Beberapa bulan yang lalu aku pernah ngepost dengan judul ‘Letter to My Best Friends’. Menuliskan keluhanku tentang seperti apa renggangnya hubungan persahabatanku dengan enam orang yang sudah bersahabat denganku sejak masih bayi dulu. Tapi, banyak dari mereka yang nggak memahami bahasa yang kugunakan—padahal pakai bahasa Indonesia sehari-hari yang seharusnya gampang banget buat dipahami. Sehingga membuat mereka salah paham, salah mengartikan maksudku dan bilang kalau aku malah ngajak mereka berantem. Sebenarnya tujuanku menulis surat itu adalah untuk mengingatkan mereka betapa aku sangat menyayangi dan menginginkan hubungan persahabatan kami tetap awet sampai tua nanti. Agar kalian tahu seperti apa isinya, lebih baik langsung baca di sini. Semoga kalian mengerti dengan maksudku.
Sebagai
contoh adalah kalimat ini, “Aku yang terlalu sensitif dan mudah tersinggung. Reni dan
Umex dengan kata-kata cablaknya yang kadang tanpa mereka sadari itu membuat
yang lain tersinggung. Yuyun sama Dwex yang cenderung masa bodoh dan paling
santai. Vina yang konyol tapi juga paling bisa diajak ngomong serius. Dan
Mende, yang konyolnya nggak ketulungan.”
Maksud
dari kalimatku itu adalah menunjukkan sifat-sifat kami, yang justru membuat
kami bersahabat. Tapi, ternyata kalimatku itu mereka anggap sebagai genderang
perang. Katanya aku ngatain mereka. Aku shock.
Aku bingung mau menjelaskan dengan bahasa apa agar mereka mengerti. Tapi tetap
saja mereka nggak mau mengerti.
Setelah
aku ngepost surat itu, hubunganku dengan beberapa dari mereka menjadi sedikit
renggang. Terlebih lagi setelah munculnya si Sengkuni (sebut saja begitu karena
hobinya sejak kecil membuatku kesal dan emosi) yang mengompori kami, sehingga
semakin buruklah hubunganku dengan sahabat-sahabatku. Perasaanku saat itu
antara sedih, kecewa (karena ungkapan sayangku malah dianggap sebagai genderang
perang), marah, jengkel, kesal (karena sahabat-sahabatku nggak mengerti dengan
yang kumaksud lewat surat itu).
Lalu,
kegalauanku akan kehilangan mereka menghilang saat salah seorang dari mereka
yang kebetulan berpendidikan lebih tinggi dari kami dan tinggal di kota (maaf,
bukan maksudnya merendahkan yang nggak berpendidikan dan tinggal di desa,
karena faktanya selama saya ngorbrol sama mereka sama sekali nggak nyambung dan
mereka selalu salah paham dengan maksudku), dia mengerti maksud dari suratku.
Dia memahami maksudnya. Dia membantuku untuk menjelaskan kepada
sahabat-sahabatku tentang apa maksud suratku. Beberapa bulan kemudian, kami
kembali baik.
Tapi,
aku sudah terlanjur kecewa sama mereka. Aku memaafkan mereka. Tapi entah kenapa
sejak saat itu aku nggak sesayang dulu sama mereka. Karena aku menyadari, bahwa
selama ini sepertinya hanya aku yang menyayangi dan menginginkan persahabatan
itu. Karena faktanya, mereka nggak pernah ada untukku dan mereka hanya
mencariku saat butuh aku. Berada di antara mereka saat ini, seperti berada di
antara orang-orang baru. Mereka seringnya membahas tentang apa yang terjadi
pada mereka saat aku nggak ada di antara mereka. Aku merasa diabaikan. Merasa
nggak dihargai kehadiranku. Aku sadar, sih, sepenuhnya bukan kesalahan mereka.
Karena faktanya saat ini aku bekerja di Surabaya sedangkan mereka berada di
Ponorogo. Mungkin karena lingkungan pergaulan kami yang berbeda, uang akhirnya menyebabkan
ketidaknyambungan antara kami.
Sekarang
ini, aku nggak berani untuk menyebut sahabat kepada siapa pun. Karena aku takut
dikecewakan lagi. Padahal, ada satu teman yang diam-diam kusebut sahabat. Dia
selalu ada untukku, dia mau kurepotkan dan mau merepotkanku, dia datang padaku
saat menangis atau pun tertawa. Dia yang mengerti banget aku orang seperti apa
dan bagaimana cara menghadapiku saat sifat burukku lagi kambuh. Dia yang bisa
menerima segala kekuranganku sebagaimana aku menerima dia. Padahal, kami baru
kenal tiga tahun. Bukan puluhan tahun seperti aku dan enam orang sahabatku
tadi. Orang yang menyebalkan tapi sekaligus sangat baik. Sebut saja Santo (dia cewek). Seperti dialah yang kusebut sahabat.
Buatku,
nggak pa-pa kehilangan enam orang sahabat yang nggak tulus, asalkan memiliki satu
sahabat yang tulus padaku.
Pertanyaanku
adalah, apakah orang yang selama ini kamu sebut sahabat dan sangat kamu
sayangi, juga menganggap kamu seperti itu? Coba tanyakan pada dirimu sendiri. Pada
penglihatanmu. Bukan cuma mata, tapi juga hati.
Regards,
Anis
Keadaan memang sering jauh dari yg kita harapkan, tapi percaya aja pasti selalu ada seseorang yg mau menjadi sahabat kita diluar sana. Bukan sahabat namanya kalo nggak mau mengerti..ya kan?? :)
BalasHapussisepatukumal.blogspot.com
Nah, bener banget. Berarti dia cuma teman.
HapusSahabat yang Tulus itu emang susah dicarinya :)
BalasHapusBetup banget. Sudahkah kamu menemukan sahabat?
HapusEmang sulit ketemu sm org yg bs kita anggao sbg sahabat, aku aja baru nemu, 7 org, itu waktu kuliah n skrg kami masih sering komunikasi, mskipun brjauhan tp kami berusaha utk salibg mmbantu minimal mmbrikan support n doa..
BalasHapusSyukurlah Mbak punya tujuh. Aku aja cuma satu. Tapi itu lebih baik daripada banyak temen tapi nggak tulus sama kita. Mending satu tapi tulus. Iya enggak?
Hapus