Selasa, 08 September 2015
Tentang Hujan
Aku menatap kelas dihadapanku yang saat ini kosong. Terkesan hampa. Bukan hanya karena tanpa penghuni, mendung yang menghiasi langit sore ini menambah kesan hampa tersebut. Sesekali petir bersahutan di langit.
Ahh... aku benci hujan. Menurutku hujan adalah simbol kesedihan. Langit seakan sedang menangis. Setiap kali hujan turun, perasaanku pasti berubah jadi nggak enak.
Seperti sore ini. Sepertinya aku kurang pandai memilih waktu untuk datang ke sekolah. Karena segala kenangan yang ada di dalamnya yang membuat separuh hatiku menghilang selama delapan tahun ini, ditambah hujan. Kombinasi yang tepat untuk membuatku sedih.
Aku menatap kelas sekali lagi. Ya. Ini adalah kelasku delapan tahun lalu. Kelas dimana penuh dengan kenangan tentang masa putih abu-abu, teman, sahabat dan cinta pertama. Disinilah kami menghabiskan masa bersama.
Aku seperti mendapati diriku dan dia duduk berdampingan di bangku nomor dua dari depan, dekat jendela. Dia tertawa, khasnya dia. Tawa keras yang renyah dan membuat siapapun yang mendengarnya ikut tertawa bersama.
Tujuanku kemari? Jangan tanya. Aku sendiri juga bingung. Kenapa dari sekian banyak tempat di kota ini--yang sudah kutinggalkan selama empat tahun--aku memilih untuk datang kemari. Dan membiarkan ribuan kenangan menyerbu keluar tanpa ampun. Ribuan kenangan yang sekarang menyerangku bersamaan, membuat dadaku sesak dan seketika mataku terasa panas.
Ahh... aku benci perasaan seperti ini. Rasanya dadaku sesak dan nggak enak. Semakin lama disini, bisa-bisa aku mati kehabisan napas. Aku membalik badanku. Menghindarkan pandanganku dari kelas. Di depanku tetes air hujan semakin lebat. Dasar bodoh. Bahkan aku melupakan payung.
Aku menengadah menatap ke langit yang gelap. Air semakin deras berjatuhan. Aku menadahkan tanganku ke tetesan air dari atap. Rasanya dingin. Sedikit membuatku rileks. Tapi, perasaan itu tidak lama berlangsung. Karena dadaku kembali sesak mendapati sosok yang berdiri sekitar lima meter di depanku--di tengah koridor penghubung kelas.
Walaupun derasnya air hujan membuat pandanganku buram, tapi aku tahu kalau itu adalah dia. Dia, pusat sakit hatiku. Dia, penyebab kekosongan di dadaku. Dia... yang saat ini pun masih membuat dadaku berdegup tanpa ampun.
Seakan tanpa dosa, dia tersenyum ke arahku. Menyebalkan!
Sabtu, 04 Juli 2015
KADO UNTUK BLOGGER #TerusBergegas GagasMedia
Woaaa…
HAPPY BIRTHDAY GagasMedia. Nggak terasa
sudah 12 tahun. Pertama kali kenal GagasMedia itu sekitar tahun 2008. Iya, sik,
telat banget. Buku pertama yang bikin aku jatuh Cinta pada GagasMedia adalah Seandainya karya Windhy Puspitadewi, tentang
persahabantan dan cinta di masa SMA antara Rizki-Juno-Arma-Christine. kemudian
kisah pilu sekaligus konyol antara Saka-Denia-Janu dalam Dia-nya Nonier.
Baiklah…
bismillah. Tahun ini mau ikutan Kado untuk Blogger dari GagasMedia. Iya, untuk
pertaman kalinya semoga nggak mengecewakan. Berikut ini adalah jawabanku dari
12 pertanyaan dari GagasMedia.
Sebutkan 12 judul buku yang paling
berkesan setelah kamu membacanya!
- Novel inspiratif Pilar-Pilar Emas, penulisnya lupa. Nemu di perpustakaan pas SD dulu.
- Laskar Pelangi, oleh Andrea Hirata (Bentang Pustaka)
- Salad Days, oleh Shelly Salfatira (Gramedia Pustaka Utama)
- Waktu Aku Sama Mika, oleh Indi Sugar (Homerian Pustaka)
- Priceless Moment, oleh Prisca Primasari (GagasMedia)
- Versus, oleh Robin Wijaya (GagasMedia)
- Pre Wedding Rush, oleh Oke Sepatumerah (Stiletto Book)
- 5 CM, oleh Donny Dhirgantoro (Grasindo)
- Hafalan Shalat Delisa, oleh Tere Liye (Republika)
- The Truth About Forever, oleh Orizuka (GagasMedia)
- Tahta Mahameru, oleh Azzura Dayana (Republika)
- Rectoverso, oleh Dewi Lestari (Bentang Pustaka)
Buku apa yang pernah membuatmu
menangis, kenapa?
Priceless
Moment-nya Prisca Primasari. Sedih dengan nasib Yanuar yang ditinggal meninggal
istrinya dan membuatnya harus berperan menjadi Ayah sekaligus Ibu untuk kedua
anaknya yang masih kecil-kecil, Hafsha dan Feru. Novel keluarga yang bikin aku
jadi mikir banyak tentang keluargaku sendiri. Tentang adikku yang sudah seperti
sahabat buatku, tentang perselisihanku dengan Bapak, tentang Ibu yang begitu
sabar menghadapi kami, juga tentang kakaku yang seperti nggak perduli padaku
dan adikku. Tentang betapa banyak waktu yang kulewatkan tanpa mereka. Tentang
bagaimana aku lebih memilih pekerjaan dibanding pulang untuk bercengkrama
dengan mereka. Aku nggak mau mengalami apa yang terjadi pada Yanuar. Baru
menyadari betapa penting kebersamaan dengan keluarga, setelah kehilangan salah
satu diantarantya.
Apa quote dari buku yang kamu ingat
dan menginspirasi?
Quote
dari novel 5 cm yang menginspirasi banget buat mewujudkan mimpi.
“Setiap kamu mempunyai mimpi atau
keinginan atau cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu. Jangan
menempel, biarkan dia menggantung, mengambang 5 cm di depan kening kamu. Jadi
dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu.”
Siapakah tokoh di dalam buku yang
ingin kamu pacari? Berikan alasan kenapa kamu cocok jadi pasangannya!
Ferre-nya
Supernova. Ganteng, tinggi, smart,
karir cemerlang. Alasannya, karena Ferre cowok sempurna, pantesnya sama cewek
kurang sempurna kayak aku. Hitung-hitung bantu
memperbaiki keturunanku lah… :))
Ceritakan ending novel yang berkesan dan tak akan kamu lupakan!
Ending
novel Pre Wedding in Chaos karya Elsa
Puspita. Cerita dari awalnya, sih, kelihatan manis banget. Sepasang kekasih
sempurna yang sangat bahagia. Yang akhirnya memutuskan menikah setelah
berpacaran selama sepuluh tahun. Semua persiapan pernikahan sudah hampir
selesai sampai akhirnya pernikahan harus dibatalkan hanya karena alasan konyol.
Si tokoh cewek nggak mau mempunyai anak sedangkan tokoh laki-lakinya sangat
menginginkan anak. Karena perbedaan tujuan menikah itulah yang membuat mereka
akhirnya memutuskan buat berpisah dan si cowok menikah dengan wanita lain, kemudian
memiliki anak. Sedih banget dan seperti nggak adil buat si cewek. Sehabis baca
novel ini, berhari-hari setelahnya belum juga bisa move on.
Buku pertama GagasMedia yang kamu
baca, dan kenapa kamu memilih itu?
Seandainya
karya Windhy Puspitadewi. Alasan kenapa memilih buku ini, karena blurb di back covernya benar-benar menggodaku. Serasa baca kisah sendiri aja
gitu. Apalagi bagian kalimat ini, “Seperti
putri duyung di dongeng itu, kelak aku akan menjadi buih dan membawa mati semua
rahasia hatiku. Sebut aku pesimis, tapi sudah terlalu lama aku menunggu saat
yang tepat untuk kebenaran itu. Dan selama itu, aku melihat bagaimana
benih-benih perasaanmu kepadanya pelan-pelan tumbuh hingga menjadi bunga yang
indah.”
Dari sekian banyak buku yang kamu
punya, apa judul yang menurutmu menarik, kenapa?
Interlude-nya
Windry Ramadhina. Menurutnya judul ini unik dan mencerminkan musik banget.
Karena dalam ceritanya si tokoh laki-laki adalah seorang seniman. Seniman jazz
musik favoritku.
Sekarang lihat rak bukumu, cover
buku apa yang kamu suka, kenapa?
Interlude.
Dengan perpaduan biru muda dan biru tua, hijau, serta gambar punggung seorang
wanita yang mengesankan keanggunan, manis, seksi, cantik sekaligus kepedihan
dari ekspresi si cewek itu. Pertama kali melihat covernya saja aku langsung
jatuh cinta.
Tema cerita apa yang kamu sukai,
kenapa?
Drama
action. Misal tentang kisah cinta
agen rahasia dengan putri dari musuhnya, dan terjadi banyak pengorbanan serta
penghianatan dibaliknya. Ahh… seru pasti. Tapi di Indonesia nggak begitu banyak
cerita dengan tema ini.
Siapa penulis yang ingin kamu
temui, kalau sudah bertemu, kamu mau apa?
Winna
Efendi. Kalau sudah ketemu jelas bakal meluk, terus minta foto berdua. Muji-muji
tulisannya, pasti. Terus tanya-tanya soal dunia kepenulisan terutama fiksi.
Tapi kayaknya yang bakal aku lakukan malah diam menatapnya dengan takjub kayak
orang bego.
Lebih suka baca e-book atau buku
cetak, kenapa?
Buku cetak. Karena aku sangat mencintai buku lebih
dari apa pun. Buku yang benar-benar buku. Susunan dari banyak lembar kertas dan
ada covernya. Buku yang bisa disentuh setiap aku ingin, buku yang bisa ditaruh
di rak.
Sebutkan 12 kata untuk GagasMedia
menurutmu!
Keren,
unik, berani, cerdas, bijak, incredible,
WOW, gorgeous, menggoda, elegant, nggemesin, ngangenin.
Semoga jawabannya memuaskan... sekali lagi HAPPY BIRTHDAY GagasMedia
Minggu, 28 Juni 2015
Ada Masa Dimana Aku Sangat Menggilai Bola
Ada masa dimana aku sangat menggilai bola. Bahkan ada
yang bilang aku rasis dan anarkis. Tim favoritku dulu, kalau dalam negri PERSIB
Bandung, kalau luar Manchester United. Katanya sepakbola adalah pemersatu
dunia. Tapi kok pendapatku lain, ya. Sepakbola seperti lebih ke pemecah dunia.
Karena hanya dengan saling mendukung kesebelasan masing-masing negara bisa
membuat para suporter antar kesebelasan bermusuhan. Jangankan yang beda negara,
yang satu negara saja bisa berkelahi dan saling bunuh hanya karena bola.
Seperti yang terjadi padaku sendiri. Ada masa dimana
aku saling melempar cacian, makian dan sumpah serapah dengan the Jack Mania (supporter Persija) serta Aremania (supporter Arema) yang notabene adalah
musuh bebuyutan PERSIB Bandung dan Persebaya Surabaya. Semua tahu klub ini
saling bermusuhan sejak dulu. Mereka menyebutnya duel el clásico-nya Indonesia. Layaknya Manchester United dan Chelsea,
Barcelona dan Real Madrid.
Bahkan aku sampai bertengkar dengan teman sendiri
hanya karena dia menghina PERSIB dan aku nggak terima. Kemudian aku membalasnya
dengan hinaan juga. Parahnya, gara-gara bola tercipta dua kubu dalam
keluargaku. Kubu pertama terdiri dari aku dan adik laki-lakiku─aku pendukung
PERSIB Bandung sedangkan adikku pendukung PERSEBAYA Surabaya (kedua tim ini
disebut sebagai sekutu). Kubu kedua terdiri dari Abang dan Bapakku─Abang
pendukung Arema Malang dan Bapak pendukung Arema sekaligus PERSIJA.
Setiap kali pertandingan mempertemukan keempat tim
itu, maka suasana di rumahku akan sangat panas. Saling mengejek dan menghina
masing-masing tim. Kalau sudah begitu, maka Ibu yang akan jadi penengah.
Ahh… kadang aku merindukan masa childish seperti itu.
Sekarang? Aku masih menyukai bola, tapi tidak segila
dulu. Masih menonton pertandingan bola, tapi tidak sesering dulu. Kalau dulu
emosiku langsung tersulut setiap kali mendengar ada yang menghina tim
favoritku, sekarang aku hanya akan tersenyum. Kalau dulu aku rela bangun tengah
malam dan begadang demi menonton pertandingan tim favorit, sekarang lebih
sayang kesehatan karena banyak hal yang lebih penting yang harus kulakukan
untuk kelangsungan hidupku di muka bumi ini.
Ada masa dimana aku pernah menjadi sangat
kekanak-kanakan. Ada masa dimana aku pernah menjadi anarkis dan rasis hanya
karena fanatik terhadap suatu hal. Ada masa di mana aku bermusuhan dengan teman
dan keluarga sendiri hanya karena bola. Seiring berjalannya waktu, seiring
bertambahnya usia, dan seiring bertambahnya aku menjadi dewasa, hal-hal konyol
yang kulakukan dulu menghilang dengan sendirinya karena ada hal yang jauh lebih
penting dari sekedar maki-makian. Aku berubah jadi orang yang sangat mencintai
perdamaian. Bahkan sekarang aku cenderung lebih memilih untuk diam atau
mengalah setiap kali terjadi perselisihan. Karena aku menjaga satu hal,
perdamaian.
Jadi, kalau sampai usia segitu tuanya masih suka
tawuran karena bola, berarti orang itu belumlah menjadi dewasa. Ingat, bahwa
tingkat kedewasaan seseorang itu tidak ditentukan dari usia mereka. Orang
berusia tiga puluh tahun bisa jadi lebih childish
dari anak usia lima belas tahun.
Intropeksi diri, merenungi kesalahan, mengakui
kesalahan, kemudian mengubah kesalahan menjadi kebaikan.
^_^
Anis
Minggu, 21 Juni 2015
[ Short Story ] COMPLICATED Part 6
Tanganku meraba-raba
sekitar masih dengan mata terpejam. Mencari keberadaan iPode yang selalu kugunakan
setiap malam untuk memutar musik sebelum tidur (iya, aku nggak bisa tidur kalau
nggak ada musik). Begitu mendapatkan iPode-ku,
aku membuka mata dengan memicing. Menekan tombol play pada layarnya kemudian menambah volume suara. Berharap lagu All of Me versi Boyce Avenu yang
sekarang bergema melalui earphone di
telingaku ini bisa meredam suara berisik dari lantai bawah. For God’s sake! Ini hari Sabtu, lho. Dan
aku butuh waktu yang lama untuk tidur karena siang nanti aku harus ke Supermal buat
persiapan pembukaan festival besok pagi.
Aku kembali terbangun saat mendengar
ketukan di pintu kamarku yang lebih mirip dengan gedoran debt collector itu. Siapa, sih, yang rese banget begitu. Biasanya
Mama juga masa bodo kalau aku bangun siang pas hari libur. Dengan kesal aku
menarik bantal yang kupakai sampai menutupi telinga. Tapi ternyata volume keras
di earphone dan bantal yang kugunakan
untuk menyumpal telinga ini masih nggak membantu. Akhirnya aku bangun dengan mendengus
kesal. Dan dengan kasar melepas earphone
dari telinga. Dengan berjalan terseok dan mata setengah terpejam aku membuka
pintu.
“Duh! Apaan, sih, Ma? Rhea masih pengen
tidur. Nanti siang udah harus ke Supermall, lho.” Semburku begitu melihat wajah
Mama.
“Kamu itu. Ini udah jam delapan, lho,
Rhe. Bangun kenapa? Lain kali kalau habis subuh jangan tidur lagi. Pamali,
tau.” Mama malah mengomeliku.
Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan
gemas sambil berkata, “Biasanya Mama juga nggak pernah protes. Udah, ah. Rhea
mau tidur lagi. Jangan dibangunin kalau Rhea belum bangun sendiri.”
Mama menahan pintu yang akan kututup
dengan kedua tangannya. “Nggak boleh tidur lagi. Mandi, dan buruan turun. Ada
keluarga Ontowiryo di bawah.”
“Siapa?” Mataku langsung terbuka lebar
begitu mendengar perkataan Mama.
“Iya. Dan Mama udah cukup malu karena
anak perempuan Mama jam segini belum bangun juga. Buruan mandi. Terus kita
sarapan bareng.” Kata Mama kemudian membalik badan dan berjalan menuju tangga.
Keluarga Ontowiryo itu nggak punya
kerjaan banget apa, ya? Pagi-pagi buta di hari Sabtu begini sudah berada di
rumahku. Demi apa pun, aku nggak mau ketemu Arsa si Kunyuk itu.
Walaupun kesal dan malas banget buat
bertemu Arsa, akhirnya aku menurut perkataan Mama juga. Jam setengah sembilan,
aku turun dari kamar. Sengaja banget untuk dilama-lamain turunnya. Keluargaku
dan keluarga Ontowiryo lagi ngobrol seru sambil tertawa-tawa heboh di ruang
keluarga saat aku turun.
“Eh, Rhea. Selamat pagi sayang. Kami ganggu
istirahat kamu, ya?” Tante Syarika berdiri dan langsung menyambutku begitu aku
tiba di hadapan mereka. Kami melakukan ritual wanita, cipika-cipiki. Emm, lebih
tepatnya Tante Syarika sih, yang melakukan itu.
“Nggak kok, Tan. Udah bangun dari tadi.”
Bohong banget. “Halo, Om.” Kemudian aku menyapa Om Ontowiryo, tanpa menyapa
Arsa. Hal itu membuat orangtuaku dan orangtuanya saling pandang dengan tatapan
heran.
“Hai, Rhe.” Arsa menyapaku dengan senyum
lebar. Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang palsu banget. Sumpah!
Saat ini rasanya aku ingin melempar vas bunga di depannya itu kalau nggak ingat
ada keluarga kami. Dasar Sengkuni. Jahat banget.
“Karena kamu lama, kami tadi sarapan
dulu.” Kata Mama.
“Nggak pa-pa, Ma. Rhea ke dapur dulu
buat cari makan.” Kataku kemudian berjalan ke arah dapur.
Di atas meja sudah terhidang nasi goreng
dalam mangkuk kaca. Hmm… nasi goreng seafood
kesukaanku. Aku menuang satu sendok nasi ke atas piring. Kemudian mulai
melahapnya tanpa mempedulikan keberadaan keluarga Ontowiryo.
“Rhe? Habis makan kamu siap-siap, ya.”
Mama berseru dari ruang keluarga.
“Buat?” Aku menatap Mama dengan waswas.
Filingku menangkap sesuatu yang nggak beres.
“Kita mau ke acara reuni kampus Mama
sama Tante Syarika.” Jawab Mama dengan nada ceria. Oh, ternyata acara reuni itu
beneran ada, tho? Kirain cuma akal-akalan Mama buat cari-cari alasan perihal
dia pinjam mobilku kapan tau itu.
“Duh! Rhea nggak bisa, Ma. Siang ini
harus ke Supermall buat persiapan pembukaan festival besok.” Jawabku dengan
mulut penuh makanan. Aku melihat Arsa tersenyum saat menatap ke arahku. Sialan!
Benar-benar manusia nggak tahu malu.
“Siang, kan, ke Supermal-nya? Acara
reuni Mama jam sepuluh ini, kok. Nanti siang kamu boleh pergi, deh. Biar
dianter sama Arsa.”
Ini Mamaku cara berpikirnya memang ajaib
banget, deh. Di antar Arsa? Nggak akan. Lebih baik aku bayar taksi daripada
harus diantar itu Sengkuni.
“Aduh, Ma. Rhea nggak ikut, deh.” Aku
masih berusaha membujuk Mama.
“Nggak ada alasan. Masa teman-teman Mama
pada bawa keluarganya, Mama nggak sendiri.”
“Kan ada Ares, Ma. Bilang aja Rhea lagi
ada kerjaan.” Aku masih berusaha menolak.
“Rhea!” Mama berkata dengan nada yang
nggak bisa dibantah. Ditambah lagi pelototan tajamnya yang mengintimidasi itu.
Aku menghembuskan napas sebal. Pasrah.
“Oke.” Jawabku dengan malas.
───
Acara reuni kuliah yang Mama bilang
tadi, ternyata jauh di luar bayanganku. Aku membayangkan reuni diadakan di sebuah
gedung dan dihadiri oleh ratusan atau bahkan ribuan orang. Tapi ternyata, nggak
ada seratus orang. Hanya teman-teman satu geng-nya Mama dulu. Termasuk Tante
Syarika dan Tante Rita (iya, jadi dulu Mama dan Tante Rita merantau ke Surabaya
untuk kuliah, dan disinilah mereka kenal Tante Syarika). Yang bikin banyak
adalah keluarga yang mereka bawa. Dan satu lagi, diadakan di rumah seorang
teman Mama yang berada di Pakuwon City. Gila, rumahnya gede banget. Kata Mama,
si Tante Marini─teman kuliah Mama yang punya rumah ini─adalah istri seorang
pengusaha timah sekaligus pemilik perkebunan kelapa sawit yang ada di Bangka.
Rumah Tante Marini bergaya Eropa klasik
dengan pilar-pilar tinggi. Ada patung Dewa Yunani berukuran besar yang terletak
di tengah-tengah halaman. Kalau aku nggak salah adalah Dewa Zeus. Udaranya juga
sejuk karena banyak ditanami pepohonan. Acaranya sendiri diadakan di ruang tamu
yang luasnya luar biasa. Ruang tamu rumah Tante Marini ini langsung terhubung
dengan halaman samping. Di halaman itu terdapat banyak bunga anggrek dengan
berbagai macam warna. Ini pasti koleksi Tante Marini. Ada juga satu set kursi
kayu dengan ukiran Jawa di beranda samping. Dan sebuah gazebo dengan atap
berupa ijuk, ada di salah satu sudut taman. Keempat tiangnya dililit dengan
kain kotak-kotak hitam putih khas Bali. Ini rumah Tante Marini rame budaya, ya,
ternyata.
“Rhea?”
Aku menoleh saat mendengar suara Mama.
“Ya, Ma?”
“Ini Tante Marini. Teman kuliah Mama
dulu. Mar, ini Rhea, anak bungsuku.” Mama memperkenalkanku pada Tante Marini.
“Halo, Tante.” Aku bermaksud menjabat
tangan Tante Marini, tapi dia malah menghambur dan mengecup pipiku kanan kiri.
“Halo, Rhea. Kamu cantik banget. Persis
kayak Mamamu pas muda dulu.” Tante Marini berkata dengan ceria. Walaupun
seumuran Mamaku, tapi Tante Marini ini terlihat lebih muda. Jelas banget kalau
Tante Marini mendapatkannya dari perawatan mahal. Matanya sipit khas chinese dengan kulit putih bersih. Saat
tertawa, matanya jadi nggak kelihatan. Samar-samar aku mencium wangi mawar
menguar dari tubuh Tante Marini. Wangi yang anggun.
“Terima kasih, Tante.” Aku menjawab
dengan sopan.
“Kalau saja Ramon belum menikah, Tante
mau deh, jadiin kamu mantu.” Tante Marini tertawa. Kemudian beralih ke Mamaku.
“Beruntung banget itu si Syarika bakal besanan sama kamu, Andini.”
Besanan? Oh, tenang aja Tante,
besanannya nggak bakal jadi. Kalau Mama masih juga ngeyel, biar si Ares saja
yang menikah sama Arsa.
“Makan dulu yuk, Rhe.” Tante Marini
berkata masih dengan nada cerianya. Aku suka deh sama Tante Marini ini. Kalau
berada di dekat beliau, bawaannya jadi happy.
“Iya, Tan. Nanti Rhea ngambil sendiri
deh. Mau lihat-lihat anggreknya Tante dulu.” Kataku menolak dengan halus.
“Ya sudah. Mama sama Tante ke dalem,
ya.” Mama berkata padaku kemudian menggamit lengan Tante Marini dan berjalan ke
dalam.
Mataku kembali tertuju ke gazebo. Aku berjalan
menghampiri gazebo. Kemudian duduk di atas tempat duduknya yang dilapisi bantal
berwarna krem. Hmm… nyamannya. Aku menegakkan punggungku kemudian memejamkan
mata. Mencoba untuk bermeditasi. Lambat laun suara berisik orang berbincang
memudar. Aku merasakan semilir angin yang menerpa wajahku. Kemudian yang
terdengar hanyalah suara daun saling bergesekan saat tertiup angin. Cicit
burung. Langkah kaki…
“Tidur, Rhe?”
Ah, Ares. Coba sehari saja nggak
menggangguku. Aku mencoba untuk tidak menggubris Ares yang sekarang duduk
disampingku. Aku bisa merasakan hempasan pantatnya di sampingku. Samar-samar
aku mencium aroma maskulin parfumnya.
“Aku bawa Panna Cotta, dong.” Ares berkata dengan gaya seperti anak TK yang
lagi pamer ke temannya. Tapi, tetap saja aku membuka mata. Seketika itu aku
melihat vanilla panna cotta yang
disiram dengan saus strawberry
kesukaanku.
“Mau!” Aku merebut sendok dan gelas
bening yang berisi panna cotta dari
tangan Ares. Kemudian mulai melahapnya perlahan. Menikmati setiap sensasi
manis, wangi dan asam di lidahku.
“Wah! Rusuh nih si Rhea. Ngambil sendiri
woi.” Ares berusaha mengambil panna cotta
miliknya dari tanganku.
“Yaela, Res. Sama adik sendiri masa
pelit banget.” Aku berkata dengan tampang memelas. Ares berdecak kesal kemudian
berhasil mengambil alih sendok dari tanganku. Dan dengan sigap menyendok panna cotta.
“Kayaknya lagi seru, nih.”
Moodku
langsung jelek begitu menatap wajah Arsa. Karenanya aku diam saja saat Ares
mengambil gelas panna cotta dari
tanganku. Arsa kini duduk di samping kananku. Aku langsung berdiri untuk menjauh
sejauh-jauhnya dari jangkauan si Sengkuni ini. Dengan gerakan cepat Arsa meraih
pergelangan tanganku, untuk menahanku pergi.
“Jangan mulai, deh!” Aku membentaknya
dan berusaha melepaskan gengaman tangannya.
“Wow… wow… aku nggak ikutan.” Ares
berkata dengan berlebihan sambil mengangkat kedua tangannya kemudian berjalan
menjauh dari gazebo.
“Lepasin, nggak!” Seruku kepada Arsa.
“Duduk kalau nggak mau jadi bahan
tontonan.” Arsa mengancamku. Karena sadar akan hal itu, aku menurut dan kembali
duduk di sampingnya. Seketika itu juga Arsa melepaskan tangannya dari tanganku.
Suasana hening dan menjadi canggung.
Arsa berdehem sesaat sebelum berbicara. “Soal semalam… aku minta maaf.”
Aku tersenyum sinis sebelum menanggapi.
“Enak banget, ya? Habis kurang ajar begitu, dengan gampangnya minta maaf.
Terus, besok-besoknya kalau kurang ajar lagi, juga bakal minta maaf kayak
barusan? Kamu itu nggak pernah diajari cara menghargai perempuan ya, sama Mama
kamu?”
Rahang Arsa mengeras.
Lalu dia menghembuskan napas berat sebelum menjawab. “Yang aku lakuin semalam
itu memang kurang ajar. Karena itu aku minta maaf. Aku juga nggak tau kenapa─”
Arsa langsung terdiam
saat tanganku menampar keras pipinya. Jangan menjudgeku karena melakukan hal itu. Aku rasa tamparan itu masih nggak
sepadan untuk menghukumnya atas apa yang dia lakukan padaku semalam. Dia melukai
harga diriku. Dan itu menyakitkan. Kalau kalian wanita, pasti kalian mengerti
dengan apa yang aku rasakan.
Oke. Sepertinya aku menyesali
apa yang aku lakukan barusan. Bukan karena merasa bersalah pada Arsa, terlebih
karena aku berhasil merebut perhatian teman-teman kuliah Mama. Ternyata suaraku
saat memaki Arsa tadi kelewat keras sehingga membuat orang-orang yang ada di
dalam ruangan mengamati kami. Dan saat aku menampar Arsa tadi, Mamaku dan Tante
Syarika melihatnya. Ini yang bakal jadi masalah. Karena saat ini aku melihat
mereka berjalan ke arahku dengan tergesa. Mama dengan wajah murkanya dan Tante
Syarika dengan wajah khawatirnya.
“Kamu ini apa-apaan
sih, Rhea? Bikin malu Mama saja. Memangnya Arsa ngapain sampai kamu kurang ajar
padanya begitu.”
Apa? Aku yang kurang
ajar?
“Ma, bukan Rhea yang
kurang ajar.”
“Minta maaf!” Mama
berkata dengan nada yang nggak bisa dibantah. Sampai mati aku nggak akan
melakukannya. Karena bukan aku yang bersalah.
“Arsa yang salah Tante.
Arsa yang sudah kurang ajar sama Rhea.” Si Kunyuk yang duduk di sampingku itu
berkata dengan tampang menyesal.
“Kurang ajar…
bagaimana?” Tante Syarika menatap Arsa dan aku bergantian.
“Arsa─”
Tidak boleh ada yang
tahu!
“Rhea mau pergi. Udah
telat ke Supermal-nya.” Aku memotong perkataan Arsa kemudian berdiri dan
meninggalkan Mamaku, Tante Syarika dan Arsa.
Semua orang menatap
kepergianku. Tidak sedikit yang berkasak-kusuk saat aku melewati mereka. Duh!
Kayak sinetron, deh. Ini sungguh memalukan. Aku yakin, sesampainya aku di rumah
nanti, Mama masih akan menceramahiku. Biarlah! Yang jelas, sekarang aku ingin
jauh-jauh dari si Kunyuk Arsa itu. Berada di dektanya membuat kesehatanku akan
terganggu karena keseringan emosi.
───
Baca juga COMPLICATED Part 5
Sabtu, 20 Juni 2015
SEMUA ORANG BERPOTENSI UNTUK TERKENA PENYAKIT PSIKIS DAN GANGGUAN KEPRIBADIAN
Rasanya
udah lama banget nggak posting tulisan. Nggak sempet nulis karena harus
menghabiskan sebagian besar waktu untuk pekerjaan (duhh.. sok sibuk banget, kan
aku). Tapi kayaknya nggak ada juga yang nunggu-nunggu tulisanku (iya… pesimis
tingkat akut).
Sebenarnya
agak takut ini tulisan bakal bermanfaat atau enggak. Kali ini mau bahas soal
gangguan kepribadian dan gangguan psikis. Jadi, akhir-akhir ini aku lagi suka
baca dan mendalami tentang gangguan kepribadian yang berkaitan erat dengan
gangguan psikis. Sudah lama tertarik, sih. Hanya saja akhir-akhir ini baru
benar-benar mendalami. Dulu inginnya kuliah ambil psikologi. Etapinya nggak
jadi. Dan sekarang kerjanya malah hitung-hitung duit yang nggak ada bentuknya...
:))
Awal
mula tertarik sama gangguan kepribadian dan gangguan psikis adalah saat aku
menyadari bahwa seorang temenku terlihat “sakit”. Dan dari pengamatanku dia
mengidap outrhumenosis. Suka berkhayal berlebihan gitu, deh. Aku sudah pernah
membahasnya dulu. Untuk mengingat lagi bisa baca disini.
Dan
juga dengan yang terjadi pada diriku sendiri. Aku mengidap Obsessive Compulsive Disorder atau lebih dikenal dengan OCD. Yaitu dimana seseorang memiliki
gangguan kecemasan berlebih terhadap suatu hal, atau terobsesi berlebihan
terhadap suatu hal, serta gangguan kecemasan. Kalau aku, aku sangat terobsesi
banget sama kebersihan. Nggak bisa pegang benda kotor. Kalau pegang benda kotor
harus cuci tangan dan harus pakai sabun. Terus aku juga selalu mengkhawatirkan hal-hal
yang sebenarnya sudah aku lakukan. Seperti mengunci pintu, mengunci jendela,
memastikan sudah mematikan kompor atau belum dan lain sebagainya. Terus suka
banget mencemaskan hal-hal yang sebenarnya nggak perlu untuk dicemaskan karena
toh hal itu belum terjadi.
Obsessive Compulsive Disorder (OCD) image by google
Aku juga suka berhitung dalam hati. Mengulang-ulang kalimat yang sedang kubaca dari buku. Karena itulah aku suka lama banget selesai baca satu buku. Terus kalau menyusun buku di rak harus berdasarkan penerbit, tahun terbit, dan tinggi buku. Aku juga suka banget memadupadankan warna. Misalkan dres warna peach aku juga harus pakai gantungan baju warna peach. Semacam itulah. Dan itu sebenarnya sangat mengganggu.
Dissociative Identity Disorder (DID) image by google
Lalu
saat ini lagi tertarik banget sama gangguan kepribadian ganda atau Dissociative Identity Disorder (DID).
Kalau ini gara-garanya nonton dua drama Korea dengan tema kepribadian ganda.
Judulnya Kill Me, Heal Me sama Hyde, Jekyll and Me (kalau saja tertarik
buat nonton).
Sebenarnya
semua orang itu sangat berpotensi untuk terkena gangguan psikis atau gangguan
kepribadian. Gangguan psikis bukan berarti gila seperti yang suka berkeliaran
dipinggir jalan itu, lho, ya. Kita hidup di dunia yang keras. Selalu dituntut
untuk berjuang dengan keras agar bisa tetap bertahan hidup. Tidak jarang pula
memakai cara kotor untuk tetap bertahan hidup. Kalau kita lemah, ya kita akan
kalah. Selain tekanan hidup yang keras, gangguan psikis juga bisa muncul karena
trauma masa lalu atau lingkungan tempat kita hidup. Kalau kita hidup di
lingkungan orang “gila”, percayalah, lama-lama, mau nggak mau, kita bakalan
ikutan “gila” juga.
Seringnya
juga kita nggak pernah sadar kalau kita mengidap sakit itu. Soal OCD yang kuderita tadi, setelah
mengalaminya selama belasan tahun aku baru tahu kalau aku mengidap penyakit
itu. Dan yang namanya penyakit, sudah pasti harus disembuhkan, dong. Sebenarnya
kita bisa saja sembuh tanpa bantuan dokter, psikiater atau psikolog. Tapi nggak
semua penderita gangguan kepribadian atau gangguan psikis menyadari tentang
penyakit itu. Harus ada yang membawanya berobat. Kasihan kalau didiamkan terus.
Karena mereka selalu merasa bahwa yang mereka lakukan adalah benar. Contohnya
kayak psikopat sama pengidap outrhumenosis. Mereka nggak pernah menyadari bahwa
mereka sakit.
Ada
banyak banget jenis gangguan jiwa dan gangguan kepribadian. Aku sendiri, sih,
masih belum memahami semuanya. Hanya mendalami OCD karena aku mengidapnya.
Selama
ini aku berjuang banget untuk sembuh dari OCD.
Sudah banyak dari obsesiku yang bisa aku hentikan. Seperti kebiasaan menciumi
segala benda dan mengerjapkan mata berkali-kali. Juga seperti keinginan untuk
mengecek apakah pintu sudah dikunci atau belum, aku sudah hampir nggak pernah melakukannya.
Tapi kalau untuk obsesi kebersihan masih belum bisa.
Bagaimana
caranya aku bisa mengurangi obsesi itu? Dengan melakukan terapi perilaku
kognitif secara mandiri. Aku berusaha menahan keinginan untuk melakukan
ritual-ritual obsesi tersebut. Dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa nggak
perlu mencemaskan sesuatu yang bahkan sesuatu itu belum terjadi. Kemudian,
meditasi. Meditasi sangat bagus dilakukan karena membuat kita mampu mengendalikan
emosi dan pikiran kita.
Awalnya
memang sulit, sih. Tapi percayalah, selama kita ada keinginan yang kuat dan
keyakinan untuk sembuh (dari sakit apa pun itu), pasti kita akan sembuh. Hanya
terus serusaha dan berjuang untuk sembuh, maka kamu akan sembuh. Jadi, mari
kita mulai hidup sehat dengan mengenali apakah diri kita benar-benar “sehat”.
Baiklah…cukup
sampai sebatas ini dulu. nanti kalau aku sudah benar-benar memahami tentang
gangguan kepribadian dan gangguan psikis, Insya Allah bakal share lagi.
Maaf-maaf kalau masih ada kekurangan. Semoga bermanfaat.
Anis
^_^