Ini
boleh nggak, sih, kalau aku minta izin Papa buat ke kamar gitu? Ngantuk banget.
Selesai makan siang para orangtua masih melanjutnya mengobrolnya di ruang
keluarga. Mia dan Janeta sedang seru main PS sama Ares dan Arsa. Sedangkan aku,
nggak tahu gimana ceritanya bisa terjebak duduk di sofa bareng para orangtua.
Aku
menyikut pelan siku Mama yang duduk di sampingku, “Ma, Rhea ke kamar ya?” Aku
bertanya, dan langsung mendapat tatapan tajam dari Mama.
“Ngantuk,
Ma.” Aku merengek.
“Nggak
sopan. Mendingan ikutan nimbrung sama Mas-mu sana.” Mama berkata setengah
berbisik.
“Oke.”
Aku menjawab dengan malas kemudian berdiri. Malas banget kalau harus bergabung
main PS sama itu cowok dua dan Mia-Janeta. Maka aku berjalan menuju teras
samping yang langsung terhubung dengan ruang keluarga. Siang ini lumayan sejuk.
Halaman rumahku memang banyak tanaman, sih. Ada beberapa pepohonan tinggi dan
tanaman-tanaman hias peliharaan Mama. Aku duduk di kursi rotan yang diletakkan
di dekat jendela.
“Masih
sekolah, Rhe?”
Aku
agak kaget saat tiba-tiba Arsa muncul di sebelahku. “Oh, itu... enggak.
Maksudnya udah lulus setahun lalu.” Jawabku dengan tergagap.
“Dulu,
kuliah di mana?” Arsa bertanya lagi sambil duduk di kursi rotan sebelahku.
“Arva
School of Fashion.”
“Ambil
jurusan?”
“Fashion desainer-lah. Apalagi memang.”
Ini kenapa jadi kayak dialog interviewku sama Bu Siska setahun
lalu, sih? Flat banget.
Baiklah,
demi memecah kecanggungan, sepertinya aku harus bertanya juga. “Emangnya pas
kecil dulu kita tetanggaan, ya? Seingatku dari aku kecil rumah sebelah itu
punya keluarga Pak Danang.”
Arsa
tersenyum. “Itu tetangga sebelah kanan rumahmu. Aku kan tetangga sebelah kiri.
Ya, itu dulu rumahku.” Arsa menatap rumah sebelah yang sekarang berdiri
menjulang di depan kami.
“Ohh…”
“Kamu
beneran nggak ingat aku?” Arsa menautkan kedua alisnya. Menatapku serius.
“Hehee…
enggak.” Jawabku dengan cengengesan. Kami saling diam untuk beberapa detik.
“Luka
dilutut kanan kamu masih ada?” Arsa bertanya.
Refleks
aku langsung melihat lutut kananku. Memang ada bekas luka yang sekarang
warnanya memutih. Tapi aku nggak ingat cerita dibalik luka itu.
“Kok
bisa tau, sih?”
“Itu
dulu kamu jatuh gara-gara ngejar aku yang ngambil boneka kamu. Nggak ingat
juga?” Arsa menjelaskan. Aku menggeleng.
Speechless. Dia masih ingat gitu sama
kejadian… sembilan belas tahun lalu. Aku saja sama sekali nggak ingat.
“Jangan-jangan
boneka beruang yang aku kasih buat hadiah perpisahan kita itu udah kamu buang
lagi?” Arsa bertanya lagi. Boneka beruang? Hadiah perpisahan?
“Boneka
beruang warna coklat itu bukan, sih?” Aku bertanya ragu. Wajah Arsa terlihat
sumringah. Dia mengangguk mengiyakan. “Diminta sama ponakanku. Ya aku kasih
aja.” Wajah sumringah Arsa berubah jadi kecewa.
Sampai
segitunya? Aku saja yang punya boneka itu biasa-biasa saja. Lagipula, masa iya
segede ini masih mainan boneka. Seingatku, aku hanya punya satu boneka itu
karena aku memang bukan tipe cewek pecinta boneka. Dan mengingat umurku yang
saat itu sudah tujuh belas tahun, maka saat Leora ponakanku meminta boneka itu ya,
aku berikan.
“Maaf,
deh. Nggak tau kalau itu dari kamu.”
“It’s
okay.” Arsa membuang tatapannya ke taman. “Udah gede ini juga. Masa masih
mainan boneka.” Arsa melanjutkan kemudian tersenyum.
“Kamu
sekeluarga emangnya pindah ke mana?” Aku bertanya.
“Jakarta.”
Jawab Arsa pendek. Aku hanya manggut-manggut.
“Non
Rhea.”
Aku
menoleh saat mendengar suara Bik Nah. “Ya, Bik?”
“Ada
tamu nyari Non.”
“Siapa?”
Tumben banget ada tamu yang nyari aku.
“Ngg…
lupa tanya namanya. Sekarang nunggu di teras depan.” Jawab Bik Nah kemudian
berlalu.
“Mau
ikut?” Aku menatap Arsa.
“Nemuin
tamu kamu, gitu?”
“Ya
kali mau ketemu sama pohon Rambutan yang Tante bilang tadi.” Aku menjawab
dengan candaan. Arsa tertawa pelan.
“Nggak,
deh.”
“Ya
udah. Aku tinggal kalo gitu.” Aku berkata kemudian berjalan menyusuri teras
samping yang langsung terhubung dengan teras depan. Agak kaget saat mendapati
Mas Asta duduk di salah satu kursi yang ada di teras.
“Mas
Asta?”
“Eh,
Rhe. Tadinya aku telepon kamu, tapi nggak diangkat. Makanya langsung masuk aja.
Aku ganggu acara keluarga kamu, ya?” Mas Asta berkata.
“Ah,
enggak kok. Cuma temen-temennya Mama. Lagi reuni kayaknya.” Aku duduk di kursi
satu lagi. “Ada perlu apa, Mas?”
“Oh,
ini. Ada titipan dari Bu Siska. Tadinya beliau juga telepon kamu pas kamu belum
lama ninggalin butik. Tapi nggak kamu angkat. Jadinya aku bawa aja. Kan rumah
kita lumayan deket.”
“Masa,
sih? Aku kok nggak dengar HPku bunyi, ya?” Bahkan sekarang aku lupa tasku tadi
kuletakkan di mana. Aku menerima map dari tangan Mas Asta. Kemudian membuka
untuk melihat isinya.
“Itu
hasil rapat hari ini. Ada perubahan susunan acara. Kamu diminta untuk kertik
ulang. Terus fotokopi sebanyak dua puluh lembar untuk rapat besok malam.”
“Rapat
lagi?” Aku memekik tertahan.
Mas
Asta tersenyum maklum. “Capek, ya, pulang malem terus?”
“Iya.
Sampek tengah malem gitu. Udah capek, ngantuk, masih harus nyetir sejauh Hr. Muhammad-Rungkut
lagi.”
“Mau
pulang bareng?”
Pengen
rasanya langsung teriak, ‘Mau banget, Mas.’ “Ngerepotin lagi dong ceritanya.”
Aku tersenyum.
“Ya
udah. Aku pulang aja. Kamu kan masih ada tamu, nggak enak kalau kelamaan
ninggal mereka.” Mas Asta berdiri. Aku ikut berdiri.
“Tamu
Mama, kok. Thanks ya, Mas, udah mau jauh-jauh nganterin
titipan Bu Siska.” Aku tersenyum sopan.
“Sama-sama.”
Bersamaan
dengan itu, segerombol manusia yang sedari tadi sibuk ngobrol di ruang keluarga
muncul dari ruang tamu. Obrolan mereka langsung terhenti dan menatapku sama Mas
Asta bergantian. Mas Asta mengangguk dan tersenyum sopan.
“Siapa,
Rhe?” Mama bertanya dengan pandangan penasaran.
“EO
buat acara festival butik, Ma. Ada urusan kerjaan.” Jawabku. Aku yakin, setelah
semua orang ini pergi, Mama pasti akan menanyaiku macam-macam. Beliau nggak
akan percaya begitu saja dengan jawabanku.
“Pulang
ya, Rhe.” Mas Asta berpamitan, kemudian menyentuh pelan pinggangku. Sumpah, aku
lumayan kaget dengan tindakan Mas Asta barusan. Bisa gitu ya, ngelakuin hal
kayak begitu di depan orangtuaku dan teman-temannya.
“Mari
semua.” Mas Asta menyapa semua orang kemudian berjalan keluar gerbang menuju
mobilnya.
Suasana
tiba-tiba terasa canggung. Semua mata masih terarah padaku. Memang sebegitu
anehnya, ya, melihat laki-laki dan wanita hanya berdua?
───
“Yakin
itu EO acara kantor kamu?” Mama bertanya padaku begitu semua orang pulang.
“Iya,
Ma. Dia nganter titipan Bu Siska, nih.” Aku menunjukkan map yang dibawa Mas
Asta tadi. Mama masih menatapku curiga.
“Mama
nggak suka kalau kamu dekat sama orang tadi.” Tegas Mama mengatakan itu.
Apa-apaan ini?
“Apaan
sih, Ma. Emangnya kenapa kalo aku deket sama Mas Asta?” Aku menatap Mama minta
penjelasan.
“Cowok
kok cantik begitu.”
“Itu
bukan cantik, Ma. Tapi rapi. Karena dia tipe cowok metroseksual yang
memperhatikan banget penampilannya.” Mama terlihat ragu dengan pembelaanku.
“Mama nggak ngira kalau Mas Asta itu gay,
kan?”
“Dari
penampilannya saja sudah kelihatan lho, Rhe. Dan setahu Mama, cowok model
begitu kebanyakan memang gay.”
Hah?
Seriusan itu Mamaku yang barusan ngomong? Kok jadi sarkas begitu? Oke, memang
Mas Asta itu tipe cowok metroseksual yang memeperhatikan penampilan banget.
Mukanya juga sehalus mukaku yang cewek ini. Yang aku yakin dia dapat dari
perawatan di klinik kecantikan. Tapi bukan berarti dia gay, kan?
Lagipula aku juga nggak ngelihat ada bedak di wajah Mas Asta.
“Mama
itu suka ngasal, deh. Udah, ah. Rhea mau ngerjain tugas dari Bu Siska.” Kataku
kemudian meninggalkan Mama yang masih berdiri di teras. Sedangkan Ares dan Papa
sudah masuk sejak tamu mereka pulang tadi.
Aku
melihat Papa sama Ares lagi main PS. Iya, Papaku yang umurnya lima puluh tahun
lebih itu, masih suka main PS. Kayaknya hobi PS Ares itu ya turunan dari Papa
ini. Aku berjalan melewati mereka untuk menuju kamarku yang ada di lantai dua.
“Rhea?”
Aku
berhenti di ujung pintu saat Mama memanggilku. Apa lagi, sih? “Kenapa, Ma?” Aku
menatap Mama yang kini berdiri di samping Papa.
“Mama
lupa. Nanti malam kita ke rumah Om Wiryo. Kamu nggak ada acara, kan?”
Ya
Tuhan. Baru ketemu, malamnya mau ketemu lagi? “Mau ngapain?”
“Kamu
itu mau dijodohin sama Arsa.” Ares menyahut tanpa menatapku. Yang langsung
mendapat pukulan dibahu oleh Mama. Aku melongo. Ini si Ares beneran apa ngaco,
sih?”
“Apaan?”
Aku bertanya.
“Om
Wiryo ngundang keluarga kita buat dinner.” Mama menjawab.
“Bukan.
Yang dibilang Ares tadi.” Aku menjelaskan.
“Ya
apa salahnya? Arsa anak yang baik, ganteng, mapan. Mama sama Papa juga kenal
baik sama orangtuanya. Daripada cowok cantik tadi.”
Seriusan,
deh. Mama kok nyebelin banget sih, ngomongnya? Tega banget ngatain cowok yang
lagi ditaksir anaknya dengan sebutan cowok cantik.
“Siti
Nurbaya udah mati kali, Ma. Nggak usah berusaha buat nyiptain Siti Nurbaya
baru, deh.” Aku berkata kemudian membalik tubuh dan berjalan menaiki tangga.
Tidak ada yang berkomentar. Aku hanya mendengar cekikian Ares.
Jadi,
inti dari kedatangan keluarga Ontowiryo ke rumahku siang ini nggak cuma buat
ngomongin masalah bisnis doang, tho. Itu lebih ke mereka ingin
mengenalkan aku dengan Arsa. Alias menjodohkan kami. Pantas saja, kenapa Papa
sama Mama keukeuh banget kalau aku harus ketemu keluarga
Ontowiryo ini.
Apa tadi? Perjodohan? Jangan harap.
Aku nggak mau dijodoh-jodohkan kayak begitu. Kayak aku nggak laku saja. Ya
memang sih, sekarang aku lagi jomblo. Tapi bukan berarti nggak laku, kan?
Lagipula, aku kan lagi naksir Mas Asta. Dan melihat dia care ke
aku akhir-akhir ini, kayaknya dia juga tertarik padaku. Iya, KAN?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar