Acara makan malam di rumah keluarga
Ontowiryo semalam berjalan ‘hangat’. Seenggaknya untuk keluarga Ontowiryo
sendiri dan juga keluargaku. Kalau bagiku sama sekali enggak. Mereka seperti
berkomplot untuk selalu mendekatkanku dengan Arsa. Seperti saat Tante Syarika
memintaku dan Arsa untuk mengambil pesanan kue di toko Bakery langganannya. Kemudian
saat Mama memaksaku untuk berkeliling rumah keluarga Ontowiryo dengan ditemani
Arsa. Kalau tidak ingat sopan santun, sudah pasti aku kabur dari sana. Menyebalkan!
“Malam, Rhea.”
Aku sedikit berjengit mendengar Mas Asta
menyapaku. Malam ini dia terlihat ganteng banget dengan setelan baju kerja yang
masih rapi pada jam segini. Wajahnya terlihat segar dengan bulu-bulu halus yang
mulai tumbuh disekitar rahang dan pipinya. Membuatnya terlihat semakin
maskulin.
“Malam, Mas.” Aku membalas sapaan Mas
Asta dengan nada riang. Jelas. Rasa sebalku mengingat acara makan malam semalam
langsung lenyap begitu melihat senyum Mas Asta.
“Ke atas bareng?”
“Boleh.” Aku meraup map yang berisi
berkas-berkas untuk rapat, laptop dan notebook.
Kemudian mengikuti langkah Mas Asta menuju ruang rapat di lantai tiga.
Sesampainya di ruang rapat aku langsung
meletakkan fotokopian data yang diantar Mas Asta kemarin ke setiap meja yang
sudah berisi beberapa panitia acara yang sudah mulai berdatangan. Bersamaan
dengan itu Bu Siska dan beberapa orang lagi masuk ke dalam ruangan. Aku
mengambil duduk di samping Bu Siska dengan laptop terbuka dihadapanku dan notebook warna hijauku. Siap mencatat apa
pun yang diinstruksikan Bu Siska.
“Selamat malam semua. Malam ini kita
akan membahas tentang perubahan susunan acara yang sebelumnya sempat disinggung
di rapat kemarin. Susunan acara baru, sudah saya siapkan di meja
saudara-saudara. Jadi, untuk acara pembukaan nanti saya inginnya─”
───
Ini si Ares mana, sih? Katanya mau
jemput. Tapi belum juga nongol. Kalau saja nyari taksi di jam sebelas malam kayak
begini gampang, sudah pasti aku pulang naik taksi, deh. Dan sejak sepuluh menit
lalu aku harus memasang senyum lebar setiap kali panitia-panitia acara festival
menyapaku saat mereka mau pulang. Walaupun sebenarnya aku lagi dongkol setengah
mati.
“Belum pulang, Rhe?” Bu Siska menyapaku.
Dia berjalan berdampingan dengan Mas Asta.
“Belum, Bu. Nunggu jemputan.” Jawabku
masih harus dengan senyum lebar.
“Mau bareng? Kita kan, searah.” Mas Asta
menawari.
“Nah. Tadinya saya mau menawari. Tapi
tau sendiri rumah saya di Pakuwon sini.” Sahut Bu Siska yang terlihat hanya
basa-basi. “Asta. Nitip Rhea, ya. Saya pulang dulu. Kalian hati-hati.” Kata Bu
Siska kemudian berjalan pergi tanpa menunggu jawaban dariku atau pun Mas Asta.
“Ayo, Rhe.” Mas Asta mempersilahkanku.
Dia membukakan pintu untukku, menahannya, membiarkanku lewat terlebih dulu,
baru dia menyusul di belakangku. Cowok banget, kan? Gimana nggak suka, coba.
“Kenapa untuk acara pembukaan festival
nggak jadi pakai tari-tarian Bali, Mas?” Aku bertanya pada Mas Asta.
“Katanya Siska kemarin, tarian Jawa
lebih masuk ke tema. Selama ini kan, kita taunya pusat batik ada di Jawa. Ya
walaupun hampir setiap daerah di Indonesia memiliki batik khas masing-masing,
sih. Aku juga nggak ngerti sama pendapat Siska itu. Ya namanya Bos, mana bisa
kita membantah kemauannya, Rhe.”
“Iya, sih.” Aku setuju dengan apa yang
dibilang Mas Asta barusan. Bu Siska itu orangnya keras. Apa yang dia inginkan,
ya harus dilakukan. Pendapat orang lain nggak akan diterimanya begitu saja.
“Mas Asta sudah lama kenal sama Bu
Siska?” Aku bertanya lagi.
Mas Asta menekan tombol lock pada kunci mobilnya sebelum menjawab.
“Lumayan. Dia itu sahabatku sejak kuliah. Ya sekitar dua belas tahun lah.” Mas
Asta berkata kemudian berhenti di depan Fortuner hitamnya. Aku mengikutinya.
“Wow. Udah lama, ya? Emang sejak dulu Bu
Siska gitu, ya orangnya?”
“Gitu gimana?” Mas Asta bertanya sambil membuka
pintu penumpang untukku.
“Keras, disiplin.”
“Oh. Kalau soal itu rasanya dari
zamannya dia bocah kali, ya.”
Aku tertawa pelan mendengar candaan Mas
Asta. “Mas kenapa nggak pacaran sama Bu Siska aja?” Sedetik kemudian aku menyesal
menanyakan hal itu. Duh! Kenapa bisa keceplosan begitu, sih?”
Bukannya tersinggung, Mas Asta malah tertawa.
“Ya nggak mungkinlah. Kami itu sahabat, Rhe. Nggak akan bagus jadinya kalau persahabatan
dicampur aduk sama roman picisan. Lagipula, aku sudah tau baik buruknya dia,
begitu pun sebaliknya. Rasanya aneh kalau sampai kami pacaran”
Tanpa kusadari aku menarik napas lega
saat mendengar jawaban Mas Asta. Peluang terbuka lebar. Karena yang kudengar
dari anak-anak kantor, Mas Asta itu masih single.
“Kamu sendiri, apa salah satu dari dua
cowok yang ada di rumah kamu kemarin itu adalah pacar kamu?”
Aku terdiam sesaat. Dua cowok di rumahku
kemarin? Siapa? Oh… pasti maksudnya Arsa sama Ares.
“Oh. Itu yang tinggi anak temennya Mama.
Kalau yang agak pendekan Ares, kakakku. Aku nggak ada pacar, kok.” Jawabku.
“Masa, sih? Cewek secantik dan semenarik
kamu nggak ada pacar? Nggak percaya, deh.”
Tanpa bisa dicegah, mendengar perkataan
Mas Asta tersebut, wajah dan hatiku menghangat.
“Seriusan, Mas. Aku orangnya nggak gampang
suka sama orang. Kalau kata sahabatku, sih, terlalu pilih-pilih. Menurutku,
kalau buat pasangan itu ya memang harus memilih. Masa asal comot aja, gitu.”
“Cowok seperti apa yang kamu suka?” Mas
Asta bertanya lagi. Wajahnya berubah serius. Menyadari itu, dadaku jadi berdebar.
“Ya kayak cewek kebanyakanlah.”
“Tinggi, ganteng, baik, pengertian,
cinta mati sama kamu, karir bagus?” Sahut Mas Asta.
“Kurang lebih.” Jawabku dengan
tersenyum.
“Aku masuk kriteria, dong.” Mas Asta
berkata dengan senyum jahilnya. Aku tahu perkataannya itu hanya bercanda. Tapi
tetap saja jantungku kebat-kebit nggak jelas. Maka dari itu, aku hanya
menanggapinya dengan tawa.
Tapi, mendadak tawa Mas Asta menghilang.
Dia menatapku serius. Tanpa sepatah kata pun. Aku membalas tatapannya. Saat itu
juga aku merasa aktifitas di sekitar kami seperti terhenti. Hanya ada aku dan
dia. Mas Asta mengangkat tangannya. Membelai pipiku dengan lembut. Aku tidak
menanggapi, juga tidak menolaknya. Hanya terpaku menanatap Mas Asta.
Seperti tersengat, Mas Asta menarik
jemarinya dari pipiku. “Sorry.” Kata
Mas Asta, salah tingkah. Mendadak suasana berubah canggung.
“Masuk mobil, gih. Udah malem.” Kata Mas
Asta. Aku jadi ikut salah tingkah akibat ulah Mas Asta barusan. Sesaat sebelum
aku masuk ke mobilnya, seseorang memanggilku.
“Rhea?”
Aku dan Mas Asta menoleh serentak. Arsa
berjalan menghampiri kami dengan langkah tegasnya. Senyum lebar tersungging di
wajahnya. Duh! Ini cowok nggak tahu banget kalau aku udah lama nungu-nunggu
momen cuma berdua Mas Asta seperti ini.
“Ngapain di sini?” Tanyaku. Tanpa
kusadari nada suaraku berubah jadi ketus.
“Jemput kamu.” Jawab Arsa kalem dengan wajah
tanpa dosa. “Tadi Ares telepon minta tolong aku buat jemput kamu. Dia lupa
kalau ada janji sama Kania.”
Oh. Jadi, adegan tadi pagi Mama memaksa
untuk pinjam mobilku itu─yang katanya mau dipakai ke rumah keluarga Ontowiryo
buat membicarakan masalah reuni SMA mereka─karena ini tho? Dan Ares, yang tadi pagi menawarkan diri untuk menjemputku mendadak
ada janji dengan Kania? Ah, klasik. Aku yakin, pasti ini rencana mereka.
Mungkin kerjasama juga sama Tante Syarika. Dasar! Licik banget.
“Dan dia minta kamu buat jemput aku,
tanpa ngasih tau aku dulu, gitu?” Tanyaku masih dengan nada ketus. Kemudian aku
melihat tatapan Arsa teralih ke Mas Asta. Mendadak senyum menghilang dari
wajahnya.
“Mas Asta, ini Arsa. Dan Arsa, ini Mas
Asta.” Aku memperkenalkan dua cowok itu. Mereka saling tatap sesaat, kemudian
berjabat tangan. Jabatan tangannya sama-sama tegas. Tanpa senyum. Tanpa sepatah
kata. Dan melihat hal itu perasaanku mendadak jadi nggak enak.
“Emm… Mas Asta, sorry, aku pulang bareng Arsa ya.” Kataku dengan menyesal. Menyesal
banget karena nggak jadi pulang bareng Mas Asta. Padahal─kalau aku nggak salah
mengartikan sentuhan Mas Asta tadi─dia kelihatan mulai tertarik padaku.
“It’s
okay, Rhe.” Jawab Mas Asta, tapi mukanya nggak ikhlas. “Lain kali kita
ngobrol lagi.” Lanjutnya.
“Oke. Sampai ketemu lagi.” Kataku
kemudian berbalik dan berjalan mengikuti Arsa menuju mobilnya.
───
“Kamu suka sama cowok tadi?” Arsa
berkata tanpa menatapku. Ini suara pertama yang muncul di mobil sejak kami
meninggalkan kantorku tadi. Padahal sekarang ini sudah hampir sampai di rumahku.
“Iya.” Jawabku. Dari ekor mata, aku
melihat wajah Arsa mengeras. Tapi hanya sesaat.
“Sudahi perasaan kamu itu daripada
nantinya terluka.” Lanjut Arsa dengan nada dingin.
Seketika aku menoleh untuk menatapnya.
“Maksudnya apa, tuh?”
Arsa membelokkan stir ke kompleks
rumahku sebelum menjawab. “Aku bakal kasih tau kamu alasannya. Tapi nggak
sekarang.”
Oh, okay.
Jadi si mister sok cool ini lagi sok-sokan jadi orang
misterius juga, tho? Badanku sedikit
tersentak ke depan saat Arsa menghentikan mobilnya mendadak. Tapi mataku tidak
teralih darinya.
“Lagi pula, kita dijodohin. Orangtua
kamu sudah bilang soal itu, kan? Jadi jangan coba-coba buat dekat sama cowok
lain.” Arsa berkata masih dengan nada dingin, tapi tegas.
Aku tertawa sinis. “Jangan berkata
seolah-olah kita akan benar-benar menikah, Arsa. Karena aku, menolak perjodohan
ini.” Jawabku dengan tegas. Aku melepas seat
belt dengan kasar. Kemudian meraih handle
pintu. Terkunci.
“Buka!” Kataku dengan suara sedikit
tinggi. Entah kenapa, sejak mendengar perkataan Arsa mengenai perasaanku
terhadap Mas Asta tadi, aku tiba-tiba jadi emosi.
“Kita memang akan menikah, Rhea. Kamu
nggak bisa mengelak dari perjodohan ini.” Arsa berkata dengan nada dingin dan
tajam.
Aku hampir nggak percaya dia mengatakan
itu. Karena kesan yang kutangkap saat pertama kali kami bertemu kemarin adalah
sikapnya yang hangat. Aku jadi ragu kalau saat kami kecil dulu bersahabat baik.
Aku tersenyum sinis. Kemudian berkata
dengan nggak kalah sinisnya. “Oh, ya? Kita lihat saja nanti. Sekarang buka
kuncinya. Aku mau istirahat.”
Arsa mengatupkan rahangnya kuat.
Menatapku tajam tanpa berkata apa pun. Dia memejamkan mata sesaat, lalu membuka
kunci pintu mobil. Aku segera turun dari mobil Arsa tanpa sepatah kata pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar