Samantha memandang nanar ke
jendela yang kacanya mengembun. Saat ini hujan tengah turun di luar sana.
Sesekali petir menyambar dengan suara menggelegar. Membuat hati Samantha
semakin teriris.
Hujan menyimpan cerita tentang
Samantha. Tentang kisahnya bersama Adi. Tentang pelukan singkat dibawah hujan
saat mereka sama-sama berteduh di teras lab Fisika sewaktu pulang sekolah.
Dulu. Kini, tinggal hujan yang menyimpan cerita. Cerita yang sangat ingin
Samantha ulang keberadaannya.
“Sekian lama gue memendam perasaan
ini untuk Adi. Gue ingin nyatain perasaan gue, tapi gue cewek, La.” Samantha
berkata dengan lirih.
Lala, sahabatnya, memandang
miris antara kasihan dan sebal. Ini bukan kali pertama dia mendengar sahabatnya
berkata begitu. Dia terlalu bosan dengan kata-kata yang diulang Samantha.
“Tauuk, ahh! Pusing gue denger
ocehan lo terus.” Jawab Lala dengan malas. Mereka diam sejenak. Saling
memandang. “Sekarang gue tanya, berapa lama lo suka sama dia?” Tanya Lala
kemudian.
“Empat tahun.” Jawab Samantha.
“Terus, mau sampai kapan lo
mencintai dia tanpa berani emngungkapkan?” Lala bertanya algi.
“Ya sampai Adi tau.” Samantha
menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari jendela.
“Terus, lo pikir Adi bakal tau
gitu kalau lo nggak ngomong?” Lala mengajukan pertanyaan retoris.
“Ya ahrusnya dia sadar dong,
kalo gue suka sama dia.”
“Sam, cowok itu nggak sepeka
cewek. Kalau kita nggak ngomong ke dia tentang apa yang kita rasa, mereka nggak
akan pernah tau. Ngerti lo?” Lala berkata dengan nada meninggi. Dia sudah sangat
kesal dengan Samantha yang menurutnya etrlalu bodoh. Membuang waktu
ebrtahun-tahun demi emncintai ornag yang tidak pernah mencintainya.
“Lalu, apa maksudnya kasih eprhatian-perhatian
ek gue dulu itu? Apa maksudnya juga nerima perhatian-perhatian dari gue dulu?
Harusnya itu cukup menjelaskan, La.” Samantha mendebat perkataan Lala.
“Yang tahu jawaban pastinya Cuma
Adi. Kalau lo nggak tanya ke dia, maka lo nggak akan pernah tau jawabannya.
Tapi, menurut gue. Dari kisah lo ini aja seharusnya lo udah tau lho, Sam. Bahwa
lo mengartikan lebih eprhatian Adi. Tapi Adi sebaliknya. Siapa tau dia Cuma
nganggep perhatian yang lo kasih itu adalah perhatian ke temen. Buktinya dia
nggak eprnah memperjelas hubungan kalian, kan?” Lala menjelaskan panjang lebar.
Samantha akhirnya menoleh untuk emnatapnya. PAndangannya sayu.
“Jadi, menurut lo Cuma gue yang
berharap? Sedangkan Adi enggak.” Samantha bertanya dengan emmelas.
“Iya.” Tegas Lala mengatakan
itu. Dia hanya ingin sahabatnya itu sadar, bahwa percuma menunggu sesuatu ayng
nggak jelas kepastiannya. Agar hidupnya nggak sia-sia.
“Come on, Sam. Lo itu cantik,
cowok manapun yang lo mau bisa lo dapetin. Buat apa, sih, buang-buang waktu
Cuma buat nunggu Adi yang nggak pasti datang. Siapa tau aja dia udah lupa sam
lo.”
“Tapi gue nggak lupa sama dia,
La.” Samantha berkata sambil mengembalikan tatapannya ke jendela.
Lala menarik napas berat.
Menyerah dengan usahanya utnuk membuat Samantha berhenti mengharapkan Adi. Dia
merasa usahanya selama ini akan sia-sia, kalau tidak diimbangi dengan keinginan
Samantha untuk melepaskan perasaannya terhadap Adi. Percuma.
Sudah banyak cowok yang Lala
kenalkan ke Samantha, tapi nggak ada satu pun aygn berhasil membuat Samantha
berpaling dari Adi. Kemudian Lala mengambil langkah lebih ekstrim dengan cara
yang sebenarnya bisa saja membuat Samantha amrah. Menasehatinya hampir setiap
hari. Memanas-manasi Samantha dengan mengatakan semua hal jelek tentang Adi.
Tapi tetapa saja, nggak ada yang berhasil membuat Samantha sadar.
───
Lala masih sibuk dengan
laptopnya saat Samantha menghampirinya di akntin. Mengerjakan tugas entah apa.
“Eh, Sam. Udah makan?” Lala
bertanya tanpa menatap Samantha. Tatapan sibuk antara laptop dan buku yang ada
di depannya.
“Udah.” Jawab Samantha singkat.
Hening beberapa detik. Sampai Lala mendengar hembusan napas Samantha ayng
etrdengar begitu berat. Lala mengalihkan tatapannya dari alptot ke Samantha.
Mengamati sahabatnya itu dengan seksama.
“Lo sakit, Sam?” Tanya Lala begitu menyadari
wajah pucat Samantha. Kemudian dia memegang kening Samantha.
“Ya Tuhan, jidat lo panas lho, Sam?
Kenapa lo masuk kuliah kalo lagi sakit.” Lala berkata dengan khawatir. “Gue
anter pulang aja, ya?”
“Gue nggak pa-pa. Cuma agak demam aja. Kayaknya
sih mau flu. Nggak usah lebay gitu, deh.” Samantha berusaha menngelak. Padahal
hanya dengan melihat wajah pucatnya saja, semua orang juga akan tahu kalau
Samantha itu sedang nggak baik-baik saja.
“Elo demam lho, Sam. Nggak pa-pa
gimana? Gue anter pulang aja, deh.” Lala masih membujuk Samantha.
“Tapi gue ada kelas, La.”
Samantha masih ebrsikeras emnolak.
“Entar gue BBM temen sekelas lo
buat titip absen.” Kata Lala sambil membereskan buku dan laptopnya kemudian
emmasukkan ke ransel hitamnya.
“Tapi, La─”
“Nggak ada protes!” Lala berkata
tegas kemudian emmaksa Samantha utnuk berdiri mengikuti langkahnya.
Dan akhirnya dengan paksa
Samantha dibawa pulang oleh lala. Ternyata Samantha beneran sakit. Sesampainya
dirumah, dia tidak sadarkan diri.
Dokter keluar dari kamar
Samantha. Dari raut mukanya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan mengenai
keadaan Samantha.
“Sam sakit apa, Tan?” Lala
bertanya khawatir begitu melihat dokter dan Mama Samantha keluar dari akmar.
“Darahnya drop lagi, La. Mungkin karena akhir-akhir ini dia ikut sibuk
mempersiapkan pernikahan Abangnya, jadi dia kecapekan. Tante titip Sam
sebentar, ya. Mau ngobrol sama dokter dulu.” Jawab Mama Samantha.
“Oh. Iya, Tan.” Lala menjawab
dengan sopan. Tapi, dia menangkap suatu ektidakberesan dari sikap Mama Samantha
yang terlihat cemas. Kalau hanaya kurang darah, masa iya Mama Samantha sebegitu
khawatirnya?
Maka, Lala berjalan mengendap
mengikuti Mama Samantha dan dokter. Lala berdiri di balik tembok pembatas ruang
keluarga dan ruang tamu. Samar-samar didengarnya perbincangan Mama Samantha
dengan dokter. Suara emreka tidak terlalu ejlas. Yang sempat etrtangkpa telinga
Lala hanya kalimat, ‘Samantha nggak boleh terlalu banyak pikiran, Bu. Itu bisa
berakibat fatal pada kondisinya. Dan akan semakin memperpendek masa hidupnya.’
Mendengar itu tiba-tiba Lala merasakan tubuhnya membeku. Dadanya berdegup
kencang.
Kemudian dilihatnya dokter
meninggalkan Mama Samantha yang kini etrduduk lemas di sofa. Dia membungkam
kedua tangannya. Samar-samar terdengar isak tangis. Lala berjalan mendekati
Mama Samantha.
“Tante, kenapa?” Tanya Lala pelan.
Mama Samantha kaget. Segera dia hapus air matanya.
“Nggak pa-pa.” Jawab Mama Samantha
dengan suara serak.
“Samantha nggak pa-pa kan, Tan?”
Tanya Lala curiga.
“Nggak pa-pa. Samantha baik-baik
saja.” Jawab Mama Samantha berusaha menutupi kesedihannya.
“Terus kenapa kenapa tadi Lala
denger dokter bialng kalau terlalu abnyak pikiran itu akan semakin memperpendek
umur Samantha? Tante bohong, kan? Lala kenal Tante bukan baru kemaren, Tan. Tante
udah Lala anggep kayak Mama Lala sendiri. Lala tau kalau Tante bohong. Samantha
kenapa Tante?” Lala terus memburu. Akhirnya Mama Samantha menyerah. Sudah
saatnya dia mengatakan ini pada Lala, sahabatn terdekat Samantha.
“Samantha leukimia stadium
lanjut.” Jawab Mama Samantha dengan tangis tertahan.
Lala tidak menjawab. Hanya
menatap Mama Samantha dnegan melongo dan mata etrbelalak. Dia merasa kepalanya
seperti dijatuhi beban yang begitu berat.
“Dan kata dokter, kali ini Samantha
tidak akan bisa bertahan.” Mama Samantha melanjutkan dengan suara parau. Dia kembali
terisak. Begitu pun dengan Lala. Matanya terasa panas. Air matanya mulai
mengalir. Lala terduduk lemas dilantai dapur. Sedangkan Mama Samantha berdiri
lemah bersandar didinding dapur.
Setelah tangis mereka mereda, mereka
kembali ke kamar Samantha. Samantha sudah sadar dari pingsannya. Hanya saja wajahnya
masih terlihat pucat.
Lala menghampiri sahabatnya yang
sedang tersenyum kepadanya itu. Dipeluknya Samantha erat-erat. Seperti tidak
mau melepaskan.
“Lo kenapa sih, La?” Tanya
Samantha bingung. Lala membuka mulut siap mengeluarkan kata. Hanya saja dia
tidak mampu. Dia malah terisak.
“La, gue nggak bisa napas.” Teriak
Samantha. Kemudian Lala melepaskan pelukannya. Ditatapnya Samantha.
“Kenapa lo nggak mau cerita ke
kita soal sakit lo?” Lala berkata dengan setengah berteriak. Suara terdengar
serak.
Emosinya bercampur aduk. Antara
sedih, takut, dan kecewa karena Samantha merahasiakan sakitnya dari dia.
Ternyata dibalik keceriaan
Samantha selama ini, dia menyimpan penyakit mematikan yang setiap saat siap
merenggut nyawanya. Samantha menatap Lala dan Mamanya bergantian. Matanya
berkaca-kaca.
“Gue nggak mau lo care sama
gue hanya karena gue sakit. Gue takut lo ninggalin gue. Gue takut, La.” Samantha
terisak.
“Gimana lo bisa berfikir kaya
gitu sih, Sam? Gue sahabatan sama lo tulus. Gue pengen selalu ada buat lo saat
lo senang atau pun susah. Harusnya lo berbagi sama gue. Itu gunanya sahabat,
Sam.” Jelas Lala masih dengan suara seraknya.
“Maafin gue. Gue sayang sama lo.”
Samantha memeluk Lala. Mereka tenggelam dalam tangis. Antara sedih dan terharu.
───
“La?” Panggil Samantha saat
mereka duduk berdua di taman kampus.
“Kenapa?” Jawab Lala dengan
mulut sibuk mengunyah kripik Singkong kesukaannya.
“Lo mau nggak bantuin gue?” Tanya
Samantha.
“Apa sih yang nggak buat loe?” Jawab
Lala sambil nyengir.
“Bantu gue cari Adi dong.” Pinta
Samantha.
“Siapa?” Tanya Lala kaget. “Kok
Adi sih?”
“Please, La. Gue pengen ketemu Adi sebelum gue pergi.” Pinta
Samantha memelas.
“Lo ngomong apaan, sih? Nggak
ada yang bakal pergi! Gue nggak suka lo ngomong gitu.” Lala sedikit emosi
mendengar perkataan Samantha yang terdengar pesimis.
“Cepat atau pun lambat, gue
bakal pergi duluin lo dan keluarga gue. Gue nggak mau mati dengan membawa rasa
penasaran gue tentang perasaaan Adi ke gue. Please,
La, gue mohon. Anggep aja ini permintaan terakhir gue.” Samantha memohon.
“Ini bukan permintaan terakhir
lo. Lo masih akan banyak permintaan ke gue. Inget itu. Gue bakal marah kalo lo
pergi duluan.” Lala menguatkan hati. Menahan agar air matanya tidak jatuh.
“Ya udah, gue cariin Adi buat lo.
Lo kasih gue alamatnya.” Akhirnya Lala menerima permintaan Samantha.
“Thanks, ya.” Samantha tersenyum. ”Tapi jangan bilang kalo gue
sakit. Gue nggak mau Adi jawab bohong karena kasihan. Gue pengen yang sejujurnya
dari dia.”
“Iyaa, bos. Tapi ada syaratnya.”
“Apa?” Tanya Samantha penasaran.
“Lo nggak boleh ngomong kayak
tadi lagi. Lo pasti sembuh. Lo harus bertahan.” Jawab Lala.
“Iya. Gue akan bertahan buat Adi.
Buat lo, buat Mama, Papa sama Abang gue.” Jawab Samantha pasti. Lala tersenyum
kemudian memeluk Samantha.
Rasanya sulit bagi Lala bila
harus kehilangan momen seperti ini, saat bersama dengan Samantha. Tertawa, bercanda,
ngobrol soal cowok, gosip artis-artis Korea kesukaan mereka, nonton drama Korea
bareng sampai nangis-nangis, berburu pakaian dan aksesoris ala Korean style. Karena Samantha adalah sahabat
terbaik Lala. Begitu pun sebaliknya.
───
Lala mendatangi alamat rumah Adi
yang diberikan Samantha. Tapi keluarga Adi sudah pindah sejak Tiga tahun lalu. Dan
kata pemilik rumah yang baru, Adi dan keluarganya pindah ke Jakarta. Dan
terakhir balik ke Bandung adalah leabaran tahun lalu. Tepat saat Adi datang ke
rumah Samantha. Lala kembali ke rumah Samantha.
“Adi pindah ke Jakarta? Kok dia
nggak pernah ngomong ke gue? Bahkan saat lebaran kemaren dia udah di Jakarta? Kebangeten.
Apa sih maunya tuh anak? Selalu bikin gue bingung sama sikap-sikapnya.” Samantha
emosi.
“Sabar, sabar. Inget loe lagi
sakit.” Lala menenangkan. Samantha terlihat sedang berpikir.
“Gimana kalo kita datengin satu
persatu teman sekelas gue dulu?” Saran Samantha.
“Gila loe? Satu kelas kan
banyak, Sam. Ya seengaknya siapa teman terdekat Adi pas SMA dulu.”
“Bener juga, kenapa gue nggak
kepikiran ya?” Samantha terlihat semangat. Dia ambil handphone nya. Dicarinya
nomor HP orang yang dimaksud. Kemudian berhenti.
“Gue kan udah lama lost
contac sama mereka. Bahkan nggak ada yang satu kampus sama gue.” Samantha
yang tadi terlihat semangat, berubah jadi sedih.
“Terus gimana dong?” Tanya Lala.
“Album kenangan.” Samantha
loncat dari ranjangnya menuju sebuah rak buku. Dicarinya album kenangan yang
dimaksud.
“Ketemu?” Tanya Lala.
“Dapet.” Jawab Samantha girang. Dibolak-baliknya
halaman demi halaman album tersebut. Dia dapatkan nama Arya teman dekat Adi. Dia
dan Lala langsung melesat ke alamat Arya. Sesampainya disana, mereka bertemu
dengan Arya langsung.
“Gilaa, loe sekarang beda banget
sama loe yang dulu ya? Dulu loe tuh item, awut-awutan, nggak pernah dandan.
Sekarang jadi kinclong gini.” Puji Arya jujur.
“Sialan loe. Jadi gue dulu nggak
kinclong?” Jawab Samantha. Mereka tertawa sejenak mengingat masa lalu.
“Ada apa loe nyariin gue? Loe
kangen sama gue? Loe sih, dulu nolak gue..” Canda Arya.
“Apaan sih? Tujuan gue kesini, mau
nanya soal Adi.” Samantha mengutarakan maksudnya.
“Kok malah nyari Adi. Setelah dulu
loe dimainin sama dia gitu, sekarang masih nyariin?” Tanya Arya.
“Maksud loe?” Samantha tidak
mengerti.
“Adi dulu pernah bilang ke gue, dia
suka godain loe gitu Dia seneng liat ekspresi salting loe. Lucu katanya. Dia
juga tau kalo loe suka sama dia.” Jelas Arya.
“Dia cuma mainin gue? Dia juga
tau kalo gue suka sama dia?” Tanya Samantha tidak percaya.
“Iya.”
“Kenapa dia masih bisa mainin
gue? Jahat banget dia.” Samantha merasa tidak percaya dengan apa yang baru dia
dengar.
“Iya. Lagian gimana bisa loe
suka sama dia sih? Dia kan brengsek.”
“Apa gue bilang? Lupain cowok
yang namanya Adi itu. Loe sih bandel kalo dibilangin.” Sahut Lala merasa kesal
mendengar pengakuan Arya.
“Gue bisa minta alamat Adi yang
di Jakarta nggak?” Tanya Samantha akhirnya.
“Tetep masih mau nyari dia?” Tanya
Lala tidak percaya.
“La, please!” Samantha memohon. Lala menyerah. Dia tidak tega bila ingat
sakit sahabatnya ini.
“Ngapain ke Jakarta? Adi kan
sekarang kuliah sambil kerja di Bandung. Cuma gue sendiri nggak pernah ketemu
dia. Terakhir sekitar bulan Juli tahun lalu kayaknya.” Jelas Arya.
Setelah mendapatkan alamat
kantor Adi dari Arya, niatnya mereka akan langsung ke kantor Adi. Tapi kondisi
Samantha melemah. Walaupun dia memaksa, Lala tetap membawanya pulang. Hidung
Samantha mimisan. Dia tidak sadarkan diri. Lala panik, kemudian membawanya ke
Rumah Sakit. Dokter bilang, Samantha tidak boleh terlalu stres atau terlalu
lelah.
Samantha koma. Kondisinya
semakin memburuk. Dua hari dia tidak sadarkan diri. Melihat kondisi sahabatnya
seperti ini, Lala memutuskan untuk datang ke kantor Adi sseorang diri. Dia
berhasil menemui Adi. Tapi Ady tidak mau menemui Samantha dengan alasan yang
tidak bisa dia katakan. Sekalipun Lala mengatakan kalau Samantha sedang sakit.
Bahkan Lala sempat memaki adi karena saking kesalnya. Adi hanya menitipkan
surat untuk Samantha.
Lala bergegas ke Rumah Sakit saat
mendengar Samantha sadar. Tidak lupa dibawanya surat dari Adi.
“Sam, loe baik-baik aja kan?” Lala
memeluk sahabatnya itu.
“Iya, gue baik-baik aja kok. Gimana,
La? Loe dah nemuin Adi?” Tanya Samantha. Suaranya lemah, wajahnya pucat. Kecantikannya
seperti sirna begitu saja.
Lala tidak menjawab. Dia
menghembuskan napas berat. Rasanya berat dia menceritakan soal Adi ke Samantha.
“Sam, loe janji ya harus kuat?”
Pinta Lala.
“Gue janji. Apapun yang loe
ceritain soal Adi, gue bakal terima.” Samantha berjanji.
“Adi cuman nitipin ini ke gue.”
Kata Samantha sambil mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyerahkan ke
Samantha. Samantha mulai membaca.
Dear Samantha,
Gue minta maaf kalau selama ini bikin hidup loe penuh pertanyaan
soal perhatian gue ke loe dulu. Mungkin perhatian gue bikin loe salah paham. Bikin
hati loe nggak tenang. Selama ini gue Cuma anggep loe sebagai adik gue. Nggak
lebih. Gue juga minta maaf, karena gue, loe nggak bisa buka hati buat cowok
lain. Terima kasih, karena loe mau tulus sayang sama gue. Tapi maaf, gue nggak
bisa bales perasaan itu. Ada sesuatu hal yang bikin gue nggak mungkin bisa
milih loe. Loe berhak buat bahagia, Sam. Lupain gue. Cari cowok yang bisa
bahagiain loe. Sekali lagi gue minta maaf. Semoga loe bahagia, Samantha.
Ady
Air mata Samantha mengalir. Dia
terisak. Hal yang paling dia takutkan selama ini terjadi juga. Pengakuan Adi
mengenai perasaannya ke Samantha. Hatinya hancur.
“Adi sama sekali nggak suka sama
gue, La.” Kata Samantha disela tangisnya.
“Tenang, Sam. Gue kan udah
bilang, loe harus kuat. Mungkin Adi belum jodoh loe aja.” Lala menenangkan
Samantha. Samantha semakin terisak. Dia kembali pingsan.
“Sam, Samantha...” Teriak Lala
panik.
Keluarga Samantha yang tadi
menunggu diluar, berhamburan masuk ke dalam. Dokter dan perawat berlarian
mendengar teriakan Lala.
Denyut nadi Samantha melemah,
detak jantungnya juga melemah. Tensi darah turun drastis. Wajahnya begitu
pucat. Dokter berusaha keras untuk menyelamatkan Samantha.
Melihat Dokter keluar dari
ruangan Samantha, Mama Samantha langsung menghampiri.
“Gimana keadaan anak saya,
Dokter?” Tanya Mama Samantha. Dokter tidak langsung menjawab. Semua tegang. Tanpa
ada yang berbicara.
“Banyak berdo'a, Nyonya.” Hanya
itu yang dikatakan dokter. Lalu meninggalkan keluarga dan sahabat-sahabat
Samantha yang masih tercengang dengan jawaban Dokter. Tubuh Mama Samantha
limbung, jatuh pingsan. Dengan sigap Rendy, kakak Samantha menangkap tubuh
Mamanya.
Satu jam kemudian,,
Semua keluarga Samantha, Lala, Marfin,
Raisa dan Rafael berkumpul diruangan Samantha. Mama Samantha duduk disebelah
ranjang anaknya itu.Matanya hanya memandangi Samantha.Dibelakangnya berdiri
Papa Samantha dan Randy serta Margareth calon istri Randy.Raisa,Marfin dan
Rafael berdiri mematung disamping kiri ranjang tempat Samantha
terbaring.Sedangkan Lala mondar mandir terlihat sibuk menelpon seseorang.
Wajah Samantha pucat. Matanya
terpejam erat. Tangannya memeluk erat buku kecil didadanya. Seperti tidak mau
melepaskan buku itu.
Suasana ruangan itu sepi. Tanpa
suara apapun. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung. Terdengar
suara pintu diketuk. Perawat datang dari balik pintu.
“Maaf, permisi. Ini ada yang
mencari nona Samantha.” Kata perawat. Muncul seorang pria dengan tubuh
jangkung.
“ADI??” Teriak Lala. Semua mata
saling berpandang bingung.
“Selamat siang semua.” Sapa Adi
sopan.
“Siang.” Jawab beberapa orang.
“Akhirnya loe dateng juga.” Ucap
Lala penuh syukur. Ternyata yang sedari tadi dihubungi Lala adalah Adi.
“Nak Adi?” Sapa Mama Samantha.
Keluarga Samantha sudah lumayan mengenal Adi karena dulu dia sering main ke
rumah.
“Iya Tante.” Adi menyalami
keluarga Samantha dan sahabat-sahabatnya.
“Silahkan.” Mama Samantha
berdiri dari duduknya. Mempersilahkan Adi duduk dikursi yang tadinya dia
duduki.
“Terima kasih Tante.”
Perlahan Adi duduk. Dipandanginya
wajah pucat Samantha dengan selang oksigen terpasang dihidungnya. Setahun
setelah pertemuan terakhir mereka. Wajah Samantha banyak berubah. Yang dulunya
ceria, penuh tawa, kini pucat pasi. Matanya yang bulat penuh cahaya, kini
tertutup rapat. Ocehan yang biasanya Adi dengar pun, kini serasa hilang ditelan
bumi. Adi tidak mampu berkata. Walau dalam suratnya dia bilang hanya menganggap
Samantha sebagai adiknya, namun hatinya berkata lain. Dia teramat sayang pada
gadis itu, sebagai pria dan wanita. Bahkan sejak SMA dulu. Hanya karena merasa
dirinya terlalu kotor untuk gadis sepolos dan sebaik Samantha, dia memilih
pergi meninggalkan Samantha. Hingga dia harus bertunangan dengan gadis pilihan
orang tuanya yang tidak pernah dia
cintai sedikit pun.
“Sam?” Suara Adi bergetar. Digenggamnya
tangan Samantha yang dingin.
“Maafin gue. Maafin gue udah
bohongin loe. Maafin gue udah ninggalin loe dan tunangan sama cewek lain.” Mata
Adi berkaca-kaca. Terlihat jelas penyesalan diwajahnya.
“Gue cinta loe, Sam. Gue mohon
loe bangun. Gue janji bakal bahagiain loe. Kita lewatin hari-hari kayak dulu lagi.
Gue mau ajak loe ke danau kita dulu. Gue..” Adi tidak kuat meneruskan
kata-katanya. Dia terisak. Tidak terkecuali semua yang ada diruangan itu. Mata
Samantha terbuka. Dia sadar dari pingsannya.
“Sam?” Kata Raisa lirih.
“Samantha sadar.” Tambah Rafael.
Semua mendekat. Adi menghapus
air matanya. Ditatapnya Samantha dengan segenap cinta. Samantha balas menatap. Dia
tersenyum. Dipandanginya satu persatu orang yang ada diruangan itu. Mama, Rendy,
Margareth tunangan Rendy, Raisa, Lala, Marfin dan Rafael. Terakhir Adi. Dengan
lemah Samantha menyerahkan buku kecil yang sedari tadi dipeluknya ke pada Adi.
Adi menerimanya.
“Apa ini, Sam?” Tanya Adi dengan
suara parau. Samantha tidak menjawab. Dia tatap wajah Adi. Dia tersenyum. Membalas
genggaman Adi.
“Terima kasih, Adi. Karena
mencintaiku. Aku juga cinta kamu.” Suara Samantha terdengar berat. Matanya
tertutup perlahan. Genggaman tangannya melemah hingga akhirnya terlepas dari
tangan Ady.
“SAM??” Teriak Mama Samantha.
“SAMANTHAA?” Teriak
sahabat-sahabat Samantha. Adi hanya terpaku tanpa suara memandang wajah
Samantha. Yang kini matanya tertutup rapat.
Dokter keluar dari ruangan
Samantha. Ditujunya keluarga dan sahabat Samantha yang terduduk lemas.
“Maaf, Nyonya. Mungkin Tuhan
sudah menyiapkan tempat terindah untuk Samantha di sisiNya.” Kata Dokter. Semua
tercengang. Tidak bisa mereka percaya kalau Samantha telah pergi .
Mama Samantha pingsan. Semua
terisak. Adi tidak bersuara. Pandangannya kosong. Menerawang jauh entah kemana.
Air matanya mengalir tanpa permisi.
———
Tanah merah mulai menutupi tubuh
Samantha yang terbujur kaku. Diiringi hujan rintik yang mulai membasahi bumi. Langit
seakan ikut bersedih atas kepergian Samantha. Sore itu memulai babak baru
dikehidupan Samantha selanjutnya. Satu persatu kerabat yang mengantar pemakaman
Samantha meninggalkan tempat. Hanya tinggal Adi dan Lala.
“Gue nggak nyangka, La. Senyuman
itu adalah senyuman terakhir Samantha. Gue nggak akan lagi bisa ngeliat senyumnya,
tawanya, candanya. Nggak akan bisa. Gue nyesel udah sia-siain dia dulu.” Kata
Adi sedih. Air matanya keluar begitu saja.
“Udahlah, Di. Semuanya udah
terjadi. Loe jadiin aja pelajaran buat loe.” Lala menenangkan. Padahal
sebenarnya dia sendiri juga terpukul dengan kepergian Samantha.
“Andai saja dulu gue lebih
berani buat nyatain perasaan gue ke Sam.” Sesal Adi.
“Udahlah! Setidaknya loe tu udah
tau kalo Sam cinta sama loe. Dan Sam juga tau kalo loe cinta sama dia. Gue
yakin dia pergi dengan tenang. Relain dia, Di.
Dengan berat Adi meninggalkan
pusara Samantha. Dia mencoba ikhlas melepaskan Samantha. Merelakan gadis yang
dia cintai pergi untuk selamanya.
Adi duduk merenung didekat
jendela kamarnya. Memandang jauh keluar jendela. Perlahan dibukanya buku yang
diberikan Samantha siang tadi. Dia buka halaman pertama. Tertulis ' All
Abuot Adi '. Yang ditulis tangan oleh Samantha. Halaman kedua dia buka. Dilihatnya
potret dirinya yang sedang tersenyum. Dibawah foto tertulis ' Ady saat
tersenyum '. Halaman ketiga dia buka. Ada lagi potret dia saat bermain voli
dan tertulis dibawahnya ' Ady begitu keren saat main voli '.
Air mata Adi kembali menetes. Dia
begitu menyesal telah mencampakan Samantha. Dibukanya lagi halaman perhalaman.
Sampai pada sebuah halaman, dimana halaman sebelah kiri ada potret Samantha
yang sedang tersenyum dan sebelah kanan ada potret Ady yang juga tersenyum. Adi
tersenyum. Dia buka halaman selanjutya. Sampai ke halaman terakhir. Ada tulis
tangan Samantha.
Dear Adi,
Adi, apa kamu tau kalau selama Lima
tahun ini aku cinta sama kamu? Apa kamu tau aku berharap kamu nembak aku? Selama
ini juga, aku bertanya-tanya. Sebenernya apa yang kamu rasakan terhadapku? Apakah
sama dengan apa yang aku rasakan ataukah sebaliknya?
Aku tau aku jauh dari tipe cewek yang
kamu suka. Tapi aku tulus cinta sama kamu. Sejelek apapun kelakuan kamu dulu, aku
bisa terima. Apa cewek lain bisa kayak gitu? Kenapa kamu selalu perhatian sama
aku? Kamu tau nggak kalau itu bikin aku tersiksa? Perhatian kamu ke aku itu
bikin aku bingung, Di. Apa sih maksud kamu? Cuma kasih aku harapan kosong?
Tapi,
dengan begitu aku tau gimana cinta yang sesungguhnya. Tanpa harus memiliki. Terima
kasih Adi. Terima kasih untuk semua waktumu dulu. Terima kasih telah membuat
hari-hariku dulu menjadi begitu indah. Terima kasih telah mengajarkanku bagaimana
cinta itu yang sesungguhnya. Terima kasih telah mengajarkanku untuk tulus
mencintaimu dan setia mencintaimu. Terima kasih telah membuatku menangis karena
merindukanmu. Terima kasih, Adi.
Samantha
Adi kembali terisak. Dia
pandangi potret wajah Samantha. Dia ambil kotak dari bawah ranjangnya. Dia
keluarkan satu persatu barang dalam kotak itu. Cincin, jepit rambut, kalung
dengan liontin bintang, beberapa novel, potret Samantha yang Adi ambil dengan
diam-diam, surat dan sebuah diary
kecil. Semua barang itu untuk Samantha. Tapi Adi tidak punya keberanian untuk
memberikannya pada Samantha.
Adi memasukkan buku dari
Samantha ke kotak itu. Beberapa potret Samantha yang terpajang di meja kamar Adi
juga dimasukkan ke kotak. Ditinggalkannya kotak itu di gudang. Ditumpuk diatas barang
lain.
Samantha mengajarkanku
menghargai hidup. Menghargai apa yang kita punya saat ini. Mencintai apa yang
kita punya saat ini. Selalu ceria dan tertawa seperti apapun keadaan kiita saat
ini. Dia juga mengajarkanku bagaimana mencintai yang sesungguhnya. Terima kasih
Samantha untuk semua waktu kamu. Terima kasih untuk cinta kamu. Selamat jalan
Samantha. Semoga kamu menemukan kebahagiaan disisi-Nya. ( Ady )
- END -
Panjang ceritanya ya mbak :)
BalasHapus-www.fkrimaulana.blogspot.com-
Masa, sih? Padahal itu panjang halamannya kayak cerpen pada umumnya lho. Sekitar 12 halaman A4.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus