yang jelas, sekarang aku ingin
jauh-jauh dari si Kunyuk Arsa itu. Berada di dektanya membuat kesehatanku akan
terganggu karena keseringan emosi.
───
Baca juga COMPLICATED Part 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar