Tempat
yang inspiratif buatku yang pertama adalah sebuah kecamatan di ujung Timur
Ponorogo (kota kelahiranku)─perbatasan dengan kota Trenggalek─yaitu kecamatan
Sawoo. Disana, pertama kalinya aku melihat anak sekolah dengan semangat belajar
yang sangat tinggi. Kecamatan Sawoo itu terletak di kaki gunung Bayangkaki dan
sebagian besar wilayahnya memang pegunungan. Pertama kali ke sana adalah di
saat aku membolos les dan lebih memilih ikut temanku untuk main ke kecamatan
tersebut (saat SMA).
Aku
salut sekaligus terharu melihat perjuangan mereka setiap hari untuk pergi ke
sekolah. Sekolah, mulai dari SD sampai SMA terletak di pusat kecamatan. Jadi,
mereka yang tinggal di daerah pegunungan harus berjalan kaki berkilo-kilo untuk
bisa mencapai sekolahan. Aku pernah menanyai seorang teman SMA-ku yang tinggal
di desa Tumpuk Sawoo (desa yang berada di dataran paling tinggi di kecamatan
Sawoo). Untuk mereka yang berasal dari keluarga nggak mampu, mereka akan
memilih berjalan kaki setiap hari untuk pergi ke sekolah. Sedangkan mereka yang
berasal dari keluarga mampu, mereka akan memilih menyewa kamar kos yang dekat
dengan sekolah mereka.
Aku
suka sekali melihat suasana setiap kali jam berangkat dan pulang sekolah di
kecamatan tersebut. Kesan keakraban dan kekeluargaan terlihat jelas di sana.
Anak-anak berseragam mulai dari SD (dengan seragam putih─merah), SMP (dengan
seragam putih─biru) dan SMA (dengan seragam putih─abu-abu) berjalan beriringan
menapaki jalan yang semakin lama semakin menanjak. Mungkin, kalau hal itu
terjadi padaku, aku nggak akan sanggup bila harus jalan kaki berkilo-kilo demi
mencapai sekolah, SETIAP HARI.
Sejak
saat itu, semangat juang anak-anak gunung itu untuk bersekolah menjadikanku
banyak berfikir. Kalau mereka saja yang harus naik turun gunung demi ke sekolah
mau melakukannya demi belajar, kenapa aku yang bisa mencapai sekolah dengan
naik kendaraan nggak memiliki semangat sebesar mereka. Karena itulah, saat itu
aku berusaha belajar dengan sungguh-sungguh, nggak malas-malas pergi ke sekolah
lagi, nggak pernah bolos sekolah [tapi sesekali bolos pelajaran… :)) ].
Walaupun pada akhirnya prestasi akademikku tetap nggak bagus-bagus amat, sih.
Kemudian,
tempat yang menginspirasi lainnya adalah sebuah desa masih di kota Ponorogo,
yaitu desa Gontor. Di sana berdiri sebuah pondok pesantren modern Darussalam Gontor yang sudah cukup terkenal di Indonesia dan
kawasan Asia. Setiap kali sore hari melewati desa itu, kita akan melihat
ratusan bahkan mungkin ribuan anak berjalan dengan memakai mukena ( untuk yang
perempuan) dan sarung plus kopyah
(untuk laki-laki), dengan Al-Qur’an dalam pelukan mereka. Kelompok santri
laki-laki biasanya akan berjalan berkelompok di depan dengan jarak yang cukup
jauh dengan sekelompok santri perempuan yang berjalan berkelompok di belakang
mereka.
Setiap
kali melihat hal itu, yang langsung aku lakukan adalah melihat baju yang
kukenakan saat itu. Jujur, aku malu dengan mereka. Baju yang kupakai jauh dari
kata menutup aurat (bukan berarti aku pakai baju serba mini, lho). Mereka yang
perempuan, yang kelihatan hanya wajah mereka. Sedangkan aku, hanya memakai
celana selutut dan kaos oblong lengan pendek.
Terharu,
malu, iri dan berbagai perasaan lainnya muncul setiap kali melihat pemandangan
desa santri itu di sore hari. Aku terinspirasi dari sana untuk lebih mendalami
agamaku. Pernah juga masuk pesantren, tapi nggak sampai lulus aku sudah keluar
karena nggak bisa dengan peraturannya yang begitu ketat. Di pesantren itu, dari
pagi sampai malam kegiatannya penuh banget. Bangun subuh, untuk melaksanakan
shalat berjamaah. Pagi sampai siang sekolah formal, nanti istirahat siang
dipakai untuk makan dan shalat dzuhur. Kemudian sore harinya untuk laki-laki
merawat hewan ternak dan kebun sayur. Sedangkan untuk perempuan bersih-bersih
dan menyiapkan makan malam. Kemudian sehabis shalat ashar ada kuliah dari
ustadz lalu ngaji sampai menjelang magrib. Sehabis jamaah shalat magrib belajar
ngaji bersama ustadz, kemudian sehabis isya ada pelajaran pendalaman agama.
Sabtu malam, latihan qiro’ah Al-qur’an. Minggunya ada saja kegiatan. Mulai dari
sema’an Al-Qur’an, pramuka, olahraga atau kegiatan-kegiatan lainnya yang akan
menjadikan hari liburmu nggak pernah sia-sia.
Sebenarnya
itu semua juga sangat berguna untukku. Hanya, tetap saja peraturan itu terlalu
mengikat dan terlalu ketat bagiku. Tapi, setidaknya aku memiliki perbekalan
ilmu agama yang cukup baik. Aku jadi belajar banyak tentang agamaku. Tentang
apa yang boleh dan nggak boleh dilakukan. Dan itu cukup
untuk kujadikan pegangan dalam hidup selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar