Ya Tuhan, apa dosaku dimasa lalu
sehingga saat hari libur seperti ini pun masih saja ada yang mengganggu. Kenapa
juga sebelum tidur semalam aku nggak matikan saja itu handphone? Sehingga pagi buta begini nggak akan ada yang menggangguku.
Dengan paksa aku membuka mataku yang
rasanya masih sangat mengantuk. Siapa, sih, yang nggak tahu tata karma banget
begini. Aku mencari-cari handphone masih
dengan mata terpejam. Ini dimana, sih handphoneku.
Bunyinya nyaring tapi kok nggak ketemu-ketemu. Ough, ternyata nyelip di bawah
bantal.
“Halooo?” Aku menyapa dengan
malas-malasan.
“Maaf Rhea, hari libur begini
mengganggu.”
Mendengar suara Bu Siska di seberang
sana mataku sontak melebar dan aku langsung bangun terduduk. “Oh, Ibu. Nggak
pa-pa kok. Ada yang bisa dibantu?”
Aku berkata dengan nada sopan dan
mengangguk-angguk sopan. Seakan-akan Bu Siska itu ada di depanku. Nggak tahu
kenapa, kalau berhadapan atau berbicara dengan Bu Siska mendadak jadi sopan.
Mungkin karena pembawaannya yang berwibawa sehingga membuat membuat semua orang
menghormatinya.
“Saya hanya mau mengingatkan soal naskah
pidato pesanan saya kemarin.”
Aku langsung menepuk jidatku sendiri.
Karena kemarin seharian aku sibuk dengan ID
card peserta bazar dan panitia, maka aku melupakan kertas pidato Bu Siska
yang minta diketik ulang. Rencananya ingin aku ketik semalam. Tapi karena
badanku sudah sangat lelah, jadi aku menundanya.
“Oh, sudah, Bu. Ibu mau saya antar jam
berapa?” Bebohong untuk kebaikan nggak dosa, kan? Iya, untuk kebaikan diriku
sendiri maksudnya.
Bu Siska memang baik, jarang marah.
Kecuali kalau kesalahan kami sebagai karyawan itu sudah sangat fatal. Tapi,
marahnya Bu Siska itu nyeremin. Percayalah, sekali aja ngelihat Bu Siska marah,
lain kali nggak akan mau mengulangi lagi.
“Sejam lagi?” Jawab Bu Siska yang entah
itu pertanyaan atau pernyataan.
“Sejam lagi saya berangkat dari rumah
ya, Bu? Soalnya ini baru bangun.” Jawabku.
“Jam segini baru bangun?” Bu Siska
berkata dengan nada terkejut. Maka aku menoleh untuk menatap jam dinding bulat
warna putih di dinding kamarku yang berwarna nude. Oh, ternyata udah nggak pagi lagi, tho? Jam sembilan lewat banyak.
“Iya, Bu. Semalam habis begadang sama
Kakak saya nonton bola sambil ngerjain pesenan Ibu ini.” Jawabku sekenanya.
“Oh. Ya sudah. Saya harap nggak sampai
sejam lagi kamu sudah sampai. Terima kasih.” Kata Bu Siska kemudian memutus
sambungan telepon.
Aku menghembuskan napas lega. Tapi
sesaat kemudian, seperti tersengat aku bangun dari tempat tidur. Berjalan
menghampiri tas kerjaku yang kuletakkan di meja dekat jendela. Meja yang
sewaktu sekolah dan kuliah dulu kugunakan sebagai meja belajar. Tapi kini
beralih fungsi sebagai meja kerja. Buat ngerjain apa saja.
Aku menyalakan laptopku dan dengan cepat
mengetik ulang kertas Bu Siska yang penuh coretan kemarin itu. Kok serasa flash back ke masa SMA dulu, ya? Bangun
subuh demi mengerjakan PR yang belum aku kerjakan. Padahal sudah harus
dikumpulkan pagi itu juga. Aah, kebiasaanku itu kok ya nggak berubah-berubah.
───
“Pagi semuaa?” Aku berteriak lantang
untuk menyapa orang satu rumah. Ares─kakakku─sedang menonton Doraemon. Ya
ampun, umur hampir tiga puluh tahun nontonnya masih Doraemon. Emm,, sebenarnya
aku juga, sih.. J
Papa duduk di sebelah Ares dengan koran
di tangannya. Sedangkan Mama lagi sibuk sama Bik Nah di dapur. Nggak tahu lagi
masak apa. Dan, mereka semua entah kebetulan atau bagaimana, menjawab sapaanku
dengan serempak.
“Mau kemana udah rapi begitu?” Ares
menatapku dari kepala sampai kaki dengan tatapan seakan-akan celana pendek
sepaha warna krem dan polo shirt
warna putih yang kukenakan ini adalah bikini.
“Mau ke butik buat anter naskah pidato
Bu Siska. Kemarin belum kelar.” Jawabku sambil berjalan menuju dapur yang
terletak bersebelahan dengan ruang keluarga yang hanya dibatasi rak kayu
setinggi satu meter dengan lebar empat meter. Rak kayu yang digunakan untuk
menyimpan buku koleksi Papa dan Mama.
Kami, satu keluarga ini penggila buku
semua. Kalau Papa jelas buku tentang bisnis. Mama buku apa saja. Ares, jelas
buku tentang fotografi karena itu memang bidang kerjanya. Sedangkan aku,
kebanyakan fiksi dan beberapa buku non fiksi tapi yang ringan.
“Kamu mau kemana, Rhe?” Mama bertanya
sambil tetap sibuk memotong sayur.
“Ke butik, Ma.” Jawabku sambil mengambil
gelas dari rak. Menuang air putih yang ada di teko kaca di atas meja.
“Ini kan Sabtu, Rhe.” Mama Bertanya
lagi.
Aku menengguk minuman dulu baru menjawab
Mama. “Ada kerjaan yang aku bawa pulang. Dan Bu Siska mau aku anter kerjaan itu
sekarang. Ya udah, Rhea berangkat dulu ya, Ma.” Aku berkata sambil menghampiri
Mama kemudian mencium pipi kanannya. Lalu aku berjalan meninggalkan dapur.
“Tapi jam makan siang bisa pulang, kan?”
Mama bertanya setengah berteriak.
“Nggak janji, Ma.” Aku menjawab sambil
terus berjalan. Mama masih saja berkata tapi aku nggak menggubrisnya. Ini sudah
hampir satu jam lewat dari waktu Bu Siska telepon tadi. Kalau aku nggak
buru-buru berangkat, bisa kena amuk beneran.
“Sebelum jam makan siang usahain sudah
pulang ya, Rhe.” Kali ini Papa berkata saat aku melintasi ruang keluarga. Aku
menghentikan langkah. Kalau Mama cerewet meminta semua anggota keluarga hadir
di meja makan saat jam makan itu wajar. Kalau Papa? Mencurigakan. Ini ada apa,
sih? Mau ada Presiden datang?
“Kenapa emang, Pa?” Aku bertanya.
“Keluarga Om Ontowiryo mau datang.”
Jawab Papa yang kini tatapannya kembali ke koran.
“Oh.” Jawabku dengan anggukan. Kayak aku
tahu saja siapa Om Ontowiryo. “Oke. Rhea berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Aku
berkata sambil ngeloyor pergi. Aku sudah benar-benar telat. Dan nggak mau kena
amukan Bu Siska yang langka banget itu.
───
Rekor tercepatku. Jarak Rungkut – Hr. Muhammad
hanya dengan dua puluh menit. WOW nggak, tuh? Dari Surabaya ujung Timur ke
Surabaya ujung Barat cuma dua puluh menit. Nggak usah tanya kecepatan laju
mobilku berapa. Yang penting, aku sekarang tiba di butik dengan sehat sentosa
tanpa kurang suatu apa pun.
Aku turun dari mobil. Berjalan dengan
setengah berlari masuk ke butik. Mobil Bu Siska dan beberapa mobil yang tidak
kukenal terparkir manis di depan butik.
“Siang, Mbak Rhea.” Fitri, salah seorang
SPG butik menyapaku.
“Siang. Bu Siska ada?” Aku bertanya
basa-basi pada Fitri. Padahal jawabannya sudah pasti ada.
“Ada di ruang rapat.” Fitri menjawab
dengan santun.
“Hah? Rapat lagi?” Aku bertanya dengan mata
melotot. Itu Ibu Bosku nggak capek apa, ya? Weekend
begini masih saja kerja.
“Iya, Mbak. Sama pihak EO.”
“Ya udah. Aku naik dulu.” Kataku sambil
berjalan menuju tangga untuk ke lantai tiga.
Harsono Clothing ini terdiri dari empat
lantai. Lantai pertama dan kedua untuk butik. Lantai tiga untuk kantor, dan
lantai empat untuk gudang. Sedangkan pabriknya terletak terpisah. Tapi nggak jauh
juga, kok. Terletak di ruko bagian dalam, tapi masih satu kompleks pertokoan.
Sedangkan butiknya ini di pinggir jalan Raya.
Aku langsung menuju ruang rapat yang terletak
diujung ruangan. Bersebelahan dengan ruangan Bu Siska. Samar-samar aku mendengar
suara Bu Siska yang sedang berbicara. Aku mengetuk pintu. Pada ketukan pertama
langsung ada sahutan. Maka aku membuka pintu dan mendapati Bu Siska sedang
rapat bersama Mas Asta dan tiga karyawannya. Semuanya cowok. WOW banget nggak,
sih, Bu Siska ini? Sesiangan ini sudah dikerubutin cowok saja. Cakep-cakep
lagi.
“Selamat siang.” Aku menyapa semua orang
yang ada di ruang rapat, yang sedang menatapku.
“Siang. Masuk, Rhe.” Bu Siska
mempersilahkanku. Aku tersenyum dan berjalan menghampirinya. Menyadari bahwa Mas
Asta saat ini sedang mengamatiku sedari masuk hingga berdiri di samping Bu
Siska, membuat dadaku berdebar kencang.
“Ini pesanan Ibu kemarin.” Aku
menyerahkan Map biru yang berisi naskah pidato Bu Siska dan susunan acara.
Bu Siska menerimanya. Kemudian membaca
sekilas naskah yang kuketik. Kemudian berkata, “Oke. Terima kasih ya, Rhea.”
Aku tersenyum. “Sama-sama, Bu. Ada yang
bisa saya bantu lagi?” Sumpah, itu cuma basa-basi. Aku berharap banget Bu Siska
menjawab tidak.
“Emm… sepertinya nggak ada. Maaf, ya,
sudah mengganggu hari libur kamu.”
Syukurlah. Maka aku menjawab, “Nggak
pa-pa, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu.” Aku mengangguk sopan. Lalu menyapa
semua orang yang ada di ruangan itu. “Mari semuanya.” Yang dijawab serempak oleh
Mas Asta dan anak buahnya.
Handphoneku
berdering begitu keluar dari ruang rapat. Aku mengaduk-aduk isi tasku yang
ternyata rame banget. Ini handphone
dimana, sih? Nah, ketemu. Papa yang telepon.
“Ya, Pa?” Aku menjawab telepon sambil
terus berjalan menuruni tangga.
“Kamu dimana? Buruan pulang.”
Ini Bapakku kenapa, sih? Tumben banget
nanyain aku lagi di mana. Lagipula, perasaan aku tadi sudah bilang kalau mau ke
butik, deh.
“Lagi di butik, Pa. Tadi kan Rhea udah
bilang. Baru juga pergi tiga puluh menit yang lalu.” Aku bicara dengan sedikit
ngos-ngosan saat menuruni tangga lantai dua. Ini Bu Siska nggak ada niatan
untuk pasang lift apa, ya? Atau escalator, gitu? Naik turun tangga ke
empat lantai itu lumayan capek, lho.
“Ya sudah. Buruan pulang. Ini Om
Ontowiryo sekeluarga sudah datang.” Kata Papa akhirnya.
“Oke, Pa.” Aku berkata sambil melirik
Gucci Chrono warna putih yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Jam sebelas
lebih lima menit. Katanya jam makan siang. Masih sejam lagi, kali.
“Nggak pakai lama.” Papa berkata
kemudian memutus sambungan telepon tanpa berkata apa-apa.
Siapa, sih, Om Ontowiryo sekeluarga itu?
Sampai Papa berharap banget seluruh keluarganya ikut menyambut keluarga itu
orang. Calon presiden? Kayaknya bukan deh, ya. Aku tahu kali, capres kita itu
kan yang merah sama yang putih itu.
Entahlah. Daripada telat pulang dan
membuat Papa marah─yang biasanya berimbas ke adegan pencabutan segala fasilitas
yang biasa kugunakan─lebih baik buru-buru pulang. Dan, rekor kedua pagi ini.
Karena nggak tahu kenapa hari ini jalanan Surabaya kok lumayan lengang, aku
tancap gas dengan kecepatan tinggi. Alhasil, cukup dua puluh menit untuk tiba
di rumahku yang letaknya hampir diujung Timur Surabaya ini.
Ini rumahku kok banyak mobil, ya? Ada
tiga mobil asing. Gerbang rumahku juga terbuka lebar banget. Nggak kayak
biasanya yang tertutup rapat. Setelah memarkir mobil, aku keluar dan berjalan mendekati
Pak Tarjo yang sedang mencuci mobil Papa. Tukang kebun sekaligus penjaga
rumahku.
“Pak, ada acara apaan, sih?” Aku
bertanya pada Pak Tarjo.
Pak Tarjo mengerutkan dahinya kemudian berkata,
“Lah? Kok Non bisa nggak tau? Lagi ada pertemuan keluarga, kan?”
“Loh? Katanya Papa tadi, keluarga Om
Ontowiryo yang mau datang. Kok jadi pertemuan keluarga begini?”
“Ya saya ndak tau, Non.” Jawab Pak Tarjo cuek sambil tetap sibuk menggosok
mobil dengan spons yang penuh busa.
“Ya udah. Aku masuk, deh.” Aku berjalan
masuk sambil mengubek-ubek kantong Doraemon-ku lagi (baca tas), karena aku
mendengar handphoneku berbunyi.
Mataku langsung melebar begitu mendapati
invite dari Mas Asta. Untuk lebih
meyakinkan, aku melihat DP-nya yang terlihat cool karena dia memakai kemeja warna putih dengan lengan digulung
sampai siku. Nggak tahu kenapa, dadaku kembali berdebar. Dengan tersenyum, aku
meng-accept permintaan Mas Asta.
Eh? Kok ruang tamu sepi? Terus ini tamu
tiga mobil pada ke mana? Samar-samar aku mendengar suara orang tertawa dan
berbincang dari ruang keluarga. Wow? Sepenting apakah tamu ini sehingga Papa
sama Mama membawanya ke ruang keluarga? Selama ini kan, hanya keluarga dekat
saja yang dijamu di ruang keluarga. Aku kok makin penasaran, ya, sama keluarga
Om Ontowiryo ini. Jangan-jangan mereka itu sahabat lama orangtuaku. Kemudian
aku adalah anaknya yang dititipkan ke Mama dan Papa. Dan Om Ontowiryo itu
adalah pemilik kilang minyak terbesar di Timur Tengah. Oh, oke. Lupakan!
Terlalu sinetron kayaknya.
“Rhea?” Seorang wanita seusia Mama
memekik girang begitu melihatku muncul diambang pintu. Yang kukenali sebagai
Tante Rita. Pemilik sebuah Wedding Organizer
terkemuka di Jogja. Sahabat sehidup sekarat Mama semenjak SMA. Iya, Mamaku asli
Jogja. Sedangkan Papa asli Surabaya.
“Tante Rita? Apa kabar?” Aku menanggapi
dengan memekik juga. Kemudian aku menghampiri Tante Rita yang juga sedang
berjalan menghampiriku. Lalu kami melakukan ritual wanita kalau bertemu.
Pelukan dan cium pipi kanan-kiri.
“Baik. Kamu kok nggak pernah main ke
Jogja lagi, sih?” Tante Rita berbicara dengan kemayu. Memang seperti itulah gayanya kalau sedang bicara. Kalau
orang belum kenal mungkin akan menganggapnya benar-benar kemayu (dalam bahasa Jawa artinya sok cantik).
“Lagi sibuk sama kerjaan, Tan.” Aku
menjawab sambil mengamati Tante Rita yang sekarang jauh lebih kurus ketimbang
tiga tahun lalu, pertemuan terakhir kami. Dietnya sukses sepertinya.
“Rhea. Sapa yang lainnya juga, dong.”
Mama menegurku. Aku mengedarkan pandangan ke orang-orang yang ada di ruang
keluarga. Aku mengenal semua anggota keluarga Tante Rita. Tapi, merasa asing
dengan tiga orang lain yang sekarang menatapku dengan penuh minat.
Aku menyalami mereka satu per satu. Om
Dibyo suami Tante Rika, Janeta dan Mia anak-anak Tante Rita yang masih SMA kalau
nggak salah. Lalu menyalami tiga orang asing tadi.
“Ini Om Wiryo, Tante Syarika, dan Arsa
anak mereka.” Mama menjelaskan tanpa aku memintanya. Dan senyum nggak pernah
hilang dari bibirnya.
Akhirnya aku menyalami keluarga
Ontowiryo dan memperkenalkan diri. Emm, sebentar. Aku kok baru sadar ya, kalau
siapa tadi, Arsa ya? Ternyata lumayan keren juga. Diam-diam aku mengamati
penampilannya. Walaupun sedang duduk, aku bisa tahu kalau postur ini cowok
tinggi. Sekitar seratus delapan puluh. Badannya, tipe-tipe badan Rio Dewanto
yang suka bikin cewek tiba-tiba lapar itulah. Apalagi saat dibalut kemeja hitam
lengan panjang dengan ujung dilipat ke atas. Duh… sepertinya semua cowok suka
melakukan itu, ya? Kulitnya kuning langsat khas Jawa. Matanya tajam, alisnya
tebal, hidungnya mancung, rahangnya bergaris tegas, dagu dan pipinya ditumbuhi
bulu-bulu halus, dan… senyumnya manis.
“Rhe, duduk dong.” Suara Mama
menyadarkanku. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Semoga saja mereka tidak
menyadari hal itu. Aku berjalan mendekati Mama dan duduk di sampingnya.
Tepatnya di antara Papa dan Mama.
“Kamu ingat Arsa nggak, sih, Rhe?” Kali
ini Papa yang bertanya.
“Enggak.” Jawabku jujur.
“Masa kamu lupa? Mereka dulu tinggal di
sebelah, lho. Arsa ini temen main kamu pas kecil dulu.” Papa berkata.
“Nggak inget, Pa.” Aku menjawab dengan
tersenyum.
“Dulu Arsa suka nakut-nakutin kamu kalau
pohon rambutan depan rumah kamu itu ada hantunya. Sampai kamu menangis dan
nggak mau tidur sendiri selama berminggu-minggu.” Tante Syarika menyahut. Aku
hanya nyengir. Sumpah, nggak ingat sama sekali.
“Waktu itu kan mereka masih kecil, Ma.
Apalagi Rhea. Masih empat tahun kalau nggak salah.” Om Ontowiryo menyahut.
Aku menatap Arsa yang hanya
senyum-senyum. Duh, cobaan banget, nih. Senyumnya menggoda banget.
“Arsa, kamu nggak mau nanyain kabar
Rhea?” Tante Syarika menatap Arsa penuh arti.
“Oh? Apa kabar, Rhea?” Arsa menatapku.
Suaranya khas cowok banget. Berat, dalam. Aduduu, jadi deg-degan begini sih?
“Baik.” Jawabku singkat. Bukannya nggak
sopan, hanya bingung mau bicara apa lagi.
“Kalian harus sering-sering ngobrol.
Biar saling mengenal dan kembali akrab kayak dulu.” Tante Syarika berkata lagi
yang ditanggapi senyum oleh Mama dan Papa.
Sebentar. Ini kayaknya aku kok menangkap
sinyal-sinyal nggak beres, ya? Orangtuaku sama orangtuanya Arsa, kok mencurigakan
banget. Ini nggak akan ada cerita Siti Nurbaya, kan?
Selanjutnya, para orangtua sibuk
membicarakan ini itu. Yang kalau aku tidak salah tangkap isi pembicaraan
mereka, sepertinya Papa, Om Wiryo, dan Om Dibyo berencana untuk bekerjasama
membangun restoran Jawa di Surabaya sini. Oh, ngomongin bisnis, tho? Terus, ini anak-anaknya dianggurin
aja, gitu?
“Kita ke meja makan aja, yuk? Sudah
keroncongan ini perut.” Papa berkata yang disambut tawa dari semua orang.
Apanya yang lucu, coba?
Kadang-kadang suka heran sama para
pelaku bisnis atau big-big bos kalau
sedang bersama seperti ini. Seperti yang kulihat juga di kantorku antara Bu
Siska dan rekan-rekan bisnisnya. Mereka itu seringnya bercandanya garing, tapi
yang lainnya menanggapi dengan tawa yang berlebihan. Palsu banget nggak, sih?
Pernah juga dulu itu seorang karyawan bank partner
Bu Siska membuat kesalahan. Bu Siska merasa dirugikan dan besoknya, kepala
cabang bank tersebut datang dengan membawa sekeranjang buah sebagai tanda
permohonan maaf. Astaga. Sampai sebegitunya, lho.
Aku berdiri paling akhir setelah para
orangtua berjalan lebih dulu menuju meja makan yang ternyata rame banget dengan
makanan enak-enak.
“Sepertinya kita akan sering bertemu,
Rhe.” Arsa berjalan menjajariku. Samar-samar tercium wangi parfum maskulin yang
masih terasa asing di penciumanku.
Aku mengernyitkan dahi. “Maksudnya?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Arsa
malah tersenyum mencurigakan dan berjalan mendahuluiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar