Aku menatap sekali lagi bayanganku dalam
cermin. Blus putih polos sebagai atasan yang kumasukkan dalam rok lipat sebatas
paha warna pink lembut. Stoking warna hitam membalut kakiku dan diakhiri dengan
stiletto warna senada dengan rok yang
kupakai. Rambut sebahuku yang kuwarnai dark
brown kubiarkan tergerai. Ku menatap wajahku yang bermake-up tipis natural andalanku. Sempurna.
Samar-samar aku mendengar suara ribut
dari bawah. Ini di rumahku ada apa, sih? Pagi-pagi begini sudah heboh saja.
Masa iya pagi buta begini ada tamu? Aku menyahut shoulder bag warna moka
dan expanding file tote bag warna
biru tua dari atas meja kerjaku. Setengah berlari aku keluar dari kamar dan
menuruni tangga karena penasaran dengan kegaduhan di rumahku yang baisanya
damai ini.
Ruang makan mendadak sepi begitu suara stilettoku yang beradu dengan lantai
terdengar. Semua menatap ke arahku. Mood
baikku mendadak jadi ngedrop begitu melihat sesosok manusia yang saat ini
sangat tidak ingin aku lihat berada di antara keluargaku. Terlebih saat dia tersenyum
cerah ke arahku. Lupa apa, ya, sama kata-kata menyebalkan yang dia ucapkan
semalam?
“Ngapain kamu di sini?” Kata itu refleks
keluar dari mulutku karena rasa kesal yang muncul saat mengingat kejadian
semalam.
“Rhea?” Mama menegurku dengan keras.
“Nyapa yang baik. Kalau nggak ada Arsa semalam, kamu nggak bisa pulang, lho.”
“Bisa. Aku semalem udah mau masuk mobil
temanku saat tiba-tiba orang ini muncul.” Jawabku dengan nada ketus.
“Siapa?” Tanya Mama dengan mata memicing
curiga. “Si cowok cantik kemarin itu?”
Ares terbahak saat Mama
mengucapkan kalimat barusan. Sedangkan Arsa tersenyum dan Papa tetap asyik
dengan korannya. Sedangkan aku, menatap Mama dengan wajah syok melongo. Itu
Mamaku yang barusan bilang? Ibu Amara Damanto yang ngakunya anak priyayi dari
Jogja itu? Astaga! Sulit dipercaya. Pasti Eyang Kakung yang bernama belakang
Notonegoro itu bakal syok melihat anaknya yang sekarang ini. Apa karena sudah
nggak menyandang nama Notonegoro lagi, maka sikap Mama jadi agak-agak nggak
sopan begitu? Ah! Lupakan!
“Mama!” Aku berseru dengan gemas.
“Bukan cowok cantik kali, Ma. Tapi barby boy.” Sahut Ares yang membuat tawa
Arsa meledak. Sialan!
“Ares! Jaga itu mulut, ya.” Aku berseru
keras pada Ares.
“Sudah! Kalian ini. Lagi di meja makan
juga.” Papa menengahi. Melipat korannya lalu meletakkan di meja. Kemudian
mengucapkan kalimat yang membuat jantungku hampir lepas. “Duduk, Rhea. Hari ini
kamu berangkat sama Arsa. Mobil kamu Papa bawa ke kantor.”
“Nggak bisa! Papa, kan ada mobil sendiri.”
Aku menolak mentah-mentah perintah Papa.
“Mobil Papa masuk bengkel dari kemarin.”
Jawab Papa kalem sambil menerima sepiring nasi goreng dari Mama.
Aku duduk dengan sedikit hentakan. Aku
menatap Papa dengan curiga. Kalau Ares dan Mama sengaja ngerjain aku kemarin,
itu wajar. Tapi kalau Papa juga ikut-ikutan, ini namanya nggak wajar. Tapi
sepertinya wajah Papa nggak lagi berbohong.
“Tapi Rhea, kan, lembur, Pa.”
“Ya biar dijemput lagi sama Arsa. Bisa
kan, Arsa?” Papa berkata sambil menatap Arsa.
Arsa menjawab dengan sopan, “Tentu, Om.”
Kemudian melemparkan senyum menyebalkan padaku.
Dan hal itu, menambah daftar alasan
kenapa aku harus membenci cowok yang bernama Arsa itu. Menyebalkan!
───
Aku menghembuskan napas lega saat membuka
pintu mobil Arsa. Semoga ini untuk yang terakhir kalinya aku keluar dari mobil
ini.
“Ngapain kamu ikut keluar?” Aku berseru
saat melihat Arsa ikut keluar dari mobilnya.
“Cuma mau pastiin kalau kamu masuk ke
kantor dengan selamat.” Jawabnya santai.
Aku tersenyum sinis. Kayaknya bukan itu
alasannya. “Kalau alasan kamu turun dari mobil agar dilihat Mas Asta kalau kamu
antar aku, itu percuma. Karena Mas Asta itu nggak satu kantor denganku.” Wajah
Arsa memerah mendengar perkataanku. Aku asumsikan kalau tebakanku itu benar.
Sekali lagi aku tersenyum sinis kemudian meninggalkan Arsa dan mobilnya tanpa
ucapan terima kasih. Toh bukan aku juga yang memintanya untuk mengantarku kerja.
“Widih. Pacar baru, Mbak? Ganteng
banget.” Seru Amel dengan mata menatap takjub ke arah Arsa yang saat ini
tersenyum ke arah kami sesaat sebelum masuk mobil.
Benar juga, sih, yang dibilang Amel
barusan. Kalau dilihat-lihat, Arsa memang terlihat ganteng dengan setelan baju kerjanya.
Sebentar, apa ini artinya itu orang bakal lama di Surabaya? Apa dia bekerja di
sini? Oh tidak! Aku pikir dia dan keluarganya hanya liburan. Sial!
“Ganteng, sih. Tapi nyebelin.” Jawabku.
Aku berjalan mendahului Amel untuk masuk ke kantor. Amel itu adalah sahabatku
yang sudah seminggu ini nggak bertemu denganku karena dia ambil cuti. Dialah
orang yang membawaku masuk ke Harsono Clothing. Dia sendiri bekerja di bagian
marketing. Kami bersahabat sejak SMA. Dia itu satu-satunya orang lain (di luar
keluarga) yang dekat denganku. Karena nggak banyak orang yang mau dekat
denganku. Aku bukan tipe orang ramah yang mudah berteman dengan siapa pun.
Mungkin karena sikap cuekku yang cenderung jutek itulah maka nggak ada orang
yang mau dekat-dekat denganku.
“By
the way, mana oleh-oleh dari Singapore?” Aku menodong Amel. Dia menyerahkan
paper bag coklat berukuran sedang ke
arahku. Aku menerimanya dengan senyum lebar dan ucapan terima kasih.
“Kiranya, ada hubungan apakah antara
Rhea Damanto dan lelaki tampan yang mengantarnya kerja barusan?” Amel berkata
dengan gaya bicara Feni Rose saat membawakan acara gosip. Aku tertawa sambil
menoyor pipinya.
“Norak! Udah, ah, mau nyiapain materi
buat rapat entar sore.”
“Duh… yang mau ketemu Mas Asta.” Goda
Amel lagi. Dia mneyikut-nyikut lenganku dengan heboh.
“Apaan, sih?”
“Jadi, Asta Praditta ataukah laki-laki
yang kedapatan mengantar Rhea Damanto itu yang akhirnya akan dipilih untuk menjadi
tambatan hatinya?” Lagi-lagi Amel berkata dengan logat Feni Rose.
“Ameeell?” Aku berseru dengan kesal.
Belum sempat aku menjitak kepala itu bocah, dia sudah keburu ngacir ke lantai
tiga. Dasar sableng!
Keingintahuan Amel mengenai Arsa nggak
berhenti sampai di situ. Selama jam kerja aku diteror pesan WhatsApp, line, BBM bahkan SMS (masih ya, hari gini memakai layanan sms untuk
kirim pesan) darinya yang menanyakan siapa cowok yang tadi pagi mengantarku.
Lebih gilanya, dia sempat-sempatkan main ke mejaku disaat aku sibuk menyiapkan materi
rapat sore nanti. Kalimatnya masih sama, “Siapa cowok yang nganter kamu pagi
tadi?”
Puncaknya sepuluh menit lalu. Tepat jam
duabelas siang Amel menghampiri mejaku untuk mengajak makan siang bersama. Padahal
aku tahu betul dia punya tujuan lain. Jadilah sekarang kami duduk
berhadap-hadapan di sebuah warung Soto Lamongan yang terletak di depan kantor.
“So,
siapa cowok tadi pagi?” See? Amel
langsung menodongku begitu kami duduk.
“Cowok tadi namanya Arsa. Dia teman
kecilku, anak sahabat Mama. Aku dijodohin sama dia.” Aku menjawab dengan lirih.
“WHAT?”
Aku langsung membungkam mulut Amel. Dia
lupa apa, sih, kalau saat ini warung Soto tempat kami makan siang sedang penuh
sesak?
Amel melepas tanganku dari mulutnya.
“Kamu…. Seorang Rhea… dijodohin?” Amel berkata dengan suara berbisik. Setelahnya
dia terbahak. Sungguh menyebalkan!
“Terus, nasib perasaan kamu ke Mas Atsa,
gimana?” Tanya Amel masih dengan sisa tawanya.
“Karena itu, Mel. Kalau dari apa yang dilakukan
Mas Asta semalem, kayaknya dia mulai tertarik sama aku, deh.”
“Wait!
Yang dilakukan Mas Asta semalam? Kamu… sama dia nggak─”
Aku berdecak kesal. Si Amel ini memang
drama banget. Pemikirannya suka ajaib. “Nggak seperti yang kamu pikrikan,
Amelia.” Sahutku dengan sebal. “Yang jelas, dari tatapannya aku melihat
ketertarikan.”
“Kalau aku jadi kamu, kayaknya lebih
pilih si Arsa, deh.”
Aku melempar tatapan minta penjelasan
pada Amel.
“Oke. Mas Asta memang lebih ganteng,
lebih putih, lebih terawat. Tapi, apa kamu nggak merasa risih dengan hal itu?
Masa nanti kamu bakalan nyalon bareng dia? Kalau Arsa, aku yakin dia nggak akan
mau perawatan di salon. Kecuali nungguin kamu nyalon, mungkin.” Amel berhenti
sejenak saat Soto pesanan kami datang. Dia mengucapkan terima kasih pada
pelayan warung kemudian melanjutkan, “Apa kamu nggak ngerasa kalau sebagai
cowok, Mas Asta itu terlalu kinclong?”
Mama ngasih panggilan Mas Asta cowok
cantik. Ares, barby boy. Dan sekarang
Amel bilang terlalu kinclong? Ini ada apa dengan mata mereka, sih? Perasaan Mas
Asta baik-baik saja. Oke, memang Mas Asta itu tipe-tipe cowok metroseksual yang
memperhatikan banget penampilan. Tapi bukan berarti dia ‘aneh’, kan?
“Emang kenapa? Kan kamu tau kalau aku
suka sama cowok yang bersih, rapi dan wangi. Dan Mas Asta memenuhi hal itu.
Lagi pula, dari apa yang aku lihat, Mas Asta nggak aneh kayak yang kamu pikir,
kok. Dia gentle.” Aku nggak terima
mendengar Mas Asta diremehkan.
“Aku kan nggak bilang Mas Asta aneh. Justru
malah kamu yang tanpa disadari memberi label aneh sama Mas Asta. Itu artinya
kamu setuju sama yang aku bilang. Apa yang aku katakana tadi, kan, hanya
pendapatku. Mungkin saja bisa salah.” Kata Amel kemudian nyengir.
Huh!
Menyebalkan. Ini yang nggak aku suka dari Amel. Terkadang mulutnya itu pedas
banget kalau lagi mengomentari orang lain. Kata-katanya memang nggak nyakitin,
tapi makna dibaliknya yang bikin hati panas.
Daripada debat kusir berkepanjangan yang
kalau diteruskan bisa jadi berantem, maka aku memilih diam dan mulai memakan
nasi Soto-ku.
───
“Baiklah. Sampai bertemu di acara
pembukaan festival besok lusa. Saya mengharapkan kehadiran Anda semua. Terima
kasih untuk hari ini, selamat malam.”
Aku menghembuskan napas lega saat Bu
Siska mengakhiri rapat malam ini. Rapat terakhir sebelum pembukaan festival
besok lusa. Aku melirik Mas Asta yang sedang berdiskusi dengan Bu Siska. Belum
ada tanda-tanda dia akan pulang. Ahh… harapan untuk mendapat tebengan pulang
pupus sudah. Apa lagi yang bisa kulakukan kecuali minta satpam kantor buat
mencarikan taksi. Maka, aku menyampirkan shoulder bag
di bahu. Dan mendekap expanding file tote
bag dalam pelukan.
“Bu Siska, Mas Asta, saya pulang
duluan.” Pamitku pada Bu Siska dan Mas Asta. Mereka serempak menoleh ke arahku.
“Hati-hati, Rhe.” Seru Bu Siska yang hanya
kutanggapi dengan senyuman. Sedangkan Mas Asta nggak berkata apa-apa, justru
malah mengembalikan tatapannya ke layar laptop. Hatiku mencelus menyadari itu.
Segitu nggak pentingnyakah diriku dimatanya? (Oke, drama)
Lampu Harsono butik sudah dimatikan
semua karena memang sudah jam sebelas malam lebih. Dengan agak-agak takut aku berjalan
menuju lorong sebelah butik yang memang dijadikan jalan untuk orang-orang
kantor (jadi, orang kantor kalau mau keluar masuk dilarang melewati pintu
Harsono butik).
Angin kencang menyambut begitu aku
membuka pintu lorong. Sampai aku harus memegang erat rokku yang tertiup angin.
Aku sedang celingukan mencari keberadaan Pak Imin, satpam kantor, saat sebuah
suara berseru memanggilku.
“Rhea?”
Aku menoleh ke arah suara tersebut.
“Eh.. Mas Asta. Butuh data yang ada padaku?”
Mas Asta menghampiriku setengah berlari.
Napasnya terlihat ngos-ngosan. Apa itu artinya dia lari dari lantai tiga? Buat
apa? Buat mengejarku?
“Bukan. Kamu nggak bawa mobil, kan?
Bareng aku aja, yuk.”
Ini dia yang aku tunggu-tunggu dari tadi.
“Berhubung memang nggak dijemput, aku mau deh.” Kataku sambil menyelipkan
rambut sebahuku yang berantakan tertiup angin ke belakang telinga. Mas Asta
tersenyum, kemudian tangannya melakukan gerakan yang mengisyaratkan aku untuk
jalan. Kami berjalan santai bersisian menuju mobil Mas Asta yang terparkir di
ujung halaman.
“Besok malam ada acara, Rhe?”
Aku menoleh untuk menatap Mas Asta,
tanpa berkata apa pun. Karena aku tidak menanggapi, Mas Asta berkata lagi. “Ada
film yang aku pengen tonton. Mau nemenin?”
Apa barusan itu bisa kuartikan sebagai
ajakan kencan? Hei… jangan bilang aku terlalu PD. Karena faktanya kami bukan
teman yang sudah kenal baik. Jadi, kalau dia mengajakku dengan alasan
pertemanan, rasanya itu nggak masuk akal. Apalagi mengingat apa yang dia
lakukan padaku semalam di parkiran.
“Boleh.” Kataku akhirnya dengan nada
kalem. Padahal dalam dadaku bergemuruh hebat.
Aku hampir meloncat saat terdengar bunyi
klakson beruntun dari arah mobil yang kami lewati. Aku menoleh ke arah mobil tersebut.
Arsa keluar dari mobil dengan wajah gelap. Saat itu juga aku baru ingat apa yang
dibilang Papa tadi pagi, kalau malam ini Arsa akan menjemputku. Tapi aku kan
nggak bilang mau pulang jam berapa.
“Apa gunanya punya handphone kalau ada yang telepon nggak diangakat?” Arsa berkata
dengan suara keras. Aku sampai menutup kedua telingaku. “Kamu tau berapa lama
aku nunggu di luar?”
“Nggak usah teriak-teriak. Aku kan nggak
suruh kamu buat jemput. Udah, aku mau pulang.” Kataku dengan berteriak juga
karena terpancing sikap Arsa.
“Ayo, Mas.” Aku menarik tangan Mas Asta
untuk menjauh dari Arsa. Tapi, baru beberapa langkah aku merasakan sebuah
tangan menarik lenganku. Arsa memaksaku untuk mengikutinya.
“Nggak kayak begini caranya memperlakukan
cewek.” Mas Asta berkata dengan tenang kemudian melepaskan cengkeraman tangan
Arsa dari lenganku. Karena saking syoknya dengan apa yang terjadi barusan, aku
hanya bisa melongo melihat kelakuan dua orang di depanku ini.
Arsa mengatupkan rahangnya kuat. “Apa lo
nggak punya urusan yang lebih penting dari mengurusi urusan orang lain? Apapun
yang gue lakuin ke cewek gue, itu bukan urusan lo!”
Aku semakin melongo mendengar perkataan
Arsa. Ceweknya? Maksudnya aku? Apa dia sudah gila?
Kemudian Arsa meraih tanganku dan menarikku
paksa masuk ke mobilnya. Mas Asta hanya berdiri mematung menatap kepergian
kami. Tanpa berusaha mencegah lagi. Tanpa berkata apa pun. Aku menatap Arsa
dengan sebal. Rasanya ingin sekali mencakar mukanya itu sampai babak belur.
Kami hanya saling diam selama dua puluh
menit di dalam mobil. Begitupula saat mobil Arsa berhenti di depan rumahku.
Tanpa berniat mengucapkan terima kasih, aku membuka seat belt kemudian membuka pintu untuk turun dari mobil. Sampai aku
teringat suatu hal. Sepertinya aku harus meluruskan suatu hal.
“Seperti yang aku udah bilang ke kamu
kemarin, aku menolak perjodohan kita. Jadi, perkataan yang kamu bilang ke Mas
Asta tadi jangan diulangi lagi. Aku menyukai dia. Dan aku harap, kamu ngerti
dengan keputusanku.” Kataku dengan tenang.
Arsa tidak menanggapi. Dia hanya
menatapku lekat-lekat dengan ekspresi wajah yang sulit kupahami. “Mulai besok
nggak usah repot-repot buat antar jemput aku ke kantor. Tolak saja kalau
keluargaku yang minta.” Lanjutku akhirnya.
Mata Arsa berubah nyalang. Dalam gerakan
cepat kedua tangannya meraih wajah dan pinggangku dalam waktu bersamaan. Yang
kurasakan selanjutkan bibirnya menyentuh bibirku dengan keras. Arsa menciumku
dengan kasar. Detik pertama aku syok tanpa melakukan apa-apa. Kemudian detik
selanjutnya aku mendorong keras tubuh Arsa. Entah karena memang tenaganya yang jauh
diatasku atau karena emosi yang menguasainya, berusaha melepaskan diri dari
tubuh Arsa saat ini sama sulitnya dengan berusaha lolos dari lilitan anaconda.
Hatiku sakit mendapati perlakuan Arsa
yang kurang ajar padaku. Tidak sampai satu menit, Arsa melepaskan bibirnya dari
bibirku karena mendengar isakku. Saat itulah aku memanfaatkan situasi dengan mendorong
kuat tubuhnya untuk menjauh dari tubuhku. Tanpa berkata apa pun lagi aku keluar
dari mobilnya dan berlari ke dalam rumah.
───
hmm, flash fictionnya keren juga :)
BalasHapuspanjang lagi, lumayan buat dipake tugas b.indo kalau ada :))
Bukan flash fiction, darling. Ini cerita seri. Bahasa jadulnya cerbung. Ati-ati aja asal nggak ketahuan guru kamu kalau ngejiplak saya. Lagian flash fiction mah bukan begini
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus