Ada masa dimana aku sangat menggilai bola. Bahkan ada
yang bilang aku rasis dan anarkis. Tim favoritku dulu, kalau dalam negri PERSIB
Bandung, kalau luar Manchester United. Katanya sepakbola adalah pemersatu
dunia. Tapi kok pendapatku lain, ya. Sepakbola seperti lebih ke pemecah dunia.
Karena hanya dengan saling mendukung kesebelasan masing-masing negara bisa
membuat para suporter antar kesebelasan bermusuhan. Jangankan yang beda negara,
yang satu negara saja bisa berkelahi dan saling bunuh hanya karena bola.
Seperti yang terjadi padaku sendiri. Ada masa dimana
aku saling melempar cacian, makian dan sumpah serapah dengan the Jack Mania (supporter Persija) serta Aremania (supporter Arema) yang notabene adalah
musuh bebuyutan PERSIB Bandung dan Persebaya Surabaya. Semua tahu klub ini
saling bermusuhan sejak dulu. Mereka menyebutnya duel el clásico-nya Indonesia. Layaknya Manchester United dan Chelsea,
Barcelona dan Real Madrid.
Bahkan aku sampai bertengkar dengan teman sendiri
hanya karena dia menghina PERSIB dan aku nggak terima. Kemudian aku membalasnya
dengan hinaan juga. Parahnya, gara-gara bola tercipta dua kubu dalam
keluargaku. Kubu pertama terdiri dari aku dan adik laki-lakiku─aku pendukung
PERSIB Bandung sedangkan adikku pendukung PERSEBAYA Surabaya (kedua tim ini
disebut sebagai sekutu). Kubu kedua terdiri dari Abang dan Bapakku─Abang
pendukung Arema Malang dan Bapak pendukung Arema sekaligus PERSIJA.
Setiap kali pertandingan mempertemukan keempat tim
itu, maka suasana di rumahku akan sangat panas. Saling mengejek dan menghina
masing-masing tim. Kalau sudah begitu, maka Ibu yang akan jadi penengah.
Ahh… kadang aku merindukan masa childish seperti itu.
Sekarang? Aku masih menyukai bola, tapi tidak segila
dulu. Masih menonton pertandingan bola, tapi tidak sesering dulu. Kalau dulu
emosiku langsung tersulut setiap kali mendengar ada yang menghina tim
favoritku, sekarang aku hanya akan tersenyum. Kalau dulu aku rela bangun tengah
malam dan begadang demi menonton pertandingan tim favorit, sekarang lebih
sayang kesehatan karena banyak hal yang lebih penting yang harus kulakukan
untuk kelangsungan hidupku di muka bumi ini.
Ada masa dimana aku pernah menjadi sangat
kekanak-kanakan. Ada masa dimana aku pernah menjadi anarkis dan rasis hanya
karena fanatik terhadap suatu hal. Ada masa di mana aku bermusuhan dengan teman
dan keluarga sendiri hanya karena bola. Seiring berjalannya waktu, seiring
bertambahnya usia, dan seiring bertambahnya aku menjadi dewasa, hal-hal konyol
yang kulakukan dulu menghilang dengan sendirinya karena ada hal yang jauh lebih
penting dari sekedar maki-makian. Aku berubah jadi orang yang sangat mencintai
perdamaian. Bahkan sekarang aku cenderung lebih memilih untuk diam atau
mengalah setiap kali terjadi perselisihan. Karena aku menjaga satu hal,
perdamaian.
Jadi, kalau sampai usia segitu tuanya masih suka
tawuran karena bola, berarti orang itu belumlah menjadi dewasa. Ingat, bahwa
tingkat kedewasaan seseorang itu tidak ditentukan dari usia mereka. Orang
berusia tiga puluh tahun bisa jadi lebih childish
dari anak usia lima belas tahun.
Intropeksi diri, merenungi kesalahan, mengakui
kesalahan, kemudian mengubah kesalahan menjadi kebaikan.
^_^
Anis
pemersatu atau pemecah, menurut saya tergantung orangnya mbak, kalau masih terbelakang memang senengnya jotos2an, tapi kalau udah cerdas dan dewasa tentu tahu batas2,.... :)
BalasHapusIyak, sih. Kalau cerdas nggak menjamin. Karen seringnya mereka juga ikut tawuran. Kalau dewasa, aku setuju.
BalasHapusIya sik. Cuma kalau orang cerdas aku nggak setuju, banyak orang berpendidikan yg pasti cerdas masih suka tawuran. Tapi kalau dewasa, aku setuju.
BalasHapus